MUSAFIR CINTA

Malam sunyi sesaat mengacak gelombang
lalu diam, menuang percakapan paling kasih
antara cahaya-Mu dan naluri abdi

Para saksi berdzikir, membaca Wajah-Mu
Sewaktu-waktu perahu penanda cinta, perlahan menuju,
tabah menempuh dermaga abadi

Ketika kesadaran terbuka, kami tahu:
Ihwal hak asasi memperjuangkan akhlaq
meletup dari genggaman dada pembawa amanah
Telah datang risalah bertandang ke rumah-rumah ibadah
demi menempa keikhlasan, sanggup
mensyukuri kehadiran langit-bumi –sajadah lekang,
tempat kami sejenak istirah

Kalau tidak karena langkah kakimu ke negeri kami
menawarkan jalan lempang untuk dilalui
Niscaya, tapak-tapak kehidupan tak akan mudah
kami telusuri kembali

Kalau tidak karena kerelaan hatimu bestari
membawa semangat pengasah iman insani
mungkin perjalanan ini terhenti atau lepas kendali

CITRA DUA CINTA

Habibie-Ainun bertemu di belanga
Di atas tungku jibaku nyata
Mendekap akar jiwa kemanusiaan
Bekal membaca hidup sesungguhnya
Masa muda pun tak sia-sia

Gula jawa gula pasir
Gadis jelita pun ditaksir
Dua insan saling suka
Tak hanya teman berbagi duka
Cinta memekar di bawah mentari harapan

Sang mata menghela laju hidup tuan
Pecinta menuang kasih keluarga
Namun tiada kisah tanpa akhir
Tarian laga usai, kesah berderai
Berbatas takdir, diam dalam damai

NAFAS PEREMPUANMU
: membaca kabut Toeti Heraty Noerhadi Roosseno

ketika sadari aku dalam budaya
kau benangsari melanglang buana
denyut pikir menitis sabda
co gito ergo sum, tirumu
ternyata kita kawan seteru
sama-sama pernah ragu

deru kalimat menyoal ada
larut ke penjuru wacana
dirujuk para tunas muda
rimbun dedaunan menguak
mutiaramu mendesak
nafas perempuan bergolak
hampir saja Rahasia-Dia terkuak

senja berkelindan perak bara
ujung rambut meniti usia
menandai perjalanan ke nirwana
aku merasa, maka aku tiada
hendak pergi ke sana, pamitmu
yakini adamu, sanggahku

ngangut menyudahi pertemuan
kami kenang makna bunga biru
tumbuh liar di bukit kata-kata
aku adamu, kau adaku
Dia-Adakan kita bagi semesta

TERAS SURGA UJUNG TIMUR PULAU JAWA
the sunrise of Java

Alam Banyuwangi mendendangkan pesona
Nyanyikan debur ombak di penjuru pantai Blambangan
Puncak Raung diikuti gunung-gunung meraih angkasa
membujuk pandangan sejak pagi hingga senja menghalang

Celah bukitan Gumitir memandu jalan kelana
berkelokan mengukir kawasan wana-wisata
Seringkali hujan mengajak rehat di meja hidangan
memicu selera menu pecel-rawon, botok-lebah
atau nasi-cawuk, sambal-tepong penggoda lidah

Secangkir kopi-lanang dari kebun Malangsari
menemani kunang-kunang mengeja tradisi Osing sejati
yang terbaca: tebaran aroma robusta menembus Itali

Selendang Meras Gandrung menghangati malam
di saat rakyat menghelat kawinan dan khitanan
Pesta desa masih menyaji ritual Seblang pengusir bala’
melaras lontar Yusuf bagi bersyukur di musim panen raya

Panorama pagi: mentari singgah di tepian Taman Meru Betiri,
Pantai Penyu berkhidmat, menyimak cerita situs religi
tentang merak hijau dan fauna buas di savana Sadengan
penjaga hawa mistis Alas Purwo penuh misteri

Suhandayana adalah nama pena: KhoHand. Penulis puisi dan lagu kelahiran Surabaya, 18 Juni 1961. Alumni S1 FH Unair ini pernah bekerja di Surabaya Post sebagai Reporter dan Manajer HRD, serta redaktur di beberapa tabloid group La Persada Nusantara. Selain bekerja sebagai legal officer di beberapa perusahaan swasta, ia juga menjadi editor freelance berbagai jenis (genre) karya tulis. Tulisan kreatifnya (puisi, cerpen) dimuat dalam berbagai antologi bersama.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *