Asal Mula Banyuwangi
Diceritakan kembali oleh Abah Yoyok

Diceritakan bahwa jaman dahulu kala, di ujung timur pulau Jawa ada sebuah kerajaan bernama Sindurejo. Dipimpin oleh seorang raja yang adil bijaksana, gagah perkasa, dan masih muda. Raden Banterang dia punya nama, berburu ke hutan adalah kegemarannya.

Alkisah pada suatu hari Raden Banterang bersama para pengawalnya pergi berburu ke hutan. Ketika sampai di pinggir hutan, ia melihat ada seekor kijang melintas di semak-semak. Tanpa pikir panjang lagi, Raden Banterang segera memisahkan diri dari para pengawalnya dan langsung mengejar untuk menangkap kijang tersebut.

[iklan]

Raden Banterang terus mengejar kijang itu hingga ke dalam hutan. Namun, ia kehilangan kijang itu dan baru menyadari kalau ia telah terpisah dari rombongan pasukan pengawalnya. Lalu, ia melihat sungai yang sangat jernih. Ia berniat untuk istirahat barang sebentar. Tiba-tiba, ketika ia menoleh ke belakang, muncul seorang perempuan yang cantik jelita dari balik semak-semak. Raden Banterang kaget, ia mengira perempuan cantik tersebut adalah mahluk halus penunggu hutan ini, tapi ia memberanikan diri dan coba untuk untuk mendekat.

“Si…Siapa sebenarnya kau ini, dan dari mana asalmu?” tanya Raden Banterang.

“Namaku Surati, aku adalah seorang putri yang berasal dari kerajaan Klungkung,” jawab perempuan itu.

“Apa yang kamu lakukan di hutan ini seorang diri?” tanya Raden Banterang.

“Aku pergi ke hutan ini untuk menyelamatkan diri. Ayahku mati terbunuh dalam pertempuran,” jawab Surati.

Mendengar penjelasan perempuan cantik yang mengaku bernama Surati itu, Raden Banterang merasa kasihan dan membawanya pulang ke kerajaan. Karena kecantikan Surati, Raden Banterang jatuh cinta kepadanya dan ingin memperistrikannya. Cinta raden Banterang tak bertepuk sebelah tangan. Surati membalasnya, hingga akhirnya mereka pun menikah dan hidup bahagia.

Pada suatu hari, ketika Raden Banterang sedang pergi berburu ke hutan, Putri Surati jalan-jalan mencari angin ke luar istana sendirian, ia bertemu dengan seorang laki-laki yang berpakaian lusuh dan compang camping yang tiba-tiba memanggil namanya. Ia sangat terkejut. Ternyata laki-laki itu adalah kakaknya, Rupaksa. Maksud kedatangan kakaknya mencari dirinya adalah ingin  mengajak Surati untuk membalas dendam akan kematian ayah mereka, dan yang mengejutkan adalah, orang yang membunuh ayahnya itu ternyata Raden Banterang.

Putri Surati sangat terkejut mendengar cerita kakaknya. Ia lalu menceritakan pada kakaknya kalau sekarang ini ia adalah istri dari Raden Banterang. Karena itu ia menolak untuk balas dendam, dan memohon agar suaminya tidak dicelakai oleh sang kakak. Mendengar cerita adiknya, Rupaksa tidak marah dan memaksa, ia malah memberikan ikat kepala kepada adiknya dan menyuruhnya agar ikat kepala itu diletakkan di bawah tempat tidur adiknya.

Suatu ketika, Raden Banterang berburu ke hutan. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan seorang lelaki berpakaian compang camping, yang tak lain adalah Rupaksa yang datang menghampirinya, dan berkata: “Wahai tuanku, keselamatanmu dalam bahaya. Istrimu, Putri Surati berniat untuk menghabisi nyawa tuan. Sungguh tuan, hamba tidak bohong. Paduka bisa membuktikannya sendiri, istri t paduka telah menyimpan ikat kepala di bawah kasurnya, itu adalah ikat kepala laki-laki yang akan menghabisi paduka!” kata lelaki itu.

Mendengar itu, Raden Banterang langsung kembali ke istana. Ia mencari-cari ikat kepala yang diceritakan laki-laki tadi. Betapa terkejutnya ia ketika menemukan ikat kepala yang dimaksud. Ia sangat marah dan langsung mencari istrinya, ia takut takut keselamatannya terancam. Akhirnya, ia menemukan istrinya di taman istana. Raden Banterang langsung membentak dan memarahi istrinya, dan menanyakan perihal ikat kepala yang ia temui di bawah bantal.

“Ayo katakan, jangan bohong. Ikat kepala siapa itu yang tersembunyi di bawah bantal!”

Putri Surati kaget mendengar pertanyaan suaminya. Ia kemudian mencoba menjelaskan. “Sebenarnya ikat kepala itu aku dapatkan dari kakakku. Ia telah memberikan ikat kepalanya ketika tadi kami bertemu, dan kakakku berpesan untuk menyimpan ikat kepala pemberiannya itu di bawah bantal. Sungguh kakanda, aku tak bermaksud untuk mencelakaimu.”

Raden Banterang yang sudah terbakar api amarah sudah tak perduli lagi dengan penjelasan istrinya. Ia menyeret istrinya keluar istana dan membawanya ke sebuah sungai. Sesampainya di pinggir sungai, Putri Surati berkata: “Kakanda, bunuhlah aku, lalu ceburkan mayatku ke sungai. jika kemudian air sungai ini berbau harum, itu artinya aku tidak berbohong. Akan tetapi jika air sungai mengeluarkan bau busuk, itu tandanya aku telah berbohong kepadamu.”

Tanpa pikir panjang lagi, Raden Banterang mencabut kerisnya, lalu menusuk perut istrinya. Jleb! Putri Surati mati seketika itu juga, mayatnya jatuh ke sungai dan terbawa arus. Hilang dari pandangan Raden Banterang. Sejenak kemudian terjadi keajaiban, air sungai tiba-tiba menjadi jernih dan mengeluarkan bau harum. Raden Banterang lamat-lamat teringat akan kata-kata terakhir dari istrinya. Muncul penyesalan dalam hatinya. Namun apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Istri tercinta telah tiada. Ia meratap di tepian sungai, menangisi kepergian istrinya. Tinggallah kini yang ada hanya air sungai yang jernih dan berbau harum.  Dalam bahasa jawa, banyu artinya air dan wangi artinya harum. Nama Banyuwangi kemudian menjadi nama kota Banyuwangi. (AY)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *