Peristiwa dalam hidup sehari-hari yang kita baca lewat laku dan kekata, sejatinya adalah perjalanan kita yang pada akhirnya akan sampai ke titik horizontal di mata Penguasa Semesta. Dengan Bahasa Rasa-nya, Penyair mengajak kita untuk bersitatap dengan segala peristiwa, membaca dengan seksama setiap apa yang terbaca, untuk selanjutnya mengenal kehendak Sang Penguasa Semesta. Selamat menikmati. (Redaksi)

[iklan]

Merapal Wajah

Tidakkah kita amati keterpesonaan pada sebingkai peristiwa yang dipajang untuk dikenang
adalah jalan terjauh yang tak akan tersusuri
bagaimanapun obsesi yang selalu menguasai
sebesar azam yang membara, tentulah kita pahami, tak ada yang pasti selain kini
berada di halaman yang telah lama dinanti atau justru tak dikehendaki.
Membacanya seksama, deret diksi yang selayaknya kita apresiasi, selalu lekat dengan makna, lalu lahirlah persepsi; terserap di ruas-ruas jari.
Lantas saraf-saraf kehidupan bersambut; menciptakan rasa yang bereuforia di belantara fana.

Peristiwa yang kita baca; bersitatap lewat laku dan kekata.
Kesengajaan, kepura-puraan, atau ketidaktahuan adalah garis vertikal; perjalanan kita yang sejatinya menghubungkan sampai ke titik horizontal; kita di Mata Penguasa Semesta. Kita baca lagi seayat kasih; mengejawantahkannya di segerak ketundukkan dan keteguhan; menadaburinya bersama.
Dan padanya, Mahacinta membisikkan sayang; mengingat wajah; menyebut nama; menyiarkan ke seluruh penduduk alam.
Wajah-wajah yang didudukkan di pesona; telah merapal berjuta peristiwa walau tak sempurna.

Cirebon, 4 Juni 2020

Gelombang Waktu

Tiba-tiba perbincangan digulung masa
Sekejap saja sore memulangkan kehendak untuk kembali memberi jarak
Begitulah setiap hasrat yang berkelindan di senikmat perjumpaan
Arus globalisasi yang memelesat—memangkas puluhan, ratusan, ribuan kilometer, seolah mendekatkan ruang-ruang keterasingan
Bersitatap tertabir layar, dibingkai eksistensi yang mengekspresikan peristiwa
Namun, sejumput kemayaan acapkali memanipulasi setumpuk persoalan yang kembali memendekkan persepsi
Menanak ekspektasi dan menuangkannya dalam gelombang ambisi, seakan menuntaskan wacana yang mengalir deras tak berhulu

Kemufakatan yang kerap diringkus argumentasi adalah sebentuk kealpaan yang patut diinsafi

Dan kemutakhiran masa seyogyanya menuntaskan asa—membidik waktu agar detak-detik usia kian bermakna
Benarlah, hanya seorang pejuang yang memahami perjuangan—lincah mengendarai kesempatan
Dan pengorbanan begitu jujur sejak permulaan hingga penghujungnya
Tersembunyi di sebalik keresahan sebuah pertanggungjawaban pada perubahan yang tak bisa diganggu gugat untuk memahamkan arti setiap peristiwa.

Cirebon, 10 Juni 2020

Surga Kecil

Bukan… bukan melupakan
Ia tak pernah hengkang dari beranda jiwa
yang setiap petang bersua
untuk meneguk air mata
Tak ada rehat agar sumbu harap tetap menyala
Hampir saja redup
Hampir saja mati
Lentera yang bersetia di langit-langit asa
Di atas surga kecilnya
Menekur saat gelegar halilintar menyambar jendela kamar
Justru semakin membahana
Jerit yang dibungkam
Lantas, ia kembali menjejak surga dari mata
perempuan muhtasyam berabad silam
Ibu para bidadari
Rahim suci
Ia terguguk
Membebat mimpi yang berkali-kali dijumpai
Limbung
Terbenam
Berbenam sampai baskara melongok jendela
Dan ia kembali mengetuk cakrawala
Membuka lembar narasi
Melakoni pentas di titian surga dan neraka
Bersaksi atas segenap peristiwa
Lalu pulang
Padamlah lentera
Habis ditelan masa

Cirebon, 11 Februari 2020

Asmarandana

Ia melantunkan syair paling syahdu
saat hening menjadi satu-satunya suara yang terdengar
Di ujung masa, saat bumantara menggulung baskara
dan mega kehilangan kilau binar, sajadah kembali digelar.
Lantas, ayat-ayat malam menetes di telapak
dalam semarak khalwat.
Cericit burung selalu mengirim risalah lewat jendela
yang mempertontonkan pagelaran suci saat kepulangan.
Hatinya basah kuyup
mendapatkan sajak-sajak paling harum yang dikecup
ketika tak ada batas antara bumi dan arasy.
Ia berceloteh saja
seumpama anak emas yang ditimang bidadarinya
Rapalan dilipatnya menjadi kuntum
yang kelak ranum
Membiarkan masa becerita
tentang rahasia langit pada bumi
Lewat tragedi, burung-burung meriwayatkan
asmarandana yang menyusup di hatinya.

Cirebon, 6 Februari 2020

Perjalanan Pulang

Diam-diam aku mengantungi lirik
untuk kunyanyikan sebelum perpulangan
menyematkan pesan-pesan sebagai teman perjalanan
menyambangi halaman demi halaman
menonton para pelaku mimpi
dan kureduplikasi di tiap tangga-tangga usia
jauh di relung, ketar-ketir mengintip Izrail mengetuk-ngetuk bangsal, merayu ajal,
bahkan tak jarang mencabik nyawa

Ngilu… bulir keringat jatuh di pelipis
dan napas putus-putus mencari sekantung udara
bukan permata, bukan takhta, bukan wanita
bisikkan talkin merayu takdir agar didekap husnulkhatimah
Laa ilaa ha illa Allah…
sebaris senyum tersungging
dan berkas cahaya memancar dari jiwa yang tenang

Sembilu… mata gusar meletup-letup mencari yang didamba
tubuh terkoyak sebelum ditinggalkan jiwa
Kering-kerontang seumpama Sahara
dahaga yang mencekik detik-detik kepulangan
o… mata cinta telah sirna
redup ditelan fatamorgana
tak kembali… kehilangan semesta, kehilangan diri, diseret-seret ke liang petaka

Aku beringsut mencari pelabuhan
menutup pintu rapat-rapat
namun ajal semakin mendekat
kurayu agar ia tak mendekat untuk beberapa saat
hati masih berkarat perlu disikat
jasad penuh debu pekat
jiwa yang tertawan neraka
dan mendamba surga
tengah menyipkan kafan yang dibeli saat di perjalanan
***

Cirebon, 11 Juni 2020

Nur Zulfiani Imamah yang memiliki nama pena Nurul Mahabbah. Ia merupakan anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Cirebon. Aktivitasnya sekarang menjadi guru bahasa Indonesia di SMP IT Al-Muqoddas Sumber Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Pembaca dapat mengontak penulis di sur-el: nurzulfiani.imamah@gmail.com, Facebook Nur Zulfiani Imamah, dan Instagram @nurzulfiani.imamah.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *