
Seperti malam-malam lainnya, lebih tepatnya dini hari, pada pukul tiga. Aku akan menyibakkan selimut tebalku dan segera beranjak menuju pintu. Kadang yang kurasakan adalah udara dingin yang menusuk sendi. Kadang aku juga berkeringat padahal di luar hujan sedang turun tak kunjung henti. Entah musim apa yang sedang berlangsung, aku tak begitu peduli. Aku akan tetap keluar pada pukul tiga dini hari.
Biasanya aku akan membuat teh dengan sesendok madu sebagai campurannya. Aku membuat dua, satu untukku dan satu untukmu, tentu saja. Lantas aku akan duduk di kursi rotan di teras samping rumah kita. Menghadap kolam kecil dengan beberapa ikan koi yang sedang bersarang di dasar air di antara bebatuan-mungkin mereka sedang terlelap-, juga deretan tanaman aglonema di sekelilingnya. Dulu aku selalu bertanya padamu, tanaman-tanaman itu tidak mempunyai telinga, hidung dan mata bukan? Apakah mereka bisa mendengarkan percakapan kita?
“Lalu, apakah kau takut tanaman-tanaman itu akan membocorkan rahasiamu?”
Aku membalasnya dengan cubitan kecil di pinggangmu. Kau memang selalu mendengarkan ocehanku yang bak air yang mengalir di kolam itu; tidak begitu deras, tapi tak bisa dihentikan. Kau selalu mendengarkan cerita-cerita tidak pentingku dengan seksama. Dan yang aku suka darimu, kau tahu kapan harus menanggapi, atau cukup mendengarkan saja.
Mas, malam ini aku lembur lagi.
Aku selalu berat hati setiap mengirimkan pesan itu padamu. Ada rasa bersalah karena sepertiga dari waktu 24 jam-ku tak bisa kuberikan utuh untukmu. Selalu saja terpotong untuk pekerjaanku. Belum lagi saat akhir pekan, saat seharusnya kita menghabiskan waktu bersama. Ada saja panggilan dari kantor untuk mengurus pekerjaan tambahan. Sebenarnya, kau sudah memintaku untuk keluar dari pekerjaan yang kerap menyita waktu tersebut. Namun aku selalu berdalih, aku ingin membantu perekonomian keluarga kita. Entah benar-benar untuk perekonomian keluarga atau hanya untuk pelarianku saja.
Ya, pelarian untuk tidak ‘berhubungan’. Aku juga ingin segera menimang buah hati kita, tetapi kau tahu sendiri, ‘hubungan’ itu tak pernah berhasil. Kau memang suami yang baik, tak pernah menuntut, yang selalu ada dan membuatku nyaman. Namun maaf, untuk urusan ranjang, aku sudah angkat tangan. Maka aku lebih senang bekerja, dan menghabiskan waktuku di sana sebagai alasan. Tapi seiring berjalannya waktu, banyak rahasia yang aku sembunyikan darimu.
Sebelum pergi meninggalkanku, seingatku selama empat puluh hari sebelumnya kau selalu bangun pada pukul tiga. Kau mengeluh kedinginan, dan memintaku untuk mematikan AC serta mengambilkan selimut tambahan. Anehnya, esoknya kau akan bugar seperti biasa. Maka aku tak pernah menaruh curiga, kupikir kau hanya terkena pengaruh musim pancaroba.
Akhirnya pada malam itu, seusai menuntaskan lembur pada minggu terakhir di pertengahan tahun, aku melihatmu sudah terlelap di atas ranjang dengan dua selimut yang kau lilitkan pada tubuhmu. Saat itu jam sudah menunjuk pukul sebelas malam. Aku yang tak ingin mengganggumu dalam tidur segera membersihkan badan, dan tidur membelakangimu setelah sejenak mengulir-ulir linimasa media sosial.
Malam itu, kau tidak terbangun pada pukul tiga. Mungkin kau kelelahan. Namun hingga pagi menjelang dan suara berisik ikan-ikan koi di kolam saling berebut makanan yang baru saja kutaburkan, kau tak kunjung juga terjaga. Pelan kubuka selimut yang posisinya tidak berubah sama sekali sejak tadi malam. Keringat dingin perlahan mengalir di pelipisku. Aku takut membayangkan apa yang akan terjadi. Wajahmu yang tadi tenggelam dalam selimut kini mulai terlihat. Pucat. Setelah semua selimut terbuka, kupegangi seluruh badanmu. Dingin. Dan setelah aku meraba nadimu, aku yakin kau telah berpulang untuk selama-lamanya.
