Sederhananya, Puisi adalah Bahasa Rasa yang punya Rasa Bahasa. Karena itu, siapa pun dia yang mampu membahasakan perasaannya atas apa yang ia dengar, ia lihat dan rasakan dalam bentuk rangkaian kata maka itulah Bahasa Rasa yang bisa disebut puisi. Lalu Rasa Bahasa itu yang seperti apa? Sederhanya lagi, Rasa Basa akan terasa dalam Bahasa Rasa yang disampaikan oleh penulisnya, dan ini tentu saja tergantung pada jam terbang si penulis serta tingkat kecerdasannya. Bisa jadi Bahasa rasa itu menyentuh perasaan kita, sehingga bahasa yang awalnya bersifat individual, menjadi universal. Dan apa yang terkandung dalam Bahasa Rasa itu mewakili rasa kita semua, apakah itu protes, renungan, nasehat, dan sebagainya. Selanjutnya seperti apa Rasa Bahasa dari Bahasa Rasa dalam puisi-puisi Salimi Ahmad? Silahkan menikmati. (Redaksi)

[iklan]

Sajak Sewenang-wenang

Ini sajak sewenang-wenang
yang lahir begitu saja
di malam kerontang
ketika gerah menyerang
dan badan kuyup dipenuhi
keletihan

Ia menulis dirinya sendiri
dari keadaan yang serba tak pasti

Ia sebut dirinya anarkhi
Ia tendang apa saja yang ditemui
menghajar siapa saja yang coba halangi

ia ciptakan terror dan kebencian
pada selembar kertas berisi coretan coretan
ia tempeleng ketenteraman ia cekik keharmonisan
ia gertak hal hal yang serba menggelisahkan
ia gelar jeritan di tanah-tanah lapang dengan
suara puncak di bawah sinar bulan

ia pecut diam agar tak diam
ia bakar sunyi agar tak sunyi
ia merambat masuk ke dalam rambut dan
jembut, dan ia mengunci dirinya di dalam
sendiri:

ia ciptakan sajak

sajak sewenang-wenang, namanya
sumber kegelisahan  yang selalu merangkak
menyelimuti mata inderamu

ia dorong kekecewaan ke depan
ia munculkan keasingan-keterasingan
untuk menjaga getir demi getar
dari awan dan rintik hujan

Selebihnya, orang boleh
berucap. Biarkan mereka rebut
Peduli apa!

1994

Di Dunia Tipu-Tipu

di dunia tipu tipu
orang tak seharusnya menjadi penipu
sebab hakekatnya setiap orang
tak mau disebut sebagai penipu
dan tak mau ditipu
walau yang ditipu toh para penipu

jika mereka menipu dan yang ditipu
adalah para penipu
mereka telah tahu makna apa yang tersimpul
dalam setiap mereka bertemu

di dunia tipu tipu
kehidupan berjalan tanpa rasa malu
hukum dan peraturan
sama sekali tak berlaku
hanya akan mengganggu
nilai-nilai yang sebenarnya tabu

hokum yang berlaku
di dunia tipu tipu
adalah hukum yang membantu
bagaimana supaya sukses
menjadi seorang penipu

peraturan yang dipegang
adalah peraturan yang bagaimana
membuat diri aman dari kejaran
hutang-hutang dan pengkhianatan

karena di dunia tipu tipu
taka da yang mau ditipu
mereka jadi sama-sama
waspada

karena di dunia tipu tipu
taka da lagi yang bisa diakali
untuk ditipu, mereka jadi gila
lantaran kehilangan kerja

Jakarta, 29794

Kuharap Apa

kuharap apa dari sajak? Uang
tak seberapa. Pikiran tambah gila
membongkar kata. Belum tentu
yang membacanya ikut suka

malam-malam
jiwa semakin rontok
dihantam salesma
tubuh tambah ringkih
tercenung lama
mempertimbangkan Kata
mengupas luka

dan di batas rasa lelah
harga sajak tetap saja
yang paling rendah

jika pun ada yang tersisa
mungkin itu gema nurani
yang tak mau mati-mati
walau diguncang inflasi

1994

Tak Ada

tak ada yang perlu mengurut dada
sudah lama ia mengurutnya sendiri
berbilang hari, berhari janji-janji
toh akhirnya lebih kerap diingkari
lagi

tak ada yang perlu disedihkan
sudah lama ia memendamnya sendiri
sejak perbedaan pendapat dianggap
sebagai pembangkangan
sejak pernyataan protes diartikan
sebagai musuh yang harus segera
diberangus

jadi, untuk apa meratap-ratap lagi
mereka telah menyeret ratapan itu
jadi komoditi membangun nyeri
menumpuk hutang-merambah perih
dan menjualnya kembali
agar kita mengangkang mimpi

jadi, untuk apa menyengsarakan diri
untuk sesuatu yang telah terjadi
bukankah kita tetap peduli, dan keinginan selalu
membuka pintu meski pilu tak juga
mau mati-mati

:kita harus menangkan
perjuangan ini !

1994


SalimI Ahmad
, anak Jakarta yang lahir tanggal 22 Mei 1956 ini mengaku tak pernah benar-benar bisa melepaskan dirinya dari menulis puisi. Sarjana Pendidikan lulusan IKIP Jakarta tahun 1985 yang juga seorang akupunturis ini, tetap saja menulis puisi atau melukis untuk menjaga keseimbangan rasa gelisahnya.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *