
Perempuan yang Membenci Matahari
Ede Tea
Aku tidak tahu kenapa ia begitu membenci matahari. Sedang matahari adalah sumber kehidupan baginya. Entah bagaimana mulanya hingga rasa benci itu benar-benar membuat hatinya menjadi gelap. Itu pula sebabnya ia memilih hidup seperti kalong. Ia enggan untuk keluar rumah barang sejengkal jauhnya, namun tak terhitung seberapa jauh ia pergi ketika matahari tenggelam.
“Kita pernah sedekat nadi hingga akhirnya sejauh matahari,” gumamku.
“Tidak usah berlebihan, Mas. Aku cuma tidak suka beraktivitas di waktu siang. Panas, udaranya kotor, banyak debu. Aku tidak suka!”
“Tapi kalau begini terus, kita tidak akan punya waktu untuk berdua-dua.”
“Kita bukan lagi pasangan muda, Mas. Sudah tidak usah dibahas lagi. Aku cape, mau istirahat.”
[iklan]
Sulastri segera melepas sepatu hak lima sentinya dan berjalan cepat menuju kamar. Aku segera menutup pintu dan mengikutinya. Syukurlah malam ini ia pulang lebih awal sehingga aku bisa menyambutnya di depan pintu. Begitu gembira rasanya tatkala aku bisa melihat wajah Sulastri di balik pintu dan memberikan senyuman terbaik untuknya. Karena, biasanya ketika Sulastri pulang aku sudah terlelap. Dan tahu-tahu ketika aku tersadar di pagi hari Sulastri sudah tertidur di sampingku. Maka, anggaplah ini sebuah perayaan kecil. Aku juga tidak ingin melewatkan kesempatan besar ini. Ada sesuatu hal yang harus aku selesaikan malam ini juga.
Aku segera menutup pintu dan meredupkan lampu kamar. Aku berbaring di sebelah Sulatri yang terlentang sambil melihat langit-langit kamar.
“Setelah tiga bulan perkawinan kita, malam ini aku benar-benar percaya bahwa kita adalah sepasang suami-istri,” ucapku.
Sulastri bergeming. Lalu ia mengubah posisi tidurnya menjadi membelakangiku.
“Waktu kita tak banyak, Dik, ayo kita lakukan!” ajakku sambil mengelus rambutnya yang halus.
Sulastri tetap bergeming, tubuhnya sempurna kaku. Aku berusaha membalikkan tubuhnya, dan ketika itu juga ia menatapku dengan tatapan yang tidak aku pahami.
***
Bila ada sesuatu hal yang mengharuskannya untuk ke luar rumah di waktu siang, maka akan banyak alasan yang ia lontarkan. Namun, aku juga tidak akan pernah memaksa. Halnya pagi ini, hari minggu yang syahdu, aku ingin makan dari keterampilan olah tangannya. Tapi ia bilang tidak mau pergi belanja. Ya, sudah, biar aku saja! Kataku dengan tegas.
“Dua kilogram ayam, gula merah, cengkeh, santan, lengkuas, hmm … apa lagi, ya?”
“Mau masak apa, Dik?”
“Gulai ayam.”
“Kenapa banyak sekali?”
“Kitakan nggak cuma hidup berdua, Mas.”
Lihatlah! Betapa aku telah menjadi lelaki yang paling beruntung. Sulastri bukan hanya memiliki rupa menawan tapi juga hati yang dermawan. Aku benar-benar tidak salah karena telah menerima perjodohan yang sudah kedua orang tua kami sepakati sejak dahulu. Kita memang tidak bisa merubah takdir, namun kita bisa memilih takdir mana yang hendak kita ambil. Dan hidup dengannya adalah takdir yang tidak mungkin aku elak.
Aku melihat bagaimana sepasang suami-istri begitu akrab berjalan beriringan di pasar. Pedih rasanya saat aku menyadari bahwa belum sekalipun aku dan Sulastri menikmati masa berdua. Ia yang teramat membenci matahari tak mungkin aku paksakan untuk melawan ketidaksukaannya. Mungkin aku harus sedikit sabar dan berlapang dada. Ada beberapa alasan perempuan yang memang sulit untuk dipahami. Namun, ia tetaplah matahari yang tak akan redup dalam hidupku.
Bahan-bahan gulai itu segera aku serahkan kepada Sulastri. Dengan cekatan ia segera membawanya ke dapur. Aku bilang, aku ingin sedikit membantu. Boleh, timpalnya singkat.
“Kenapa harus gulai?” tanyaku kemudian.
“Dia sangat suka gulai.”
“Dia siapa?”
Sulastri tidak segera menjawab pertanyaanku. Ia hanya melempar senyum sampai-sampai aku sadar bahwa senyumannya begitu mempesona. Aku hanya berharap semoga waktu tidak berjalan terlalu cepat. Dan semoga malam mau berbaik hati untuk datang sedikit terlambat. Sebab ketika matahari padam, ketika itu pula aku harus melepas kepergian Sulastri menerjang malam.
“Sudah siap!” katanya sambil membawa satu mangkuk penuh gulai.
Aku yang sedari tadi termangu di meja makan tak henti-hentinya bersyukur atas waktu yang telah berjalan. Namun aku juga tidak bisa menyangkal kalau jantungku berdebar-debar sedemikian hebat. Aku tidak ingin melepas kepergian Sulastri. Aku harap ia juga tidak ingin pergi malam ini.
“Cuma sebentar, mau kasih gulai.”
Aku diam saja. Semoga ia paham bahwa aku tidak mengizinkannya. Matahari sempurna padam. Sulastri tengah duduk di depan cermin sambil memoleskan pemerah bibir. Batinku berbisik, apakah harus sedemikian penting memakai pemerah bibir saat menemui kedua orang tuanya? Tidakkah kecantikan itu hanya milikku seorang? Lalu aku segera menggelengkan kepala dengan cepat dan menasihati diriku sendiri bahwa tidak baik berburuk sangka.
“Kangmas, antar, ya!”
“Tidak usah, aku bisa sendiri.”
“Aku juga ingin bertemu bapak dan ibu, biar kita pergi sama-sama, ya.”
“Lain kali saja, Mas. Sudah ya, aku pamit.”
Seenak apa pun gulai buatan Sulastri tidaklah cukup untuk membuat selera makanku segera naik. Apalah arti gulai yang sedap itu ketika aku harus menyantapnya seorang diri. Aku memilih pergi mencari tempat makan, dan sekarang aku sedang duduk menunggu pesananku tiba. Namun, sekelebat aku melihat dua orang melewati tempat dudukku dengan langkah yang terburu-buru. Kemudian mereka duduk di seberang meja. Tak lama kedua bibir merah si perempuan itu beradu dengan dua bibir hitam lelaki di sebelahnya. Jelas aku tidak bisa berkata apa-apa sebab aku teramat-sangat mengenali perempuan itu.
Aku berjalan sempoyongan meninggalkan tempat makan itu. Kini padam sudah matahariku. Begitu gelap, begitu pedih.
***
Ede Tea lahir di Bogor tahun 1998. Karya-karyanya pernah dimuat di media cetak dan media daring. Cerpennya juga masuk dalam beberapa buku antologi. Merupakan alumni Klinik Menulis yang sekarang juga bergabung dengan Komunitas Pembatas Buku Jakarta.