Menulis puisi memang tidak seperti menulis karya sastra lainnya. Puisi, yang memiliki ruang sempit sebagai tulisan tetapi luas secara pemaknaan menjadikannya karya sastra yang spesial. Meskipun puisi sudah berkembang menjadi narasi populer sekarang ini, akan tetapi perlu kiranya penyair memerhatikan diksi, gaya bahasa dan lainnya agar puisi menjadi sangat hidup. Ya, walaupun demikian penyair bebas menentukan sikap. (Redaksi)

[iklan]

Ibuku Penjahit

Lebih sering, di suatu ruang yang sempit. Aku melihat ibu menjahit. Mesin jahit tua itu berderit, menanggung potongan kain melilit. Sesekali ibu menguap, bila kantuk menyerang sengit, ia teguk secangkir kopi pahit sedikit demi sedikit. Sekian kali, sebab duduk dan menunduk puluhan menit, leher dan punggungnya mulai menjerit. Sakit. Kadang matanya sayu, jemarinya kaku, barangkali juga ingin mengadu. Namun kehendaknya lebih menggebu. Lebih lantang berseru.

Ibuku penjahit. Di tangannya, dengan benang ketabahan ribuan mimpi kami terjahit. Dalam keyakinannya, doa dan harapan kami melangit. Setiap waktu, aku tahu bersama takdir ibu sedang saling lempar dadu. Di ruang yang lain, menyaksikan pengorbanannya yang semeru aku hanya mampu terharu dan tergugu.

Totosan, 01 Mei 2020

Kepada Tuhan, Aku Malu

            _Sejak masa covid 19

Kepada Tuhan, aku malu
Karena Dia telah tahu
Bahwa aku tak punya cukup nyali
Untuk mengakui
Bahwa telah kutumpahkan sepi ke dalam diri
Yang pekat seperti kopi
Sehingga ramai di luar yang tetiba sunyi,
Sejak corona menyebar
Membuatku gusar

Kepada Tuhan, aku malu
Karena Dia telah tahu
Bahwa aku tak percaya diri
Untuk mengakui
WujudNya tak hanya,
dapat kujumpai di masjid-masjid, yang kini tanpa suara
sebab Dia dimana-dimana
Bahwa Dia tak hanya datang saat aku sembahyang
Namun setiap kali aku undang dengan tenang

Kepada Tuhan, aku malu
Karena Dia telah tahu
Bahwa aku gugup
Menyaksikan ribuan paru-paru kehilangan degup
Bahwa aku gemetaran
Di tengah kerumunan, merasa diintai kematian
Tetapi aku masih keluyuran
Karena tak sanggup kehilangan banyak kesempatan
Bukan membenahi isi hati dan muatan pikiran

Kepada Tuhan, aku malu
Karena Dia telah tahu
Bahwa aku resah
Menunda aktivitas di luar, dan diam di rumah
Aku enggan mengakui
309 tahun Ashabul Kahfi
Dalam gua, lebih rapat dari ruang yang aku huni
Dengan tabah dan pasrah, tanpa keluh kesah
Yang dikisahkan-Nya melalui ayat-ayat al-Quran sebagai hikmah

Kepada Tuhan, aku malu
Karena Dia telah tahu
Bahwa aku sebagai yang tua dan muda
Yang miskin dan kaya
Yang awam dan cendekia
Terlalu memuja yang sia-sia
Bukan merawat iman dan taqwa
Dan bijaksana dalam berprasangka

Sumenep, April-Mei 2020

Mungkin

Bumi menjerit, sakit. Sebab kedamainnya kita curi demi hidup bergengsi. Kita tak peduli.
Bumi terpuruk. Kekayaannya terus menerus kita keruk. Kita mabuk.
Bumi terluka. Kita semakin sering mencipta polusi udara dan polusi cahaya. Kita buta.
Barangkali bumi hanya telah terlalu lelah. Memanggul ambisi kita yang penuh serakah.
Barangkali ia ingin pulih, setelah hampir tiap waktu menyaksikan kita berselisih.
Barangkali ia juga telah terlalu penat dan barang sejenak hendak beristirahat.
Sehingga satu wabah menjadikan kita begitu gelisah, padahal selama ini kita tenang meski bumi diam-diam terguncang.
Selama ini kita terlalu sibuk berkeliaran di jalan-jalan dengan rekayasa tujuan, kita terlalu khusyuk bersantai dan beramai-ramai di kedai-kedai, dan terlalu asyik mengobral pencitraan.
Kemudian microba bernama corona mendera dunia, memulangkan beribu nyawa pada baka. Mata berkaca-kaca. Padahal bumi gelora dalam derita, entah berapa lama. Kita hanya menonton tanpa mimik muka.
Kini, setiap waktu kita diburu kegetiran. Terbirit-birit mencari pelarian.
Sementara kita terkurung peraturan dan anjuran, sementara kita merapal bermacam keluhan.
Sementara pabrik-pabrik tidak dioperasikan, sementara lorong-lorong tanpa asap kendaraan.
Sebagaimana pesakitan, pelan-pelan bumi melakukan rawat jalan.
Bersiap menyambut kebangkitan.
Apakah kita akhirnya sampai pada derajat kesadaran?

Pamekasan, Maret-April 2020

Safrina Muzdhalifah. Suka menulis fiksi dan non-fiksi, tapi lebih suka menulis puisi dan mendiami sepi. Beberapa puisinya dimuat di media cetak dan daring serta dimuat dalam beberapa antologi kolektif. Antologi solo perdananya diterbitkan secara gratis oleh FAM Publishing akhir 2019 lalu, berjudul ‘JEJAK’

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *