RORO MENDUT
Diceritakan kembali oleh Abah Yoyok
Di pesisir utara Jawa ada sebuah desa bernama Teluk Cikal. Di desa tersebut ada seorang gadis cantik jelita, Roro Mendut namanya. Body-nya aduhai. Meskipun ia hanya anak seorang nelayan biasa, namun kecantikannya sungguh amat mempesona. Tinggi semampai, kulit kuning langsat, mata bundar seperti bola pimpong bersinar terang bagai bintang kejora. Bibir tipis melintang bagai gondewa terentang, merekah segar bagai delima pecah. Senyumnya senantiasa menggoda setiap mata pemuda yang memandangnya. Lenggang-lenggok jalannya yang bagaikan harimau lapar, membuat setiap lelaki bolak-balik mikir untuk mendekatinya.
Roro tak hanya cantik, tapi hatinya teguh. Ia tak silau dengan harta benda dari para lelaki yang datang meminangnya. Tak mudah dirayu oleh para lelaki hidung belang yang suka iseng menggodanya. Bahkan dengan sangat beraninya ia menolak lamaran Adipati Pragola II dari kabupaten Pati, karena dia sudah penya seorang kekasih, Pranacitra namanya. Pemuda tampan putra dari Nyai Singabarong, seorang saudagar kaya raya di desa Teluk Cikal.
Berkali-kali datang melamar tapi selalu ditolak. Awalnya penasaran akhirnya Adipati Pragolo tersinggung karena merasa tidak dihargai. Bangsawan punya niat baik, koq disepelekan oleh orang miskin.
“Bawa perawan kampung itu ke hadapanku, dengan segala cara. Kalau perlu paksa dia. Culik!” Begitulah kira-kira perintah sang Adipati kepada beberapa pengawalnya. Hatinya yang berkobar-kobar karena terbakar api asmara telah membuat pikirannya jadi kalap. Pesona kecantikan Roro Mendut benar-benar telah membuat jiwanya jadi endut-endutan.
Singkat cerita, Roro berhasil dibawa ke Kadipaten Pati dengan paksa untuk dijadikan selir sang Adipati. Entah selir yang keberapa, hanya Pragola yang tahu. Nauzubillah! Sebagai calon selir, Roro dipingit untuk dirawat dan dilatih di dalam Puri Kadipaten di bawah asuhan dua orang dayang bernama Ni Semangka dan Genduk Duku.
Adipati Pragola ternyata tidak hanya jidat kelimis mata keranjang. Tapi ia juga seorang pembangkang. Dia menolak untuk membayar pajak atau upeti kepada Kesultanan Mataram. Kabar angin mengatakan bahwa Adipati Pragola ingin memberontak terhadap Mataram. Maka tidak tanggung-tanggung, Sultan Agung langsung memimpin pasukan Mataram, menyerang Kadipaten Pati.
Ternyata Sultan Agung tidak berdaya. Jangan kata menangkap, melukai saja dia tidak mampu, karena Adipati Pragolo itu memakai baju zirah yang dikenal dengan nama Kere Waja, yaitu baju sakti anti senjata tajam. Melihat hal itu, abdi pemegang payung sang Sultan yang bernama Ki Nayadarma berkata: “Ampun, Gusti Prabu. Ijinkan hamba yang menghadapi Adipati Pragolo.” pinta Ki Nayadarma sambal menyembah.
Adipati Pragola setuju. Sambil menyerahkan tombaknya, ia berkata: “Gunakanlah tombak pusaka Baru Klinting ini!” ujar sang Sultan.
[iklan]
Berbekal tombak pusaka Baru Klinting, Ki Nayadarma langsung menyerang Adipati Pragolo bertubi-tubi, namun Adipati Pragola dengan mudah dapat menepis serangan lawannya, Ketika Adipati itu lengah, Ki Nayadarma dengan cepat menikamkan pusaka Baru Klinting ke bagian tubuh sang Adipati yang tidak terlindungi oleh baju zirah. Adipati Pragolo tewas seketika.
Setelah Adipati Pragola tewas, segera panglima perang Mataram, Tumenggung Wiraguna, memimpin pasukann prajuritnya untuk merampas harta kekayaan Kadipaten Pati, termasuk Roro Mendut juga menjadi harta rampasan. Tumenggung Wiraguna langsung terpesona ketika dia melihat kecantikan Roro Mendut. Maka ia pun memboyong Roro Mendut ke Mataram untuk dijadikan selirnya.
Berkali-kali Tumenggung Wiraguna berusaha untuk membujuk Roro Mendut agar mau dijadikan selirnya, tapi selalu ditolak. Bahkan kepada Panglima Perang Mataram itu Roro Mendut berani terang-terangan menyatakan kalau dia sudah mempunyai kekasih yang bernama Pranacitra yang tak mungkin ia khianati cintanya. Tentu saja Tumenggung Wiraguna menjadi murka atas kekerasan hati Roro Mendut.
Tumenggung Wiraguna berkali-kali membujuk Roro Mendut untuk dijadikan selir, namun selalu ditolak. Bahkan, di hadapan panglima itu, ia berani terang-terangan menyatakan bahwa dirinya telah memiliki kekasih bernama Pranacitra. Sikap Roro Mendut yang keras kepala itu membuat Tumenggung Wiraguna murka.
“Baiklah, Roro Mendut. Jika kamu tidak ingin menjadi selirku, maka sebagai gantinya kamu harus membayar pajak kepada Mataram!” ancam Tumenggung Wiraguna. Roro Mendut tidak gentar mendengar ancaman itu. Ia lebih memilih membayar pajak daripada harus menjadi selir Tumenggung Wiraguna. Oleh karena masih dalam pengawasan prajurit Mataram, Roro Mendut kemudian meminta izin untuk berdagang rokok di pasar. Tumenggung Wiraguna pun menyetujuinya. Ternyata, dagangan rokoknya laku keras, bahkan, orang juga beramai-ramai membeli puntung rokok bekas isapan Roro Mendut.
Suatu hari, ketika sedang berjualan di pasar, Roro Mendut bertemu dengan Pranacitra yang sengaja datang mencari kekasihnya itu. Pranacitra berusaha mencari cara atau siasat bagaimana caranya bisa melarikan Roro Mendut dari Mataram.
Sesampainya di istana, setelah dagangan rokoknya habis, Roro Mendut menceritakan perihal pertemuannya dengan Pranacitra kepada Putri Arumardi, salah seorang selir Tumenggung Wiraguna, dengan harapan dapat membantunya keluar dari istana. Roro Mendut tahu persis bahwa Putri Arumardi tidak setuju jika Wiraguna menambah selir lagi.
Putri Arumardi dan selir Tumenggung Wiraguna lainnya yang bernama Nyai Ajeng segera menyusun siasat untuk bisa mengeluarkan Roro Mendut keluar dari istana. Bersama dengan Pranacitra, Roro Mendut berusaha untuk kembali ke kampung halamannya di Kadipaten Pati.
Namun sungguh sangat disayangkan, pelarian Roro Mendut dan Pranacitra diketahui oleh Tumenggung Wiraguna. Segera satu regu prajurit diperintahkan untuk mengejar buronan. Roro Mendut dibawa kembali ke Mataram. Sementara itu Tumenggung Wiraguna secara diam-diam telah memerintahkan prajurit kepercayaannya untuk menghabisi nyawa Pranacitra. Kekasih Roro Mendut itu setelah dihabisi nyawanya segera dikubur di sebuah hutan yang terpencil di wilayah Ceporan, desa Ghandu.
Tumenggung Wiraguna kembali usaha, membujuk Roro Mendut agar mau menjadi selirnya. Namun, usahanya tetap sia-sia, gadis cantik itu tetap menolak. Tumenggung Wiraguna tak kehabisan akal. Ia kemudian menceritakan perihal kematian Pranacitra kepada Roro Mendut.
“Sudahlah, Mendut. Taka da gunanya lagi kamu menikah dengan Pranacitra, Itu hanya bisa terjadi dalam mimpi,” ujar Tumenggung Wiraguna.
“Apa maksud, Tuan?” tanya Roro Mendut, cemas.
“Pemuda yang kamu cintai itu sudah tidak ada lagi,” jawab Tumenggung Wiraguna santa.
“Kangmas Pranacitra sudah tidak ada? Ah, tidak mungkin. Aku baru saja bertemu dengannya kemarin,” sanggah Roro Mendut.
“Jika kamu tidak percaya, ayo ikut aku, akan kutunjukkan kuburnya,” ujar Tumenggung Wiraguna.
Karena penasaran, Roro Mendut menurut untuk membuktikan perkataan Tumenggung Wiraguna. Betapa terkejutnya ia begitu sampai di tempat Pranacitra dikuburkan. Ia berteriak histeris di hadapan makam kekasihnya.
“Kangmas, jangan tinggalkan aku. Hiiks…!” tangis Roro Mendut.
“Sudahlah, Mendut! Tak ada lagi gunanya meratapi orang yang sudah mati,” ujar Wiraguna, “Ayo, kita tinggalkan tempat ini!”
Sambil terus menangis terisak-isak, Roro Mendut bangkit lalu mengikuti Tumenggung Wiraguna pulang. Belum jauh mereka meninggalkan tempat pemakaman itu, tiba-tiba Roro Mendut bangkit kemarahannya. Dia mengancam akan melaporkan perbuatan Tumenggung Wiraguna kepada Raja Mataram, Sultan Agung.
“Paduka Tumenggung jjahat sekali. Perbuatan paduka akan kulaporkan kepada Raja Mataram agar mendapat hukuman yang setimpal!” ancam Roro Mendut.
Seketika, Tumenggung Wiraguna menjadi sangat marah. Ia kemudian menarik tangan Roro Mendut untuk dibawa pulang ke rumahnya. Namun, gadis itu menolak dan meronta-ronta, berusaha untuk melepaskan diri. Begitu tangannya terlepas, ia menarik keris milik Tumenggung Wiraguna yang terselip di pinggangnya. Roro Mendut kemudian berlari menuju makam kekasihnya. Tumenggung Wiraguna segera mengejarnya.
“Berhenti, Mendut!” teriaknya.
Setiba di makam Pranacitra, Roro Mendut bermaksud untuk bunuh diri.
“Jangan, Mendut! Jangan lakukan itu!” teriak Tumenggung Wiraguna yang baru saja sampai.
Tapi, terlambat sudaht. Roro Mendut telah menikam perutnya dengan keris yang dibawanya. Tubuhnya langsung roboh dan tewas di samping makam kekasihnya. Melihat peristiwa itu, Tumenggung Wiraguna merasa amat menyesal atas perbuatannya.
“Oh, Tuhan. Sekiranya aku tidak memaksanya menjadi selirku, tentu Roro Mendut tidak akan nekad bunuh diri,” sesal Tumenggung Wiraguna.
Penyesalan itu tak ada gunanya karena semuanya sudah terjadi. Untuk menebus kesalahannya, Tumenggung Wiraguna menguburkan Roro Mendut satu lubang dengan Pranacitra, kekasihnya.
Demikianlah kisah perjuangan Roro Mendut dalam mempertahankan harga diri dan kesetiaannya. Semoga jadi pelajaran buat kita semua. Cinta tidak selamanya diukur dengan harta dan tahta. Bahwa cinta itu ada karena rasa saling memberi dan saling menerima.