Sihir Sindir Yahya Andi Saputra
Sebagai pengantar untuk puisi-puisinya, Yahya Andi Saputra berkata, bahwa untuk mengekspresikan unek-unek dapat dilakukan dengan santai dan gembira ria. “Begitulah, kemudian saya mengarahkannya menjadi kesantaian dan kegembiraan yang sedikit bermuatan. Maksudnya, saya nggak kepengen unek-unek yang akhirnya mengakibatkan darah tinggi, serangan jantung atau tumpukan kolestrol su’udzon. Maka ekspresi itu saya tampilkan dalam bentuk puisi. Lantaran berlatar belakang seperti itu, sadarlah saya bahwa puisi saya tidak focus. Ia ambak-ambakan alias terjun bebas mengikuti keinginannya sendiri. Untuk itu kiranya dimaklumi.”
Nahlo!
Lalu, seperti apa sih rasa puisi yang ambak-ambakan itu? Nyok dah kita nikmatin. Tapi tolong jaga hati jangan sampai kena sihir atau sindir oleh puisi-puisi yang kental bernuansa Betawi berikut ini. (redaksi)
[iklan]
Jelajah Juli
Asyhadu allaa ilaha illaloh
Waasyadu anna Muhammadar rosululloh
Asyadhu seng waasyadhu seng
Asyadhu waapung waasyadhu waapung
Tumenggung lumur bagus buta grendo
Sekawanan satwa jadi jengah pada Juli yang basah, lalu
mengkemas sayap cahaya sebelum sempat mengenali wajah
ketika saat singgah, sementara aku berjibaku tunggang-
langgang merasa luka basah penuh nanah, selalu aku
mendustaiMu pada kasih yang gemahripah, pada rumah yang
terbuka dengan senyum ramah
Pagi dan petang rubuh penuh pilu, malam tidak peduli pada
gelap dan bulan layu, angin diam menjadi beku, jelajahku
berpapasan pada Juli yang penuh ragu, aku jadi pikun pada arah
jalan ke rumahMu
Telah Kau temani aku dengan cahaya, duhai hatiku yang
disesaki sakwasangka, jantung yang darahnya hitam jelaga
jelajah apalagikah yang memberi arah sehingga jernih jejak asa,
aku tiada pernah dapat mencerna apa yang akan ada
Ketika sampai di bukit terlihat rumput dan laut sebelah
menyebelah, tetapi aku membayangkan sampai di kota
berkacak pinggang pongah, penghuninya berkerumun seraya
soja menyembah, perempuan terutama gadis perawan histeris
berebut memapah, tapi aku yang sejak dahulu tak punya arah,
patah sebab patuh pada dunia yang serakah.
Ping-ping tiga ahyulloh
Pingping tiga syukrulloh
Sang bayu sered sang bayu serap
Sang bayu sayangan si nyai
Sang bayu sayangan si upun
Jakarta, 5 Agustus 2016
Kepul Kopi
Assalamualaikum nabi Khidir, Air laut air darat, Aku sedekah
hati quran, Berhentilah topan badai rebut gelimut, Berkat lailaha
illallah muhammadarrasulallah
Secangkir kopi mengepul kau suguhkan , hitam kental
aromanya menembus pikiran beku, senja seketika jadi matang
tua. Kau menggelepar terbakar kumparan panas bara, melumur
luncur ronta-meronta, reguk-mereguk dalam semesta
Kudengar kau menangis perih merintih , bukan kopimu saja
menyimpan dukalara terhuyung dalam gelegak pengumbar
cinta, lelaki dan perempuan berwajah syahdu pun sarat
muslihat, ketika wangi kopi menyeruak dari cangkir di
tanganmu
Tetapi semerbak kental kopimu, dalam kerumunan pemburu
yang ingin tahu, biarkan ia saja yang mengungkap dirinya .
Sirollah, dzatullah, paying Allah, Ya huallah, Ya huallah, Ya huallah
Jakarta, 10 Juni 2016
Hikayat Siksa Koruptor
Walaqad zara’na lijahannama kasiram minal jinni wal insi
Lahum qulubul layafqahuna biha
Walahum a’yunul layubsiruna biha
Walahum azanul layasmauna biha
Ulaika kal an’ami balhum adallu
Ulaika humul gafiluna
Satu-satu pengantar jenazah melangkah
Angkat kaki meninggalkan gundukan tanah merah basah
Seorang kaya raya meninggal lantaran digelayuti gelisah
katanya mengakhiri hidup memotong nadi dan kehabisan darah
Angin tipis mendesir dalam condong mentari mulai rebah
“Koruptor, mati kaga diterima bumi” suara pelan terdengar
“Ngakunya cuman klerk, masa tukang ketik surat bisa beli
tanah be’elo-elo, tiga bebek, dua moge, Juke, Audi, Pajero,
Volvo, Camry, Nissan, dua lagi seperti nama perempuan,
membangun rumah dua tingkat gaya artdeco”
“Nggak baik membicarakan keburukan orang yang sudah meninggal”
Masa hidup sang jenazah ada di posisi basah
uang negara bertumpuk mengalir keluar melalui mata penanya
pajak siluman sepuluh persen dari total biaya
pundi-pundi pribadinya tak cukup menampung hasil tebasan
golok hitamnya
belum lagi komisi dari perusahaan yang menang tender
karena selalu ada jalan dan tempat kongkalikong
Anak istri keponakan mertua dibikinkan rekening pada bank berbeda
Menampung limpahan uang haram jadah nan menggoda
Maka festival korupsi lumrah dan meriah di mana-mana
Malu, salah, dosa Cuma beberapa jenis permainan kata
Dalam panggung sandiwara silahkan memainkannya
Atau jadikanlah sebagai perisai penangkis mulut sinis pesaing sesama
Malam menawan memainkan karakter mentereng tiada tergesa
Ia pelakon ulung menguasai panggung korupsi sedetil-detilnya
“Koruptor mati kaga diterima bumi”
Ledakan terdengar dari dalam kubur
Orang-orang yang belum jauh pun menoleh terus kabur
Ada apakah suara bergedebum di kuburan berkembang ditabur
Terdengar tangisan yang aduhnya menyayat bikin hati hancur
“Aku penghisab datang bersama titah agar api siksa
dikobarkan”
Maka api merah bergelora di dalam kubur
Warna merahnya karena dinyalakan seribu tahun
Dilanjutkan seribu tahun sampai putih
Seribu tahun lagi hingga hitam legam nyala baranya
Jika ada lubang sebesar ujung jarum
Sinar yang keluar dari lubang itu dapat membakar alam dunia
Koruptor mati disiksa kubur
direbus dengan timah mendidih
diselang-seling minum darah nanah
bibir kuping mata dan kemaluannya ditarik dengan kail rantai membara
perut melembung berisi lahar sebesar gunung
dililit ular besar dan kalajengking tak henti menyengat
dipukul dengan gada besar sehingga hancur disatukan lagi
dipukul lagi
ditusuk mulutnya dengan tongkat besar sampai tembus ke anus
segala sakit siksa kubur dialami koruptor
sepanjang waktu sampai tiba hari kiamat
Surga hanya dihuni orang berakal
Koruptor kehilangan akal!
Alyauma tujzauna azabalhuni
bimakuntum takuluna alallahi
garial haqqi wakuntum an-ayatihi tastakbirun.
