PEREMPUAN DAN HELAI GAMBAR

Dewi Linggasari

*Musuh perempuan bahkan bersembunyi di balik  kelambu, di dalam selimut.

Pada sehelai gambar–pada satu foto terekam beribu makna, bahkan melebihi panjang rangkaian kata. Dalam makna yang disampaikan, sehelai foto bukan sekedar karya rekaan, akan tetapi memenuhi kebutuhan manusia akan kebutuhan rohani yang bersifat prafan–menghibur. Ketika sepasang mata menatap sehelai foto, maka akan muncul imajinasi tak berbatas yang berdasar kepada punctum dan stadium, proses menghubungkan antara pengalaman dengan akal berlangsung kemudian direfleksikan dalam pemahaman diri, helai foto bagaikan kemilau kepingan cermin–maka sang individu dapat pula berkaca.

Menurut Roland Brathers punctum adalah detail dari suatu foto yang memberikan kesan mendalam seakan mata pisau berkelebat menikam emosi. Kekuatan punctum demikian besar, mengalahkan gambar rata-rata, ketika punctum berdaya upaya, maka sepasang mata yang menatap akan tetap terbayang, meski telah berulang terpejam. Seorang dapat tersenyum, tertawa, terdiam, marah, bahkan berlinang air mata ketika menatap sehelai foto. Tentu punctum tak dapat terlepas dari studium–kemampuan seseorang berdasarkan  pengalaman dalam berdialek dengan helai foto. Seorang yang pernah  mengenal tata rias penari Asmat  akan segera tahu bahwa penari yang tampil dalam foto adalah penari Suku Asmat. Akan tetapi orang yang tidak pernah mengenal tata rias adat Asmat, akan bertanya, “Penari siapakah itu?” Kemampuan seseorang sangat menentukan dalam berdialog dengan sehelai foto atau gambar–foto menghadirkan makna.

[iklan]

Baskoro, (2013) menyatakan, suatu citra visual dapat menimbulkan signifikasi atau pemaknaan. Makna-makna yang muncul sebenarnya tidak berasal dari foto atau gambar itu sendiri tetapi muncul pada otak atau imajinasi orang yang melihat foto. Beretnofotografi memposisikan fotografi bukan hanya sebagai rekaman peristiwa tapi sebagai citra tanpa kata di mana sebuah foto bukan bukti realita tapi realita baru.

Realita baru yang “dibaca” dalam foto merupakan sebuah “permainan tafsir” yang rasional dan masuk akal karena dibentuk oleh pengalaman-pengalaman yang reflektif karena pengalaman bukan suatu yang terisolasi. Pengalaman bukan tersusun oleh kesendirian tetapi dari relasi-relasi dari hal-hal yang telah terjadi sebelumnya. Pembacaan ini bukanlah untuk menduplikasi citra melainkan untuk mengeksplisitkan atau menegaskan seperangkat konotasi dalam citra–foto– yang sebelumnya sudah ada–implisit.

suku asmat

Asmat adalah suatu realita teramat luas, sekitar 23.000 ha tanah berawa yang berbatasan dengan garis pantai. Terhitung pada tahun 2013 jumlah distrik terus mekar dari tujuh menjadi 19, menjadi 23 distrik dengan 224 kampung yang seluruhnya berkembang di sepanjang aliran sungai. Sejumlah rumpun dengan spesifikasi kehidupan mendiami kampung termaksud dan bertahan dari waktu ke waktu menjadi catatan sejarah yang berbeda dengan kehidupan suku-suku bangsa lainnya. Bahwa Suku Asmat menjadi amat tersohor, karena seni ukir, sudah diketahui khalayak luas. Akan tetapi, bagaimana kehidupan perempuan Asmat dalam rangka menuju kesetaraan gender. Benarkah jarum waktu telah berhenti bagi  perempuan setempat? Atau, masih terkuak beragam kemungkinan untuk jangka waktu yang relativ panjang bagi kesetaraan?

Terlepas dari seni ukir serta adat isti adat yang berbasis terhadap kepercayaan akan keabadian roh nenek moyang di alam safar–sorga–maka kehidupan perempuan menjadi satu sisi yang tidak bisa disisihkan, bahkan layak dicermati. Posisi geografis yang tidak mudah dicapai serta kondisi geografis yang berupa tanah berlumpur merupakan setting kehidupan yang sangat berat serta memerlukan proses adaptasi luar biasa dalam strategi pertahanan hidup. Dari udara wilayah Asmat akan tampak sebagai rindang hijau pepohonan, ialah hutan hujan yang berpotensi mencurahkan air sepanjang tahun, pemukiman penduduk hanya tampak seakan titik yang teramat kecil di sepanjang aliran sungai maha panjang yang meliuk-liuk dalam air kecoklatan.

AsmatAdapun perempuan berasal dari kata –empu, berarti sang pemilik yang berwenang akan segala sesuatu termasuk dalam relasi gender. Kewenangan dalam relasi gender akan membawa perempuan pada peta yang mana pun untuk tetap eksis mendapatkan hak dalam segala hal, sehingga ia tidak akan pernah tertinggal.

Akan tetapi, apa kemudian yang berlaku? Duka cerita kisah perempuan seakan tak berkesudahan, bahkan ketika waktu terus berotasi membawa sejarah melewati lebih satu dekade pergantian millennium. Peta kehidupan perempuan teramat luas, sama luasnya dengan jumlah daratan yang tak terendam permukaan air laut. Akan tetapi kemajuan daratan yang satu tak berjalan paralel dengan daratan yang lain. Ketika di Benua Eropa seorang anak perempuan dari  keturunan raja, mutlak berhak akan tahta tanpa intrik, maka di belahan bumi yang lain kemampuan seorang perempuan dalam memimpin kerajaan dan negara masih dipertanyakan.

Sementara perempuan masih terbelit dengan tugas-tugas domestik –melahirkan, menyusui serta mengerjakan beban rumah tangga yang tak memberikan imbalan finansial dan   yang membuat sosoknya tak pernah eksis dalam statusnya sebagai bagian dari komunitas setempat.  Kekerasan di dalam rumah tangga, baik, fisik, psikologis, maupun ekonomi menjadi buah mulut sehari-hari yang berakibat pada trauma, luka berdarah, bahkan kematiannya.

Dari mana sebenarnya kekerasan itu berasal?

Dahulu kala, jauh hari sebelum sejarah tercatat, pada  tahap kehidupan masyarakat sederhana, setiap komunitas mengatur strategi pertahanan hidup dari berburu dan meramu. Masing-masing kelompok mengkristalkan diri dalam  bentuk band, seorang laki-laki yang memiliki keberanian dan kekuatan serta mampu mendapatkan lebih banyak binatang buruan akan dinyatakan sebagai kepala suku atau pemimpin kelompok. Ada pun perempuan, terlebih ketika berada dalam keadaan hamil, melahirkan, dan menyusui selalu berada dalam kondisi fisik yang lemah dan semakin lemah. Pekerjaan yang bisa diselesaikan antara lain bertanam. Perempuan tak memiliki kodrat untuk menjadi seorang pemburu sekaligus kepala suku, karena kekuatan fisiknya. Superioritas mulai muncul yang akhirnya berakibat fatal pada ketidaksetaraan gender. Bibit budaya patriakhal mulai ditebar.

Ketika sejarah terus tercatat dengan bermacam perubahan dan kemajuan yang terjadi, perempuan tetap menjadi warga komunitas kelas dua dengan akibat tragis dari kecenderungan poligami, kekerasan, dan penelantaran. Kisah perempuan di Tepi Barat, Palestina adalah tragedi bagi seorang gadis yang dibakar keluarga, karena mengandung di luar perkawinannya, ada pun si pemuda, selamat, karena ia terlahir sebagai laki-laki. Perempuan di Timur Tengah membungkan dalam duka lara, karena pembenaran dalam poligami. Sementara Kaisar Cina –Sang Putera Langit, konon memiliki 3.000 selir. Perempuan termaksud semula adalah gadis-gadis yang berasal dari keluarga tidak mampu tanpa jaminan hidup dari kedua orang tuanya. Atas nama perbaikan taraf hidup bagi seluruh anggota keluarga, maka mereka didorong untuk memasuki intrik dalam rumah tangga kekaisaran yang diliputi iri dengki dari 2.999 selir yang lain dan seorang permaisuri. Intrik di dalam istana sering kali berlumuran darah bahkan berakibat pada kematiaanya. Kasus serupa terjadi pula pada kehidupan Kesultanan Turki yang didampingi terlalu banyak selir, hingga terpecah perselisihan yang mengerikan di antara mereka.

papua

Perempuan Nusantara baru dapat ikut serta dalam proses pendidikan setelah perjuangan emansipasi oleh Ibu Kartini yang terlahir pada 21 April 1879 dan hidup 25 tahun setelah hari kelahiran itu. Kurang lebih satu abad kemudian, setelah melewati pergantian millennium, maka seorang perempuan dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, beberapa menduduki kursi menteri, kursi wakil rakyat, juga posisi struktural, dan fungsional. Pada sejarah Singasari,  sekitar 1.000 tahun yang lalu, di Tanah Jawa pernah terlahir Ken Dedes–Ardanareswari, ialah seorang perempuan yang telah ditakdirkan untuk melahirkan raja-raja di Tanah Jawa. Kecantikan dan ambisi telah mendorong untuk  melakukan tindakan paling kejam bagi suami pertama dan kedua dengan sikap dingin, ia meminjam tangan orang lain. Sehingga kesepuluh jarinya tetap bersih, tiada berlepotan darah, ada pun tahta jatuh ke tangan anak kandungnya. Takdirnya untuk menurunkan raja Tanah Jawa telah berbicara.

Sejarah pasti tercatat, akan tetapi tidak semua perempuan memiliki peluang yang sama. Sementara pada satu belahan bumi seorang perempuan telah duduk berkuasa mengenakan mahkota, maka di belahan bumi yang lain, perempuan masih terbelenggu pada tugas-tugas domestik yang tak mampu mengubah nasib diri serta generasi penerusnya. Kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan penelantaran membawa kehidupan rumah tangga sampai pada titik terendah yang berakibat pada hancur mentalitas dan kemampuan fisik generasi penerus. Sebuah mata rantai persoalan terus melingkar, tidak ada satu cara pun untuk mendapatkan jalan keluar, kecuali dengan mematahkan.

Perkawinan dini pada prinsipnya  memicu awal mula persoalan yang terlalu rumit untuk ditelusuri kemudian diperoleh solusi. Pun sikap keluarga dalam memperlakukan sosok pribadi –antara laki-laki dan perempuan. Bahwa anak-anak perempuan ditekan untuk mengerjakan urusan rumah tangga –pergi ke pasar, memasak, mencuci piring, lantai pakaian, merawat tanaman, menjaga adik –tanpa ucapan terima kasih, anak laki-laki terbebas dari segala hal termaksud. Sementara lingkungan sosial dan sekolah melakukan tekanan serupa. Lembaga pendidikan dan jaringan birokrasi akhirnya terbuka bagi proses pendidikan dan karir, akan tetapi betapa tidak proposional jumlah kursi yang diduduki perempuan dibanding laki-laki. Berapa jumlah kursi menteri? Berapa banyak yang diduduki perempuan? Atau berapa banyak perempuan yang mampu menempati kursi DPR?

Dalam budaya patriakhal, secara kultural perempuan dikondisikan sebagai penyerta, bukan subyek, membangkang dianggap sebagai suatu kesalahan atau amoral. Kondisi semacam ini secara  permanen menghambat seorang perempuan untuk bertindak sebagai pelaku. Maka ketika perkawinan dimulai, terlebih dalam usia yang sangat dini tanpa kesiapan mental, fisik, dan finansial, kekerasan di dalam rumah tangga kembali terjadi. Pihak perempuan ditekan untuk mengalah –mengalah bahkan ketika darah mulai mengucur, kekerasan tak juga berhenti hingga kematian datang mengakhiri.

Bagaimana kondisi kesetaraan gender bagi perempuan Asmat hari ini? Adalah sebuah pertanyaan yang tak mudah terjawab. Suatu peta persoalan perlu dibentangkan untuk menjawab pertanyaan termaksud. Seorang harus berfikir sekaligus bekerja keras, mencurahkan seluruh kemampuan membangun keyakinan serta potensi diri, sehingga mata rantai persoalan dapat dipatahkan. Keluarga sebagai unit satuan terkecil dalam kehidupan masyarakat merupakan pihak yang paling berwenang dalam mematahkan mata rantai, sehingga kesetaraan gender bisa tercapai dengan cara menerapkan beban serta tanggung jawab yang adil dan bijak terhadap anak laki-laki dan perempuan. Apabila anak perempuan harus mengerjalan segala urusan rumah tangga, maka anak laki-laki harus melakukan hal yang sama, tanpa kecuali. Demikian pula dalam hal pendidikan, proses yang harus ditempuah serta biaya yang harus dibayarkan antara anak- laki-laki dan perempuan sama. Masyarakat sering kali sulit menerima perubahan, karena terikat dengan adat dan pandangan sosial yang telah mengakar. Akan tetapi suatu perubahan apa pun bentuknya bila berdampak positif lambat laun akan diterima dengan senang hati.

Asmat Papua

BKKBN pernah memiliki program permanen, ialah pendewasaan usia perkawinan, suatu strategi yang berfungsi ganda dalam membangun kehidupan keluarga dan kesetaraan gender. Sungguh pun badan termaksud sudah tidak nampak di tingkat daerah, akan tetapi program dapat  diteruskan, mengingat fungsinya yang sangat penting dalam pengembanngan masyarakat.   Jangan pernah tergesa menjelang pernikahan, sebelum suatu akibat yang teramat buruk dan tak pernah dapat dibayangkan. Ikon perkawinan adalah “selamat berbahagia”, dalam banyak kasus yang terjadi justru sebaliknya. Kesiapan fisik, psikis, dan finansial amat mendukung untuk mencapai suatu masa yang disebut dengan kebahagiaan sekaligus mengantisipasi kekerasan di dalam rumah tangga.

Bahwa ada empat hal yang dapat mendukung seorang perempuan dalam mencapai kesetaraan gender, pertama dorongan dari pihak keluarga, kedua budaya masyarakat setempat, ketiga  kebijakan pemerintah, dan keempat kemampuan dari perempuan itu sendiri. Bahkan Tuhan pun tak akan mengubah nasib suatu kaum bila kaum tersebut tak bermaksud mengubah nasibnya sendiri. Demikian pula, Tuhan tak akan pernah mengubah takdir seorang perempuan kecuali perempuan mengubah nasibnya sendiri.

Foto diambil dari kiriman Dewi Linggasari

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *