![](https://mbludus.com/wp-content/uploads/2024/12/Puisi-Puisi-Nana-Sastrawan-750x422.jpg)
Kata-kata melipat jarak dan waktu. Menggulung permadani yang memisahkan kisah masa kini dan lalu. Menjangkau sekaligus peristiwa-peristiwa yang tak terhitung warsa. Mendekatkan tempat demi tempat yang tak cukup dijangkau sekali lompat. Seruni Sekar memaparkan peristiwa masa Kolonia, juga menjamah berbagai kekayaan Indonesia dengan puisi. Membacanya, kita dilibatkan turut larut dalam negeri yang karut-marut, juga adegan demi adegan luka. Selamat menyelami puisinya. (Redaksi)
[iklan]
Puisi-Puisi Laras Sekar Seruni
Kematian Batavia
/I/
Di samping Ciliwung–ketika itu senja belum lagi beranak pinak, dan perahu layar tersibak di naungan mambang–Coen baru saja merapalkan nama sejarah, Batavia.
/II/
Namun, sayang, saat itu Batavia mengeras dalam tanah yang memerah. Ia menjumput di sumur belakang rumah kita, mendendangkan suara-suara rakyat yang dilesapkan zaman. Mereka merdeka dalam kebidaban, namun air matanya pecah mengguyur pelabuhan yang temaram. Sayang, sayang, di sinikah kita kian menanam anak-anak hujan yang menuangkan rindu dan derita?
/III/
Oh, sayang disayang, Batavia lumpuh dan ruh berganti. Berganti. Berganti. Mati. Mati? Anak-anak kita menjelajah tubuh Batavia. Sebuah tubuh dengan ruh yang menjajal khatulistiwa.
/IV/
Di samping Ciliwung–ketika itu senja telah memanen kata demi kata yang tumpah di kakinya, dan perahu layar sudah berhenti bersauh sejak Coen menanggalkan lencananya. Kini Batavia hanyalah sebuah nama–abad silih berganti dan ia mati dalam singgasananya yang patuh pada waktu.
/V/
Oh, sayang disayang, sisa-sisa nisan kita ditunggangi sebuah nama yang menjadi tonggak negara. Luruhlah, kita semakin lindap, dan tanah kita menjadi setiap yang membawa harap pada tubuhnya.
(*) Manggarai, Juni 2019
Anyer; Sebuah Peristiwa
Anyer–bukankah Krakatau selalu mengeja namamu setiap petang yang mambang? Tubuhmu putih disapih pasir-pasir ibunda, pipimu merona dihampar gelombang yang dihinggapi camar.
Anyer, kau mengantarkan ruh-ruh pada sepasang malaikat malam itu. Malam yang begitu rembang disiram cahaya rembulan. Rambutmu liar menjerat sulur-sulur kehidupan.
Pulanglah, Anyer. temui Tuhanmu di setiap hela detik yang kau sisakan untuk kami. Riuhmu tidak kami rindukan, namun irama anginmu yang asin selalu kami gambarkan pada kening waktu.
(*) Pamulang, 2018
Pada Sebuah Akhir Pekan
Dia lesap pagi itu di wajah Agustus. Dunia masih sama, masih menawarkan sejarah di kolom koran Minggu.
Revolusi yang pernah terjadi mengingatkanya pada kersik-kersik di sawah yang pecah dan menanam air mata tanpa nama.
Meja judi, botol bir, dan gelas-gelas kopi tumpah bersama huruf dan tanda tanya yang sawang, bercerita tentang Lebak menambah mata pencaharian di akhir pekan.
(*) Pamulang, Agustus 2018
Denpasar di Kaki Malam
Dan malam kian mengeja cangkir kopi yang lesap dengan memorimu.
Setelah senja, di rendaman butir-butir pasir Kuta, kau tanamkan cerita dewata.
Kamu, masihkah sama seperti satu daswarsa lalu?
Atau Denpasar telah mengubahmu menjadi wajah ibu separuh waktu, separuh masa lalu?
(*) Pamulang, Agustus 2018
Merapi
Merapi—sebuah saksi yang dirambati jutaan kenangan,
dengan sisa-sia ranting patah, warna tanah, dan
udara pagi yang lesap bersama tubuh kita
di pinggir cangkir kopi.
Kita—sepasang mata kata yang enggan terjalin,
namun selalu berpilin. Kata yang saling menebak,
merebakkan deburan kuasa atas takdir-Nya.
sampai Merapi terpejam,
mengamini kepergian kita menuju tembaga waktu,
memeluk telaga batu.
(*) Merapi, 2018
Laras Sekar Seruni, bergiat di Komunitas Sastra Rusabesi. Buku puisi tunggal pertamanya Solilokui terbit tahun 2018.