MISI SEMESTA ALAM
Dengan adanya wabah COVID-19 menurut saya menjadi momentum penting untuk mengubah paradigma berpikir dalam berkesenian dan kebudayaan pada semua lini apapun, khususnya pada konteks pengelolaan dan pengembangan ekosistem kesenian.
Bayangkan, wabah Covid telah memporakporandakan seluruh dunia dengan segala tatanan rusak berantakan, Di Indonesia terjadi kerusakan norma-norma, disintegrasi sosial dan budaya lewat media sosial. Berita hoax berseliweran di dunia digital virtual.
[iklan]
Masyarakat dipaksa Stay at Home, Work from Home, Acara kesenian dan budaya ditunda, seniman mati gaya, namun, ada beberapa peseni dengan komunitas yang mampu menerobos kebuntuan, dengan aplikasi yang ada di HP Android mereka tetap berkarya. Melalui teknologi Android itu, perlu dicermati untuk pengembangannya di masa mendatang, jelas bakal semakin canggih, dimudahkan, lebih praktis, efisien, efektif dan dituntut kreativitas tinggat ‘dewa’.
Pada poin ini, diperlukan generasi muda yang memiliki penguasan teknologi virtual digital ‘mumpuni’ dengan beragam aplikasi yang terintegrasi, yang bersinergi dan berkolaborasi bersama sub-ekosistem kesenian lainnya, baik secara individu, melibatkan komunitas yang ada di daerah-daerah maupun yang ada di negara manapun di seluruh dunia.
Di era Industri 4.0 saja, sudah banyak menjungkirbalikan semua sistem manajeman, SDM, transaksi, distribusi, transportasi, media informasi. Begitu pun di industri film, ke depan, tidak lagi menggunakan aktor/aktris, digantikan dengan animasi yang lebih sempurna akting dan bisa melakukan adegan yang sangat berbahaya, tanpa stuntman, tidak menggunakan pemeran pengganti, dst.
Apalah jadi, jika penerapan 4 G bergerak ke 5 G atau 6 G untuk kurun waktu 10 – 30 tahun ke depan? Dimana, kecerdasan manusia yang dimilikinya telah mampu menciptakan kecerdasan mesin untuk menggantikan peran pekerja seniman yang bersifat mekanis, sistematis, dengan ukuran capaian yang telah diprogramkan dalam bentuk ‘Robotik’, Hologram, Animasi 4 Dimensi?
Teknologi ini sudah ada, tinggal kita, generasi yang lahir di tahun 1960 – 2000 siap kah menghadapinya dengan percepatan menghasilkan karya melampui jamannya? Bayangkan, jika pertunjukan Teater tergantikan oleh ‘Wayang Golek’ berbentuk manusia yang sesuai dengan karekter cerita, bermacam tokoh di atas panggung telah diprogram/dikendali dengan durasi yang tepat, penonton merasakan emosinya karena didukung oleh Surround Sound, setiap tokoh bisa berinteraksi dengan penonton, berdialog interaktif yang memperkaya jalannya cerita.
Begitu pun Penyair /Sastrawan, sekarang sudah ada aplikasinya untuk membuat puisi yang terintegrasi dengan narasi dan literasi ke link-link lainnya, melalui kata kunci (key word) yang sama. Bukan hanya puisi, tetapi juga dalam karya cerpen dan novel dari belahan bumi mana pun.
Bagaimana pun majunya teknologi virtual digital, tetap kecerdasan intelektual seniman tidak bisa tergantikan, asalkan saja setiap individu peseni mau dan mampu mengelola karunia yang diberikan SANG MAHA yang tersembunyi di dalam OTAK dan HATI. Waktu yang bergerak di manajej dengan penuh kedasaran, kepedulian, ketertarikam untuk terus mengikuti perubahan peradaban yang sangat cepat berganti. Tidak bisa berdiam diri, apalagi bekerja sendirian, perlu ada sinergitas bersama siapa pun, dimana pun, kapan pun.
Nah, mudah-mudahan di Forum Komunitas EKOSISTEM KESENIAN ini kita bisa saling belajar pembelajaran, dari seluruh lintas profesi kesenian dan kebudayaan dengan nilai-nilai kesetaraan, untuk melahirkan karya dalam memuliakan manusia, sebagai Hamba yang diamanatkan oleh SANG MAHA KREATIF untuk membawa misi Rahmat bagi Alam Semesta. (Eki Thadan, 11/4/2020)