Isyarat dari Sepotong Surat

A. Muhaimin DS

Orang-orang bilang, di gubuk kayu itu tinggal seorang kakek yang selalu menulis surat. Awalnya kakek itu ingin menuliskan surat yang mengabarkan kesejukan alam, yang indah dari negeri ini. Namun itu tak pernah terwujud hingga renta usianya ini. Tapi sampai saat ini kakek tua itu, masih saja menulis surat dan dikirimkan kepada siapa pun dan di mana pun. Namun, surat-suratnya justru mengabarkan sebuah kesedihan dari negeri ini. Seperti yang kupegang di suatu pagi. Aku ikut menangis tersedu-sedu karena membaca salah satu suratnya.

Sore ini, aku mendatangi rumah kayu itu. Di mana kakek itu tinggal berdua bersama istrinya. Rumah tanpa pagar itu tampak terawat. Halamannya yang luas yang cukup untuk bermain bola itu tampak baru saja disapu. Bunga-bunga mawar dan melati yang menghiasinya pun tampak menyisakan tetesan air dari atas daun-daunnya. Seseorang baru saja menyiraminya sore ini.

Tanpa ragu, aku putuskan untuk segera saja masuk ke halaman rumah itu. suasana sejuk perlahan merayap menghinggapi hatiku. Aku termenung sejenak, membayangkan, membandingkan dengan suasana rumahku di kota. Sempit, tanpa halaman depan dan udaranya panas.

[iklan]

“Maaf ada yang bisa dibantu nak?” suara kakek itu mengagetkanku. Lalu buru-buru aku menyalaminya.

“Begini, kek. Saya kemarin dapat surat dari kakek.”

“Mungkin salah kirim nak. Petugas pos itu memang terkadang ngawur dalam mengirim surat. Maafkan kakek ya, apakah surat itu menyinggungmu?” Kakek itu meletakkan sapu lidinya di bawah pohon mangga. Kemudian mengajakku duduk di atas batu di bawah batang kamboja putih yang tumbuh subur di halaman rumahnya itu. Baru kali ini aku menemui bunga kuburan itu ditanam di halaman rumah. Biasanya, orang-orang menanam kamboja merah sebagai tanaman hias. Itu pun hanya ditanam dalam pot. Tapi kakek lebih memilih kamboja putih untuk ditanam di halaman rumahnya tanpa pot, dan dibiarkan menjulang tinggi.

 “Oiya, maaf kek. Nama saya Bumi, dari tadi saya sibuk mengagumi halaman rumah kakek yang sejuk ini. Sampai lupa menyebutkan nama.”

“tidak apa-apa nak!”

“Kenapa kakek menanam bunga kuburan?”

“Nak Bumi ini ada-ada saja, mana ada bunga kuburan?”

“Maksud saya bunga kamboja putih ini kek”

Sambil tertawa kakek itu mengambil sebuah bunga kamboja yang jatuh ke tanah. Aku sedikit bergidik melihatnya. Bunga itu akhirnya kuterima dan kuhirup dalam-dalam baunya. Dengan menyisakan keraguan sekaligus kengerian. Aroma kamboja itu pun mencoba kuakrabi dan menjadi latar suasana puitis obrolanku dengan kakek sore ini.

“Ternyata bau segar dan wangi tadi dari bunga kamboja ini ya kek?”

“Iya nak. Makanya kakek menanamnya di halaman, sejajar dengan jendela kamar depan. Supaya angin mengirimkan aroma wanginya ke kamar, melewati jendela. Dan ia setia menemani kakek menulis surat. Salah satunya surat yang sampai di tangan nak Bumi ini.”

***

Beberapa hari yang lalu kutemukan kotak surat di halaman rumahku terisi sebuah surat. Kotak surat yang teronggok kesepian itu tampak pasrah dan membiarkan pintu kecilnya terbuka. Sebuah kertas menyembul untuk pertama kali dari dalamnya. Aku tahu, sejak kepindahanku ke kota, lima tahun yang lalu. Kotak surat itu selalu terdiam dengan tatapan kosong tanpa isi.

Aku pun sempat berencana membuang kotak surat itu. Karena kotak surat itu kerap kali menyulitkanku untuk memarkir mobil kesayangan istriku. Tidak cukup sekedar menyulitkan untuk parkir. Istriku pernah marah-marah karena mobil kesayangannya itu tidak sengaja menyenggol kotak surat itu. bodi kinclongnya pun ternodai dengan goresan yang juga menyayat hatinya.

Alhasil, kotak surat itu dimakinya selama seminggu penuh. Tanpa ia sapa sama sekali. Termasuk diriku pun kena imbasnya. Selama seminggu itu, aku setiap pagi dimintanya untuk segera membuang kotak surat itu.

“Buanglah kotak surat itu. Apa kau mau mobil kita bodinya rusak karena tersenggol benda tak berguna itu.”

“Iya kalau libur kantor aku akan membuangnya.”

“Kau sendiri kan yang bilang. Aku harus hati-hati dalam memakainya, karena belum lunas masa cicilannya. Dan kau juga tahu aku sangat menyayangi mobil itu.”

Belum lagi anakku juga pernah melihat seekor ular di dalam kotak surat itu. anakku yang bermain bola saat itu, tanpa sengaja bola yang ditendang mengenai tiang dari kotak surat, dan tiba-tiba kepala dari seekor ular itu menjulur dari dalamnya. Anakku yang ketakutan, berlari masuk ke rumah dan menangis histeris.

Istriku yang melihat anakku histeris mendadak langsung bingung tidak karuan. Meneleponku yang sedang di kantor untuk pulang. Tidak lupa juga melontarkan permintaan setengah memohon dan setengahnya lagi memaksaku untuk sesegera mungkin membuang kotak surat itu.

Namun karena tahu lokasi kantorku yang jauh dari rumah. istriku memanggil Pak RT untuk dimintai bantuan mengusir ular. Alih-alih Pak RT datang tepat waktu. Ular itu sudah lebih dulu ketakutan dengan suara histeris istri dan anakku. Ular itu jatuh dari kotak surat lalu masuk selokan dan tak lagi menampakkan dirinya di depan keluargaku. Mungkin ular itu takut dengan teriakan penuh amarah istriku saat itu.

“Kapan kau akan membuang kotak surat itu? besok kan hari libur.”

“Iya besok aku akan menawarkan kotak itu pada temanku dulu. Siapa tahu kotak surat itu bisa dimanfaatkan untuk kotak amal atau barang kerajinan lainnya.”

“Mau dimanfaatkan atau tidak, pokoknya besok kotak surat itu harus hilang.” Istriku menekan suaranya dalam-dalam penuh amarah.

***

Kakek itu tampak keluar dengan tangan kanan membawa kendi dan tangan kirinya membawa sepiring pisang goreng. Aku merasa sungkan melihat pemandangan itu, buru-buru membantu membawakan kendi di tangan kanannya. Melihat tingkahku yang penuh rasa sungkan kakek itu tersenyum penuh keteduhan padaku.

“Sudah langka nak, anak muda seperti kamu. Peka dengan kondisi sekitarnya. Kenapa kamu datang ke gubuk reyotku ini nak?”

Aku yang masih sibuk meletakkan kendi di atas batu serupa meja, terhenyak dengan pertanyaan kakek itu. Selain takut dianggap lancang karena masuk halaman rumahnya diam-diam, aku juga merasa sungkan karena kehadiranku tanpa undangan ini merepotkannya.

“Ayo makanlah pisang gorengnya! Ini buatan nenek sendiri, hasil panen pisang yang masak di pohon di belakang rumah.”

“Terima kasih kek. Saya datang ke sini karena surat yang kakek tulis ini.”

“Surat yang mana?

“Ini kek suratnya”

Aku mengaku menangkapi isyarat tertentu saat membaca surat itu. Sebuah surat yang kutemukan ketika aku mencongkel paksa semen yang melapisi pangkal tiang kotak surat depan rumahku. kotak surat yang jatuh terbanting ke tanah itu ternyata menyembulkan sebuah surat dari dalamnya. Lipatan kertas tanpa amplop itu pun kuambil dan kubaca.

Kotak surat yang masih lengkap dengan tiangnya itu pun kutaruh di pojok halaman rumahku. kubiarkan tergeletak begitu saja. Niatan untuk memberikannya pada temanku pun tidak lagi terlintas dalam benakku. Bahkan istriku yang tampak bahagia melihat aku sedang mencongkel kotak surat itu pun tidak kuhiraukan lagi. Aku langsung mengambil tempat di sudut rumahku yang sedikit teduh siang itu untuk membaca surat temuanku.

Seolah ingin menyendiri. Merasakan panasnya sinar matahari. Aku mencoba meresapi setiap makna dari kata demi kata yang tertulis di surat itu. Peluhku lagi-lagi bercucuran bukan karena usahaku mencongkel kotak surat. Tapi keringat itu keluar deras karena udara yang sangat panas menyengat.

Tiba-tiba air mataku pun tanpa kusadari ikut mengucur deras saling berhimpitan dengan peluhku. Hatiku tiba-tiba sesak. Tubuhku mendadak lemas. Kutarik nafas panjang berkali-kali lalu menghembuskannya. Dengan harap, suasana hatiku bisa normal kembali.

Aku tahu, aku tidak pernah berkirim surat seperti ini. Hampir lima tahun menempati rumahku di kota ini, kotak surat itu selalu kosong. Surat yang kutemukan siang itu menjadi satu-satunya surat yang mau singgah di dalamnya. Kalau pun berkirim surat, aku pasti menggunakan email (surat elektronik). Sedangkan kalau hanya ingin menanyakan kabar pada saudara jauh, ataupun kawan lama aku bisa memanfaatkan canggihnya media sosial yang mampu menembus jarak dan waktu.

Surat yang hanya ditulis pada satu lembar kertas ini dibuka dengan tangis. Kudapati pesan-pesan kesejukan tentang hutan, tentang samudera, bahkan tentang gunung maupun burung-burung. Anehnya semua itu membuatku menangis. Pesan-pesan kesejukan tentang negeri ini ternyata digambarkan dengan kata-kata yang sangat menyedihkan. Karena tergerak oleh pesan kesejukan itulah aku mendatangi kakek.

“kenapa kakek menulis surat ini? Aku tahu kakek sedang menuliskan pesan kesejukan. Tapi yang membuatku bingung, kenapa justru pesan kesejukan itu tersirat di balik kata-kata dengan arti kata kesedihan?”

Jogja, 2019

Muhaimin DS , lahir di Nganjuk (Kota Angin). Seorang penikmat cerita dan penyuka perjalanan. Menulis cerpen, puisi dan catatan ringan tentang kesejukan hidup.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *