Si Pitung Macan Betawi

Diceritakan ulang oleh Abah Yoyok

Rawa Belong nama kampungnya,  Si Pitung nama jagoannya. Macan Betawi, anak semata wayang dari pasangan Bang Piun dan Mpok Pinah.  Sejak kecil dia udah rajin sembahyang dan mengaji. Menjelang dewasa dia berguru pada Haji Naipin. Selain memperdalam ilmu agama ia juga belajar maen pukul dan ilmu-ilmu kesaktian  lainnya. Setelah ilmu yang dipelajari dirasa cukup, Pitung kembali pulang .

Si Pitung dikenal sebagai jagoan yang baik hati, taat pada agama dan suka menolong pada sesama. Saking jagonya, dia punya badan nggak mempan ditembus peluru, apalagi hanya sekedar sabetan golok.

[iklan]

Selama ada di rumah, Pitung sangat rajin membantu orang tua. Ia ngangon kambing milik bapaknya. Setiap pagi ia angon kambing-kambingnya ke padang rumputan. Sore hari, sebelum matahari terbenam, barulah kambing-kambing  ia giring pulang ke rumah.

Kehidupan Pitung bersama kedua orang tuanya sangat sederhana. Bapaknya tidak punya pekerjaan tetap. Sehari-hari kerja Bang Piun adalah keliling kampung, melihat-lihat kebun orang., dan membeli buah-buahan yang masih setengah matang. Lalu, buah itu diperam. Setelah matang, baru dijual ke pasar.

Tak jauh beda dengan kehidupan keluarga Bang Piun, tetangga-tetangga Pitung juga hidup sangat sederhana, bahkan tak sedikit yang hidup serba kekurangan. Hal ini membuat Pitung jadi prihatin. Apalagi kalau dia lihat orang-orang yang kaya justru semakin bertambah kaya, tak mau perduli pada rakyat miskin. Bahkan para orang kaya itu justru tega memeras orang miskin melalui para centeng (tukang pukul) mereka.

Salah satu orang kaya di kampungnya adalah tuan tanah yang bernama babah Liem Tjeng Soen. Sebagian besar tanah yang ada di Rawa Belong adalah bagian dari daerah kekuasaannya. Oleh karena itu semua warga yang tinggal di wilayah kekuasaannya wajib membayar pajak kepada babah Liem. Hasil pajak tanah itu kemudian disetorkan kepada kompeni Belanda.

Untuk urusan memungut pajak, babah Liem dibantu anak buahnya yang rata-rata jago silat dan berasal dari kalangan pribumi. Dengan demikian maka tidak ada warga kampung yang berani melawan atau membantah apabila dimintain pajak.

Pada suatu hari , ketika si Pitung pulang dari sawah, seusai bantu panen bapaknya, dia kaget sesampainya di rumah. Anak buah babah Liem lagi marah-marah, ngomelin bapaknya. Dengan hati  penasaran Pitung segera datang mendekat.

“Hei, ada apa ini. Babe gue diomel-omelin, emangnya salah apa babe gue?”

“Lu tanya sendiri ama babe lu, tuh,” jawab anak buah babah Liem.

Ketika Pitung menoleh ke arah bapaknya, Bang Piun memberi isyarat dengan gelengan kepala dan mulut setengah monyong, terbuka tanpa suara. Seakan ia ingin berkata: “Udah… jangan dipikirin… biarin aja…”

Anak buah babah Liem segera pergi dengan membawa semua hasil panen yang telah dikumpulkan  Pitung dan bapaknya. Dengan nada geram, Pitung memandang kepergian anak buah babah Liem, sambil mengancam dalam hati, “Lo tunggu pembalasan gue!”

Besokan harinya, ketika Pitung jalan-jalan keliling kampung, dia melihat lagi kelakuan anak buah babah Liem yang sewenang-wenang terhadap penduduk. Mereka merampas ayam, kambing, kelapa, dan padi dari penduduk, tanpa rasa kasihan sedikit pun. Pitung jadi gregetan. Segera ia samperin itu anak buah babah Liem.

“Hei pengecut, brenti lo pada. Jangan bertindak semena-mena! Kenapa banda orang pada lo rampas-rampasin?!”

Para anak buah babah Liem nengok ke arah Pitung. “Siapa lo, berani-beraninya ngerecokin kerjaan kita-kita orang? Emangnya lo kagak tau ya, siapa gue?” teriak salah satu dari anak buah babah Liem.

“Gue kagak perduli, siapa lo pada. Perbuatan kalian itu kejam dan tidak punya peri kemanusiaan! Lo ini setan apa manusia, sih?!”

Mendengar perkataan Pitung, pemimpin anak buah babah Liem jadi geram. Ia lalu menghampiri Pitung, dan langsung mengirim pukulan sembarangan. Dia pikir Pitung akan mudah dirobohkan. Ternyata, di luar dugaannya, Pitung langsung geser badan, menangkap lengannya dan membantingnya ke tanah sampai akhirnya dia pingsan. Anak buah babah Liem yang lain yang melihat kejadian itu segera mengepung Pitung. Belum sempat mereka melakukan serangan, Pitung  dengan gesitnya melakukan serangan. Tangan dan kakinya bergerak memainkan jurus-jurus yang pernah ia pelajari dari Haji Naipin. Lima orang yang mengeroyoknya itu jatuh satu persatu. Ada yang kena hajar pelipisnya, ada yang kena ketendang  tulang keringnya, ada juga yang kena tonjok perutnya. Pendek kata, dalam tempo sekedipan mata, mereka jatuh ngejoprak kesakitan.  Lalu, sembari menahan sakit, mereka menggotong pimpinan mereka yang masih pingsan, dan melarikan diri.

Sebelum pergi, mereka sempat mengancam: “Awas, lo! Entar gue laporin tuan Demang, lo!”

“Silahkan lapor, gua kagak takut!” sahut Pitung kalem dan yakin.

Beberapa hari setelah kejadian itu, Pitung jadi bahan omongan di seluruh kampung Rawa Belong. Tapi Pitung tenang-tenang saja.

***

Pada suatu hari, bang Piun menyuruh  anaknya menjual kambing ke pasar Tanah Abang.

‘’Pitung, badan Babe berasa nggak enak banget nih. Lo bantu babe jualin kambing ini ke pasar, ya,’’kata Bang Piun sembari menyerahkan dua ekor kambing pada anaknya.

‘’Siap, Beh,’’sahut Pitung.

‘’Kalo bisa harganya jangan terlalu murah jualnya. Kambing gemuk dan sehat begini mah kudu mahal harganya,’’ pesan Bang Piun pada anaknya.

Maka berangkatlah Pitung ke pasar Tanah Abang, menuntun dua ekor kambing yang akan dijualnya. Sesampainya di pasar Tanah Abang, banyak calon pembeli yang tertarik. Pitung tak perlu menunggu lama, kedua ekor kambingnya laku terjual dengan harga yang lumayan. Pitung senang hati. Setelah memasukkan uang hasil menjual kambingnya ke kantong celana, ia cepat-cepat pulang. Di depan pasar ia dicegat sekelompok preman pasar.

“Woi, mau kemana, lo?”

“Mau pulang, bang,” jawab Pitung santai.

“Pulang kemana. Emangnya rumah lo di mana?” tanya ketua preman lagi sembari meraba-raba kantong celana Pitung.

“Rawa Belong, Bang.”

“O, anak Rawa Belong, lo? Ya udah pulang dah sono.”

Pitung segera pulang.  Ia tak sadar kalau uang hasil penjualan kambing di dalam kantongnya, ternyata sudah di ambil oleh salah satu dari para preman pasar yang mengelilinginya tadi. Ketika sudah hampir sampai rumah, Pitung merogoh kantong celananya ingin menyerahkan uang hasil penjualan  kambing ke bapaknya.  Ternyata uangnya sudah tak ada! Pitung teringat ketika ia bertemu dengan para preman tadi, dan di ajak mengobrol. Salah satu dari preman itu rupanya sudah mengambil uangnya di kantong celana.

‘’Ah, bego banget gue. Sampai nggak sadar kalau gue udah dikerjain ama itu preman-preman pasar.” Pitung menyesal. Dengan hati gregetan ia balik badan kembali ke pasar, menemui para preman itu di pangkalan tempat mereka nongkrong. Tapi waktu Pitung tanya soal uangnya, mereka tak mau mengaku kalau mereka telah mengambil uang di kantong celananya. Pitung tak percaya, ia yakin kalau para preman itulah yang telah mengambil uangnya. Para preman tetap tak mau mengaku. Mereka saling bantah, sampai akhirnya Pitung hilang kesabarannya. Segera ia pasang kuda-kuda, lalu ia mainkan jurus-jurus ilmu silatnya. Tangan dan kakinya bergerak dengan gesit mencari sasaran. Satu persatu preman pasar itu jatuh ngejoprak, sampai akhirnya mereka menyerah dan mengembalikan uangnya Pitung, lalu lari ketakutan.

Pemimpin preman pasar yang bernama Rais, sangat kagum dengan kehebatan ilmu silat yang dimiliki Pitung. Segera ia cari tahu rumah Pitung di Rawa Belong, lalu pada keesokan harinya ia datangi rumah si Pitung bersama teman-temannya. Rais berniat mengajak Pitung bergabung dengan para preman dan copet di pasar. Ajakan Rais cukup mengagetkan Pitung, dan langsung ia tolak. Ilmu yang ia dapatkan di pesantren bukanlah untuk melakukan perbuatan yang tak terpuji, tapi untuk menebar kebaikan pada sesama, menolong dan membela yang lemah.

Pitung menarik nafas panjang , dan menghembuskannya pelan-pelan sembari geleng-geleng kepala. Dengan santai ia lalu menasehati para preman itu agar tidak lagi berbuat jahat kepada orang lain. “Jangan nyusahin orang yang memang sudah susah hidupnya. Kalau bisa kita justru harus membantu orang susah,” begitu kata Pitung menutup nasehatnya. Rais dan teman-teman premannya jadi bingung. Gimana caranya mau bantu orang susah, sementara hidup mereka sendiri serba kekurangan?

Pitung mikir sebentar mencari ide. “Begini aja sekarang,” katanya tiba-tiba.

“Gimana, Bang?”

“Jangan cuman nyopet, tanggung! Sekalian aja tapi kita ngerampok!”

Nah lo! Ajakan Pitung untuk mencopet dan merampok itu langsung disambut gembira oleh Rais dan kawan-kawannya.

“Tapi begini…” sambung Pitung kemudian.

“Gimana, Bang?”

“Kita nyopet bukan sembarang nyopet. Merampok juga bukan sembarang merampok.”

“Maksudnya, Bang?”

“Yang kita copet dan kita rampok cuman orang-orang kaya doang. Orang kaya yang sombong dan orang kaya yang pelit. Terus, hasil nyopet dan hasil rampokan, kita bagi-bagiin dah ke sodara-sodara kita yang hidupnya miskin dan susah. Gimana? Lo pada setuju, kan?”

Rais dan kawan-kawan premannya sejenak terdiam sembari mikir.

“Kalo hasil nyopet sama hasil ngerampok kita bagi-bagi, kita dapet apaan, Bang?”tanya Rais.

“Urusan itu mah kita atur nanti aja. Yang penting kita rampok orang-orang kaya yang pelit dan sombong. Elo-elo pada bakalan dapet jatah juga. Gue nggak usah.”

Rais dan kawan-kawannya kembali diam. Mikir sejenak. Pitung memandang mereka satu persatu sembari tersenyum, lalu berkata: “Gimana, kalian setuju?”

Tak ada jawaban. Pitung tersenyum. “Gua nggak maksa. Tanpa elo-elo pada, gua bisa ngerampok sendirian.”

Rais dan kawan-kawannya lagi-lagi terdiam. Mikir. Menimbang untung ruginya kalau ikutan Pitung.

“Saya ikut bang Pitung aja dah,” sahut Rais dengan mantap. Sahutan Rais segera diikuti oleh kawan-kawannya. Pitung menarik nafas lega.

***

Sejak Pitung dan kawan-kawannya mulai menjalankan aksinya, orang susah dan orang miskin pada senang  dan gembira. Kehidupan mereka berubah menjadi sedikit lebih baik. Meskipun Pitung seorang penyelamat bagi kaum miskin, tapi oleh kompeni Belanda ia dianggap telah melakukan perbuatan yang tidak baik, karena itu si Pitung harus ditangkap.

“Kita harus menghentikan ulah si Pitung yang telah membuat onar itu. Kalau perlu tembak mati saja agar tak mengganggu ketentaraman kita,” kata kepala polisi Kompeni Belanda. Maka setelah itu, berbagai usaha dilakukan untuk menangkap Pitung. Namun tak mudah untuk menangkap Pitung. Ia selalu berhasil lolos dari kepungan pasukan kompeni Belanda. Berkali-kali Kompeni Belanda berhasil menembaknya, tapi timah panas yang bermuntahan dari bedil-bedil Kompeni tak mampu menembus kulitnya. Kepala kompeni Belanda nyaris putus asa.

“Bagaimana cara menangkap si Pitung pembuat onar itu? Dia pasti punya kelemahan,” kata kepala Kompeni Belanda dengan hati kesal kepada anak buahnya. “Kita harus cari apa itu kelemahan si Pitung,” sambungnya lagi.

Maka berangkatlah kepala Kumpeni Belanda bersama anak buahnya ke rumah Haji Naipin, gurunya Pitung. Karena merasa nyawanya, juga nyawa keluarganya terancam, dan demi kelangsungan pondok pesantrennya, Haji Naipin membocorkan kelemahan Si Pitung.

“Akhirnya aku tahu kelemahanmu, Pitung!” ucap kepala Kompeni Belanda dengan geram.

Singkat cerita, kompeni Belanda berhasil menemukan persembunyian si Pitung. Tanpa membuang waktu, mereka Iangsung menyergap si Pitung. Kompeni Belanda yang sudah mengetahui kelemahan Pitung pun dengan mudah melumpuhkan Pitung.

Ketika diserang Pitung masih berusaha melawan. Namun, para polisi Kompeni itu sudah tahu kelemahannya. Mereka langsung melemparkan Telur Busuk ke tubuh Pitung. Ketika ia mulai tidak berdaya, kompeni langsung menembaknya dengan senapan  yang pelurunya terbuat dari emas. Pitung akhirnya tewas.

***

DST, Feb 2020

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *