Kedalaman makna puisi tidak seharusnya dibangun dengan kalimat-kalimat rumit dalam bait puisi. Tidak pula dengan metafora yang ikatan teks dan konteknya sangat gelap. Sebab, puisi memang terkadang lahir dari situasi yang biasa saja, dan berbicara hal-hal yang remeh-temeh. Ya, setiap penyair memiliki titik fokus yang berbeda-beda dalam menciptakan puisi; ada yang bermain dengan wilayah bahasa, bereksperimen menghasilkan ungkapan-ungkapan baru. Ada pula yang hanya menampilkan makna jelas dengan kalimat-kalimat sederhana. Kalimat umum yang mudah ditangkap oleh pembaca. Namun, apakah puisi-puisi tersebut tidak tergolong puisi serius?

Mengambil pernyataan Sitor Situmorang, kegelisahan sebagai tanda hidup yang dapat dihubungkan kepada para penyair yang selalu gelisah melihat keadaan diri, lingkungan dan negerinya, tentu saja puisi-puisi yang diciptakan sebagai denyut kehidupan yang sekaligus menghidupi penyairnya. Ini dapat menjadi satu di antara bukti bahwa apapun genrenya, karya sastra pastilah lahir dari kerja keras yang serius. Sebab, kegelisahan penyair bisa saja berwujud; kesedihan, kemarahan, kesepian, keheningan, kegembiraan, dan lain-lain yang selalu mengganggu dalam setiap waktu.

Kegelisahan yang semacam itu hadir pada puisi-puisi Adi Zamzam dalam bukunya ‘Rumah Cinta’ yang diterbitkan oleh SIP Publishing, Agustus 2022. Buku itu berisikan 53 puisi yang telah dimuat di media cetak maupun digital. Di dalam buku itu di bagi menjadi tiga bab; teras, ruang tengah, dapur. Dari situ kita dapat memaknainya bahwa buku tersebut yang oleh penyairnya diibaratkan sebuah rumah yang memang diakui oleh penyairnya pada pengantar buku. Ia menyadari bahwa selain tempat tinggal, rumah baginya adalah tempat berpikir, berproses, menumpahkan kegelisahan dan banyak hal.

Dilihat dari titik awal itu, saya mencurigai adanya kesempitan dalam pengembangan tema pada puisi-puisi Adi Zamzam, tidak hanya itu kemungkinan akan ditemukan puisi-puisi curahan hati yang subjektif. Ya, meskipun pada prosesnya puisi-puisi diilhami dari hal-hal yang subjektif, tetapi penyair yang baik dapat mengemas yang subjektif itu menjadi bersifat objektif sehingga puisi-puisi yang diciptakan akan selalu hidup pada ikatan emosional pembaca. Misalkan pada puisi Chairil Anwar dengan kalimat Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi. Hingga sampai saat ini, kalimat itu menjadi milik publik untuk menyatakan sikap semangat hidup atau lainnya.

Tetapi, sebelum curiga yang berlebihan, sebaiknya kita simak puisi-puisi Adi Zamzam dalam buku ini. Dan sebaiknya pula, setiap pembaca mempunyai pandangan masing-masing setelah membacanya, itu lebih baik daripada berpendapat tanpa membaca terlebih dahulu.

Puisi berjudul Si Pencari di halaman dua sekaligus sebagai puisi pembuka di dalam buku ini.

Sunyi menelanku hingga hilang
dalam gelap merindukan kunang-kunang
menuntunku pada rindumu
Namun ketika sampai pada keramaian
tersesat aku kehilangan cahayamu
membuatku terjatuh
seperti laron-laron ketika kehilangan sinar
Haruskah aku terus mengejarmu?
sedangkan aku bukanlah angin
Tiada bisa kupungkiri
aku sangat butuh tempat labuh
sebab kaki-kakiku sangat rapuh

Pada setiap kesempatan, saya sering mengatakan bahwa di dalam puisi kata-kata adalah dunia imajinasi, sedangkan makna adalah dunia realitas. Ini bermaksud ketika menulis puisi, tempatkan kata-kata itu sebagai dunia imajinasi sehingga dapat dengan mudah menghasilkan kalimat-kalimat yang metaforik. Dan, ketika ingin memaknai puisi maka tempatkan kata-kata itu sebagai dunia realitas, dengan begitu setiap kalimat yang ada di dalam puisi dapat kita tangkap maknanya.

Puisi di atas, memiliki tokoh ‘aku’ yang sedang mencari ‘kamu’, lalu siapakah ‘aku’ dan siapakah ‘kamu’? jika merujuk pada penyairnya, ‘aku’ disitu tentu saja penyairnya, tetapi jika ditempatkan kepada pembaca,’aku’ itu bermakna pembaca. Di sini, kita dapat menangkap kegelisahan si tokoh pada dirinya, pada hidupnya, pada jalannya yang tersesat, pada kaki-kakinya yang rapuh untuk meneruskan perjalanan. Ia membutuhkan ‘kamu’ sebagai sosok yang sangat didambakan sebagai penolongnya. Seperti judulnya, ia pun masih terus mencari-cari sosok tersebut. Ya, puisi yang memiliki daya renung, menggiring pembaca untuk menyadari kelemahan diri, sehingga puisi ini dapat dikategorikan puisi sufistik.

Banyak ditemukan puisi-puisi serupa di setiap babnya, dan puisi bertemakan tersebut terkumpul di bab ruang tengah. Seperti, Membaca Kitab Suci, Arloji, Seperti Laron, Sendiri. Namun dalam puisi Tadarus (hlm 18) dapat terasa begitu sangat gelisah Adi Zamzam sebagai penyair memaknai hidupnya.

Kubuka lembar-lembar umur yang telah kulewati
Kubaca ulang tiap detiknya
Kukupas yang masih terbungkus kulit
Kuperas hingga kudapat sari-sarinya

Puisi itu seolah memberikan gambaran tentang hidup yang terus berjalan, ia (penyair) mengingatakan dirinya sendiri atau yang lain dengan terus membaca diri dan laku hingga pada akhirnya menemukan inti atau isi dari tujuan hidup itu sendiri.

Ditengah kegelisahan batinnya itu, biasanya memang diiringi dengan kegelisahan yang lain sebagai pemicu sehingga penyadaran diri sebagai makhluk yang lemah tidak dapat dihindari. Begitulah ketika kegelisahan tak terucap, bagi seorang penyair puisi menjadi jalan lain untuk mencurahkan segalanya dan ia dapat membungkusnya dengan dalih karya sastra. Tetapi, semua itu sah dan tak perlu diperdebatkan.

Ada beberapa puisi yang dapat dimaknai sebagai pemicu dari terciptanya puisi-puisi bertemakan religius seperti di atas. Bahkan, ia (penyair) mengungkapkan di pengantarnya bahwa puisi-puisinya lahir ketika dalam posisi menunggu ibunya yang sakit, menunggu istrinya yang sedang melakukan aktivitas, menunggu anak-anaknya, menunggu banyak hal dalam hidupnya. Bentuk kegelisahan-kegelisahan itu tercermin pada puisi berjudul Lorong Kamar Bersalin Yakis (hlm 41).

Melewati lorong debar-debar itu
adalah memunguti kembali semangat
yang pernah muncul saat menunggu
takdir kelahiranmu, anakku

Di tiap kursi teras ada jejak-jejak kecemasan yang berdoa
menit demi menitnya adalah harapan
yang terus dilesatkan ke langit
demi keselamatan kalian berdua

Ketika suster datang dan berkata,
“Selamat, Pak. Umurmu akan ditambah seratus abad lagi.”
Mengapa kau justru menangis, anakku?
Hujan belumlah dimulai
Mata dan telingamu belum mengenal bentuk suara
Peganglah jemari ibumu saja
Sebagai penunjuk keselamatan
Setelah ini dunia memang akan lekas berubah
Tapi kamar bersalin ini bukanlah tempat belajarmu
Menghadapi hidup

Tenanglah dalam dekapan ibumu, anakku
Ciciplah susu ibumu dan rasakan debar bahagianya
Adakah yang kau inginkan selain ketenangan?
Namamu sudah kami persiapkan
Jauh hari sebagai bukti penantian

Baju baju baru, mainan, tempat tidur,
Sampai cara merawatmu pun tak pernah luput dari pikiran

Mari kita pulang dari lorong-lorong kecemasan
Menuju rumah kebahagiaan
Di sanalah kami akan mengajarimu banyak hal
Dari cara menghitung sampai membaca
Dari membelanjakan umur sampai menabung kematian

Bagaimana pun juga, puisi ini tetap menjadi bagian peristiwa penting bagi si penyairnya. Ya, dalam setiap lariknya ada ikatan penting, penyair seolah sedang menulis buku catatan berbentuk puisi, ia menyatakan dirinya sebagai ayah sekaligus suami dalam puisi itu. Peristiwa melahirkan memang pasti dialami oleh hampir semua pasangan pernikahan. Apalagi jika melahirkan anak pertama, di situlah letak peristiwa yang paling mendebarkan. Ia (penyair) tidak ingin momen yang langka itu hilang begitu saja, puisi adalah satu di antara cara untuk menyimpan kenangan.

Selain itu, kegelisahan-kegelisahan hidup yang dialami penyair semakin beragam, ia menangis, marah, menjerit, berteriak dan lain-lain, semua itu terekam dalam puisi-puisi di buku ini. Aktivitas kesehariannya sepertinya memang banyak dihabiskan bersama keluarga, buku-buku, tercermin pada puisi Kamar Penyair, Di Kantor Disdukcapil, Rak Buku, Di Depan Cermin, Pergi ke Sekolah Anakku, tema dan isi puisi-puisi itu memiliki napas sama yang menggambarkan kegelisahan batin dan aktivitas penyairnya. Begitulah puisi, boleh digunakan sebagai alat untuk keperluan apa saja, diperlakukan sesukanya, atau sekadar catatan gebalau jiwa.

Adi Zamzam memang sedang merekam kisah perjalanannya, ia tidak ingin peristiwa-peristiwa itu menguap begitu saja. Seorang penyair memang sudah seharusnya menuliskan apapun bentuk pengalamannya, panjang pendeknya puisi yang ditulis tidak dapat dijadikan ukuran berhasil tidaknya karya itu. Kriteria penilaian atas puisi tentu saja ditentukan oleh puisi itu sendiri. Sejauh mana puisi dapat memancarkan kekuatan citraannya (image), metafora, dan sarana puitik lainnya sebagai pondasi sebuah puisi. Di dalam buku ini, banyak puisi-puisi pendek yang tercipta, misalkan pada puisi Di Taman (hlm 13).

Di pot-pot teras rumah
Kutanam semua kenangan kita
Kusiram setiap pagi dan petang
Menunggu mekar kembang

Pada lirik puisi tersebut ada satu kata yang menjadi titik fokus kita untuk memaknai keseluruhan isinya, yaitu ‘kenangan’. Si penyair menghidupkan kata kenangan itu menjadi seolah-seolah seperti tanaman yang disiram terus menerus agar tumbuh kembang dan kemudian mekar. Bisa jadi, kenangan itu hal yang baik atau yang buruk, tetapi dengan seiring waktu dan pengetahuan, kebijaksanaan atau kedewasaan kenangan-kenangan itu menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan atau diharapkan, misalkan menghasilkan kebahagiaan.

Perjalanan-perjalanan yang direkam oleh Adi Zamzam ternyata tidak sesederhana itu, ia (penyair) berusaha untuk tegak berdiri menghadapi badai kehidupan, tak ingin menyerah dengan keadaan apapun yang dialaminya. Namun, sekuat-kuatnya manusia pasti ada titik dimana ia merasa lemah, dan Adi pun sepertinya mengalami itu. Pada puisi Pulang ke Rumah Ibu (hlm 11) ia seolah ingin memberi tanda, bahwa dirinya tidak sekadar rindu kepada ibunya melainkan ada semacam penyadaran diri.

Ibu,
aku rindu bau keringatmu
yang dulu kubenci
kini kenangan yang menguarkan minyak wangi
aku ingin kembali
seperti anak-anak yang belum ingin lepas
lantaran di rumah ada surga

Ibu,
jalan pulang ke rumahmu
masih tersimpan rapi di sudut kenanganku
meski kini segalanya telah berubah
senyum dan sedihku tak lagi milikmu seutuhnya
aku sudah tersesat jauh
di belantara kehidupan kedewasaanku dibentuk
membuatku sadar bahwa di rumah ada surga

Ibu,
kini dapat kurasa
amarahmu tak lebih api dari amarah orang-orang hutan
jeweranmu lebih lembut dari jeweran kehidupan
kecerewetanmu peta menuju jalan terang dalam kepala
senyummu obat luka paling manjur untuk kekalahan
sentuhanmu mukjizat penuh kekuatan
maka Ibu,
izinkan aku pulang ke rumahmu yang bertaman
mengambil segala yang tertinggal
sebab aku tahu, kaulah tempat mula segala persiapan

Ada beberapa hal penting yang mesti kita catat tentang puisi ini, pertama si aku lirik di bait pertama merasakan kerinduan dan merasakan menjadi orang dewasa itu penuh dengan resiko dan tanggung jawab, ia seolah masih anak-anak sehingga, di rumah, di dekat ibunya adalah hal yang paling nyaman. Kedua, si aku lirik sudah berada jauh dari ibunya, ia sedang menempuh perjalanan, bisa saja sedang merantau, dan ia berada dan harus pulang ke rumah yang lain dengan surga yang lain tidak seperti di rumah ibunya. Ketiga, si aku lirik menyadari bahwa sosok ibu dan rumah awalnya bersama orang tuanya adalah tempat ia mempersiapkan bekal perjalanan.

Dari puisi-puisi Adi Zamzam yang tertulis dalam buku ini sepertinya memang ia tengah menceritakan suatu perjalanan yang ia lakoni; kehidupan sendiri, berkeluarga, dan berketuhanan. Adi Zamzam seolah ingin memberikan tanda pada pembaca bahwa dirinya tengah menempuh sebuah perjalanan ke rumah cinta, rumah yang abadi. Ini pun tersirat pada puisi Sebelum Aku Menjadi Laut (hlm 63).

Sebelum menjadi laut
aku adalah sungai yang kerap tersesat
dalam ceruk-ceruk kehidupan
yang penuh gaduh sampahsampah
menyesaki jalanan
terbawa dari banyak kisah
yang belum terselesaikan

Aku sungai yang terus mengalir
tempat semua kelok, arus, batubatu, dan ikan
mengajariku hidup
dan terus mengalir
hingga sampai pada keluasan tak bertepi
di mana batu yang kau lempar takkan pernah bisa menjangkauku
dan ombaknya takkan pernah habis

Diksi ‘laut’ dipilih sebagai simbol tempat bermuara paling akhir setelah menjalani liku kehidupan bersama arus sungai, katakanlah metafora-metafora tersebut dapat dimaknai sebagai lika-liku kehidupan dan laut adalah muara hidup yang abadi. Inilah puisi-puisi Adi Zamzam, memiliki kedalaman makna yang mudah untuk dipahami oleh semua kalangan. Akan tetapi, ini bisa saja menjadi terasa membosankan ketika membacanya, tidak ada sesuatu yang baru yang dapat ditemukan dalam produk puisinya; penyair sudah semestinya menawarkan hal yang baru dengan tema-tema yang sudah sering digunakan oleh penyair lain. Kepekaan dalam menangkap banyak peristiwa adalah kuncinya, dengan digabungkan dengan bacaan-bacaan yang bagus tentunya. Namun, dalam sebuah proses semua hal itu menjadi sah.

Ya, puisi memang perkara penyair. Seberapa jauh dia mengenal bahasa, seberapa dalam dia mengamati lingkungan sosial, kebudayaan, politik, ekonomi, tekhnologi, agama dan lain-lain. Puisi tidak sekadar karya imajinasi. Puisi memiliki wilayah tersendiri dalam proses penciptaannya. Dia lahir dan berkembang lewat jalannya sendiri. Membawa nasibnya entah ke mana. Puisi memiliki struktur bangunan yang berbeda dengan ragam sastra lainnya. Ia padat, kuat dan berkarakter hingga puisi hadir dalam ruang yang intisari semacam ekstraksi yang diperas dari berbagai pengalaman hidup. Tetapi justru karena itu pula, puisi punya peluang yang luas dan dalam ketika ia sampai pada penafsiran dan pemaknaanya. Semoga di karya-karya berikutnya Adi Zamzam bisa lebih tajam mengasah kemampuan bahasa, kepekaannya menangkap banyak peristiwa, dan mengolah pengalamannya menjadi karya-karya puisi.

Nana Sastrawan, seorang yang senang menulis. Ia pernah meraih penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015.

Rumah Cinta

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *