
Reformasi Pendidikan:
Medeka Belajar dan Nasib Guru Indonesia
Nana Supriyana, S.Pd
Merdeka belajar, istilah yang baru-baru ini digaungkan oleh Nadiem Makarim, menteri Pendidikan Republik Indonesia dinyatakan suatu gagasan yang dapat melakukan pembaharuan dalam sistem pendidikan Indonesia yang oleh berbagai kalangan masih tergolong monoton pada praktiknya di lapangan. Upaya reformasi pendidikan ini, apapun bentuk wacana dan upaya yang dilakukan pada akhirnya akan dilihat oleh masyarakat adalah hasil belajar yang ditampilkan peserta didik, karena sadar akan kepentingan posisi hasil belajar ini, maka tidak heran jika perbaikan perangkat sistem tes belajar mulai dibenahi.
Konsep merdeka belajar untuk peserta didik akan diarahkan menjadi generasi yang memiliki rasa ingin tahu, tahan banting, empati berpikir kritis, kemampuan menyelesaikan masalah, percaya diri, kerja sama dan menjadi pembelajar. Konsep ini pun dikaitkan dengan empat kebijakan, yaitu Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) zonasi.
Dalam sistem pendidikan, kita mengenal tes diagnostik yang dimaksud untuk mengukur kemungkinan hal yang akan dihadapi peserta didik pada tingkat tertentu yang akan dimasukinya, ini memiliki hubungan terkait dengan kesiapan peserta didik melanjutkan ke jenjang pendidikan. Sedangkan fungsi tes yang lain dikenal dengan tes hasil belajar, ini merupakan stasiun akhir suatu program. Namun, pada praktiknya, kerap kali tes diagnostik dan tes hasil belajar tidak memunculkan kemampuan peserta didik. Nilai-nilai tes terkadang bersebrangan dengan kualitas kemampuan peserta didik itu sendiri. Kita ambil contoh nilai hasil belajar Ujian Nasional, tes akhir yang seharusnya secara komprehensif mewakili hasil belajar selama dalam program, tidak selalu sejajar dengan yang diamanatkan oleh kurikulum yang diberlakukan pada program tersebut. Dengan kata lain, Ujian Nasional tidak dapat mewakili kegiatan belajar mengajar di kelas antara guru dan peserta didik. Mungkin inilah yang dijadikan ukuran sehingga kegiatan Ujian Nasional mengalami beberapa kali perbaikan hingga diwacanakan untuk dipindahkan bukan pada tingkat akhir dalam pelaksanaannya.
Konsep seperti ini sebenarnya upaya mewujudkan konsep yang telah digaungkan oleh Muhajir Effendy, Menteri Pendidikan sebelumnya yang mencetuskan ‘pendidikan karakter’ dengan membawa misi dari pesan Ki Hajar Dewantara dalam bukunya ‘Menuju Manusia Merdeka’ mengungkapkan pendidikan dan kebudayaan laksana dua sisi mata uang. Keduanya saling melengkapi satu sama lain. Kebudayaan adalah buah budi dan hasil perjuangan hidup manusia. Sebagai buah budi manusia kebudayaan digolongkan menjadi tiga, yakni pertama buah pikiran, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan dan pengajaran, filsafat dan sejenisnya. Kedua, buah perasaan, yakni segala yang bersifat indah, luhur, baik, benar, adil, seperti adat istiadat (etika), seni (estetika), religiusitas, dan sejenisnya. Ketiga, buah kemauan, yakni semua cara perbuatan dan usaha manusia, contohnya aturan, hukum, perundang-undangan, pertanian, perdagangan, perindustrian dan sejenisnya.
Lalu, apakah setelah direformasi akan terjadi peningkatan mutu kualitas peserta didik di Indonesia? Ataukah malah sebaliknya terjadi penurunan kualitas sebab peserta didik dimungkinkan akan kehilangan tantangan dalam belajar apalagi semuanya dipusatkan pada kebijakan sekolah yang berpotensi banyak penyalahgunaan wewenang jika tidak diawasai dengan ketat. Seharusnya kita semua sadar, keberhasilan pendidikan di Indonesia tidak hanya menitik-beratkan pada sekolah, upaya keberhasilan telah tertuang pada soko guru pendidikan nasional yang mencakup peran pemerintah, masyarakat dan keluarga. Pemerintah, misalnya berkewajiban menyediakan dukungan optimal bagi pengembangan keahlian guru-guru, penyediaan buku dan perbaikan-perbaikan fasilitas belajar. Masyarakat berkewajiban mendukung program-program yang dicanangkan dengan sekolah untuk memberikan kemudahan bekerja dan lain-lain. Keluarga dapat memberikan dukungan konkret dalam bentuk pengondisian disiplin belajar di rumah. Ketiga peran ini dapat merealisasikan prinsip ‘belajar sepanjang hayat’ sehingga kualitas peserta didik di Indonesia semakin berkembang dan maju, baik dari sisi teoritis maupun praktik di lingkungannya sendiri. Majunya kualitas manusia Indonesia berarti akan maju pula bangsa dan negara Indonesia sehingga akan unggul di masyarakat dunia.
Pada kenyataannya, permasalahan-permasalahan di lapangan selalu saja bermunculan, misalnya tawuran antar pelajar adalah hal yang sudah bukan rahasia umum, setiap tahun tercatat semakin bertambah prilaku tawuran antar pelajar di berbagai daerah. Tidak hanya itu, tindak kriminal yang dilakukan oleh pelajar pun mulai bermunculan seperti penjarahan atau yang sering dikenal geng motor yang di antaranya ada pelajar sebagai pelaku, penjambretan sampai yang paling ramai adalah pemukulan pelajar kepada guru. Lalu, apa sebenarnya yang terjadi pada perkembangan psikologi pelajar di Indonesia? Benarkah pelajar di Indonesia sudah mulai meninggalkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya? Apakah kebijakan dengan konsep merdeka belajar bisa menyelesaikan permasalahan kenakalan pelajar?
Permasalahan-permasalahan itu bisa kita analisa secara obyektif, tentu faktor penyimpangan prilaku pada pelajar ini memiliki sebabnya, bisa saja timbul prilaku yang tidak sehat pada pelajar lahir dalam lingkungan keluarga dan pergaulan masayarakat sekitar. Misalnya, percerainya orang tua yang mengakibatkan anak tidak memiliki pegangan dalam berproses meniti kehidupan, atau memang mereka salah memilih pergaulan di masyarakat sehingga terbawa arus untuk melakukan tindak kriminal. Bisa juga faktornya terjadi dari lingkungan sekolah yang pasif. Jika persoalannya dari keluarga atau lingkungan masyarakat sekitar, tentu peran serta seluruh komponen negara dan masyarakat mesti terlibat menanganinya, saling bekerja sama untuk mencegah terjadi lebih meluas. Akan tetapi, jika terjadi pada lingkungan sekolah yang pasif, ini akan dengan cepat diselesaikan. Sebab, lingkungan belajar di sekolah akan lebih mudah diawasi.
Definisi lingkungan sekolah yang pasif bisa kita analisa pada proses pendidikan di sekolah. Misalnya, pelajar atau peserta didik sering mendapatkan tekanan sangsi yang tidak mengacu pada tata tertib. Sangsi yang diberikan jika peserta didik melanggar diberikan secara spontan oleh kepala sekolah atau guru-guru, seperti pemukulan, pemulangan ketika terlambat yang bisa mengakibatkan peserta didik kehilangan hak belajarnya, tidak hanya itu peserta didik pun memiliki kesempatan untuk bergabung dengan orang-orang yang tak sehat. Sering juga terjadi pengeluaran peserta didik secara sepihak yang tidak didasari dengan sebab dan akibat yang jelas.
Proses belajar mengajar yang tidak memberikan ruang komunikatif (ruang diskusi) antara sekolah, guru dan peserta didik mengakibatkan peserta didik terpenjara, mereka tidak dapat mengeluarkan ide atau gagasan dalam menanggapi permasalahan belajar. Selain itu, sering juga terjadi larangan berlebihan yang tidak mendasar oleh sekolah kepada peserta didik, misalnya menggunakan ponsel dalam belajar, membuat komunitas-komunitas kreatif, pembatasan penggunaan fasilitas sekolah untuk kegiatan belajar dan mengajar di sekolah dan lain-lain. Tentu yang paling sangat berpengaruh adalah tidak ada penerapan metode pembelajaran yang dikembangkan secara efektif di lingkungan sekolah sehingga peserta didik semakin jenuh berada di sekolah seharian. Ini bisa menimbulkan, peserta didik bolos, nongkrong di tempat-tempat yang tidak pantas, bermain game di Warnet dan sebagainya yang memicu terjadi bentrokan dengan pelajar lainnya.
Pemerintah memang sudah memberikan ruang ekspresi untuk kemajuan pengembangan bakat peserta didik di seluruh Indonesia, dari level terbawah hingga jenjang menengah. Sebagai contoh diadakan OSN, LKS, FL2SN dan lainnya. Kegiatan-kegiatan serupa pun kerap diadakan oleh lembaga-lembaga swasta lainnya yang sering mengadakan lomba-lomba kreativitas bagi pelajar. Misalnya kita mengenal Festival Teater Remaja, Festival Teater Sekolah yang ramai diikuti oleh sekolah-sekolah dan sanggar-sanggar kesenian beranggotakan remaja.
Fenomena Gerakan Literasi Nasional yang dicanangkan oleh pemerintah pun memberikan dampak positif bagi peserta didik. Mereka yang terbiasa dengan kebudayaan-kebudayaan luar mulai kembali mengenal tradisi dan kebudayaan dan karya sastra negaranya sendiri dengan kegiatan membaca buku-buku. Tiga pilar model pembelajaran dapat terimplementasikan pada gerakan ini, yaitu model Behavioristik, Kognitif dan Transaksional. Selain itu, bermunculan juga komunitas-komunitas guru menulis yang semakin aktif mengkampayekan gerakan membaca pada peserta didiknya. Namun, itu pun sebagian besar hanya sebatas euporia sesaat.
Perpustakaan-perpustakaan di sekolah pun diharapkan menghadirkan kegiatan-kegiatan yang produktif untuk peserta didik. Kegiatan mendongeng, menulis, membaca dan apresiasi karya sastra (membaca puisi, drama, musik dan membuat film-film pendek) ditumbuhkan. Sekolah-sekolah diberikan peluang bekerjasama dengan perusahaan dan industri kreatif agar peserta didik atau pelajar dapat tersalurkan dengan keahlian yang dimiliki mereka.
Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan menaikan anggaran Biaya Oprasional Sekolah (BOS) sebagai upaya untuk menunjang segala kebutuhan dalam kegiatan sekolah agar tercapainya kemerdekaan belajar disambut baik oleh berbagai kalangan, terutama lembaga-lembaga pendidikan.
Nadiem Makarim selalu memberikan himbauan untuk menyejahterakan guru-guru di Indonesia sebab seiring guru tercukupi kebutuhannya dan tidak tertekan dengan permasalahan ekonomi maka pengembangan pembelajaran pun akan meningkat menuju kualitas yang baik dan unggul. Akan tetapi, dana BOS pun belum bisa menjadi solusi dalam mendukung proses merdeka belajar. Apalagi, masih sering terjadi intervensi dari pihak luar dalam penggunaan dana tersebut, khusunya di sekolah-sekolah swasta yang sedang berkembang meskipun tidak semua. Kepala sekolah, guru dan komite sekolah yang seharusnya mengelola dana tersebut tak bisa berkutik dari para pengusaha pendidikan yang berbasis yayasan. Pada akhirnya, laporan di kertas hanyalah sebatas laporan, berbeda jauh dengan implementasi di lapangan.
Kegiatan belajar mengajar yang sudah berlangsung selama ini sejujurnya sudah berfokus pada ‘Merdeka Belajar’ untuk peserta didik dan hampir sebagian besar guru-guru di Indonesia menerapkannya. Pemerintah semestinya mensosialisaskan, mengawal dan mengawasi hingga ke akar rumput sebab guru pada akhirnya tidak berdaya ketika menghadapi oknum-oknum yang otoriter di lapangan. Bukan hanya itu, permasalahan guru sebagai ujung tombak kemajuan pendidikan di Indonesia ini juga belum tuntas, seperti pengangkatan guru honorer, diskriminatif guru tidak tetap pada yayasan atau lembaga pendidikan swasta, penggajian honor guru yang tak memiliki aturan yang jelas, penempatan guru bukan bidang keahliannya, korupsi anggaran BOS oleh oknum pejabat sekolah dan lain-lain yang berujung pada tidak meningkatnya kesejahteraan guru. Potret inilah yang membuat ketidakseimbangan dan menambah daftar panjang nasib buruk guru-guru di Indonesia.
Merdeka belajar juga seharusnya menjadi kemerdekaan bagi guru-guru di Indonesia dari tekanan-tekanan masalah sosial dan ekonomi. Maka, reformasi pendidikan secara menyeluruh akan terlaksana dengan sempurna.
Nana Supriyana, S.Pd, seorang guru yang menulis. Peraih Penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Republik Indonesia tahun 2015.