Jakarta, 23.05-2016
Sihir Sindir
Nene bodo-bodo Kaki bodo-bodo Nene pegatan Kaki pegatan
Rumahnya di pulo pendek Motong bambu jangan pendek Biar
pendek biar tajem Pantek ke lobang pantatnya kuntilanal Biar
tembus ke embun-embunannya
ketika kau menangis selayaknya orang miskin dizolimi tangan
kekuasaan, itulah sihir dusta yang kau bungkus keserakahan,
sungguh suguh sandiwara dari naskah norak berselubung
dendam dan kebencian
tumpukan kekayaan berhasil kau sulap seolah bergelayut
penderitaan, sembari kau menggelinjang meradang laksana
menahan siksaan, itulah cara zalim yang kau umbar mengikuti
nafsu watak setan
rancangan muslihat penghianat laknat, membelah
ketenteraman bulat-bulat sejarah, sejarah yang kau bangun penuh
dendam kesumat, kecurigaan dan benci menjadi pedang kilat-
mengkilat, penuh syahwat siap membabat
saeni pelakon pion lugu, berlagak pilon mengharu biru, air
matanya membuat orang tersedu-sedu, akrobatikmu menyihir
orang memaki tanpa rasa malu
kau pengatur lakon berjelajar paranoid, merakit bom waktu,
mengisi tangki penuh amarah , kedunguanmu membentuk
monster. Kerakusanmu perbudakan abadi.
(Sang Ratu kuntilanak anak-anak mati beranak sundel malem mati di kolong)
Jakarta, 24 Juni 2016
Mantera Maret
Ingsun nang warui saturune warhana apa
tatag tulak papag sungsang
teluh pulang igawe pulang
di situ berhalanya di sini berhayunya
istan-istan tampak rana
Mat Indit menjilat darah dari robekan luka menganga
tubuh bertopeng entah kawan entah lawan tak berdaya
mata merahnya menampung muslihat berselimut laknat
menjerat hasrat kecongkakan atas nama rakyat
menjelma rakus tanpa malu pada adat istiadat
Siang menjadi siasat berstrategi mengambil hati
menggoda sana sini dan bersolek penuh puji
isi lembaga mulia mengangguk nikmat bagai kena kili
Cuaaah, mantera Mat Indit muncrat dinihari
Pagi berantakan menghiba pada matahari yang linglung
sehingga pagi dan matahari hanya rombongan gelembung
loyo bagai jutaan anak negeri terserang busung
negeri yang pemimpin dan cendekianya berujud belatung
Malam penuh kengerian balas dendam orang yang
ditelantarkan
tubuh kurusnya berobah senjata tajam dihunuskan
napasnya membara siap membakar istana dan pemimpin berandalan
tuntaskan rapal matera agar lunas dendam kesombongan
Si borok tongtong ke kitu ke kidang
Ke tegal awat-awatan ke duku pata paluna
Nenek luwung gede Kaki cai gede
Mahula deket-deket mahulang ke manusa
Cuah!
Jakarta, 26.4.2016
Yahya Andi Saputra, anak Gandaria Selatan yang Pecinta Sohibul Hikayat ini lahir di Jakarta, 5 Desember 1961. Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Jakarta, penerima Penghargaan Kebudayaan bidang Pelestari , Kemendikbud pada tahun 2015. Pernah diundang sebagai Visiting Research Fellow, Research Institute for Humanity and Nature (RIHN), Jepang. Menulis berbuku-buku, antar lain: Gelembung Imaji(1999, puisi); Beksi: Maen Pukulan Khas Betawi (2002); Upacara Daur Hidup Adat Betawi (2008); Pantun Betawi, Refleksi Dinamika, Sosial Budaya;Sejarah Jawa Barat Dalam Pantun Melayu Betawi, dan banyak lagi.
Wow, Yahya anak Betawi – tukang Sastra – penerus Bang Ben nyang diksinya spontan mengalir kayak grojokan. Yakin, adonan tulisannya bau puisi, kayak esei, pakai bumbu mantra = naskah pertunjukan. Jeroannya emang kental Sohibul Hikayat. Moga-moga abis Idul Adha atawa ngramein Agustusan udah jadi garapan pentas. Ini hari Ane umumin : Tunggu Tanggal Mainnya!🤔👍