Tak terasa, satu jam sudah aku mengenang masa-masa kita bersama hingga hari-hari sebelum kau pergi. Teh madu yang kubuat sudah habis kusesap. Sayup-sayup suara mengaji dari speaker masjid mulai terdengar, mungkin sebentar lagi azan subuh berkumandang. Beberapa ikan koi sudah menggerakkan ekornya, menimbulkan bunyi kecipak di air kolam yang tak lagi tenang. Sudah hampir satu tahun ini aku bangun tiap pukul tiga dinihari, menunggumu datang menghampiri.
“Keluarlah! Tehmu sudah dingin.” Ucapku ketika sudah putus asa menunggumu yang tak kunjung tiba.
Kau tahu mengapa aku selalu bangun pada pukul tiga? Kata orang-orang, pada pukul tersebut arwah-arwah akan menampakkan dirinya. Aku ingin membuktikan perkataan mereka. Aku ingin melihatmu dan bertemu denganmu dalam bentuk apapun, entah itu jin yang menyerupaimupun aku mau. Aku tak peduli pada ketakutan dan kegelapan. Aku tak pernah takut, sungguh. Seumpama kau enggan menampakkan wujudmu, mungkin hanya dalam bayangan yang berkelebat saja, aku tak apa. Aku ingin mengucap maaf, dan mengatakan sesuatu yang selama ini belum sempat kusampaikan.
***
Dulu kau bertanya, apakah deretan tanaman ini bisa bicara? Jika sekarang kau lihat daunnya bergoyang-goyang sedang tidak ada angin yang berhembus di sekitarmu, maka jawabannya adalah mereka sedang bercengkerama denganku. Aku tahu kau selalu menungguku. Aku bukannya tak mau datang, melainkan mengapa aku harus datang jika aku tak pernah pergi? Aku tetap disini, diantara deretan tanaman di sekitar kolam ikan koi.
Mas, malam ini aku lembur lagi.
Aku ingat setiap menerima pesan itu, aku selalu menyalahkan diriku sendiri. Merasa menjadi suami yang tak bisa mencukupi kebutuhanmu, hingga kau harus sibuk bekerja sampai larut. Aku juga tak kuasa untuk memaksamu berhenti, karena aku tak ingin merenggut kebebasanmu. Kau bilang ingin menjadi wanita mandiri.
Namun saat itu, pada suatu malam saat kau sedang bebersih usai pulang dari lemburan, aku menemukan sebuah pesan dari rekan kerjamu yang cukup mengagetkan. Pesan itu membuatku berfikir ulang, apakah selama ini kau benar-benar sibuk bekerja? Maka dengan lancang aku membuka isi galerimu, dan menemukan beberapa foto yang membuatku kembali terkejut. Aku tahu kau tak sepenuhnya berniat melakukan perbuatan itu. Waktu-waktu yang kau habiskan bersama rekan kerjamu, yang lebih lama kau habiskan daripada denganku, mungkin yang menjadi penyebab utamanya.
“Aku capek, mas. Apa kita tunda saja pergi ke dokter?” katamu suatu hari. Dan lagi-lagi, aku hanya memaklumi. Aku takut dicap sebagai suami yang suka memaksakan kehendak sendiri. Padahal aku ingin memperbaiki ‘hubungan’ kita. Aku selalu merasa bersalah karena selama satu tahun ini tak pernah bisa memuaskanmu. Entah apa yang terjadi. Tapi, bukankah kita berdua harus pergi bersama untuk konsultasi?
Kecamuk yang tiada henti dalam pikiranku saat itu membuat kondisiku memburuk. Setiap malam saat kau belum pulang kerja, pikiranku liar kemana-mana, membayangkan kau sedang berbuat apa. Perutku begitu kosong namun mulutku tak bisa menelan apapun. Badanku dingin, sendi-sendiku serasa kaku. Esoknya aku berusaha terlihat biasa saja, karena aku tak ingin kau mencemaskanku. Paling, aku hanya memintamu membuatkan teh madu.
“Keluarlah! Tehmu sudah dingin.”
Wajahmu begitu putus asa. Ingin rasanya aku menghampirimu, namun aku terbelenggu dalam seonggok batu diantara tanaman-tanaman kita. Setiap arwah bebas memilih benda mati di rumahnya sebagai tempat berdiam, namun entah mengapa aku tersasar di batu ini, yang membuatku tak bisa leluasa mengamatimu. Aku tahu, seharusnya aku memilih berdiam di lukisan yang tergantung di ruang tamu.
“Haruskah aku menampakkan diriku sekarang?”
***
Aku adalah seikat lili paris yang teronggok begitu saja di pot paling pojok di taman rumah ini. Dulu tuanku tak pernah lupa menyirami dan merawatku. Namun setelah ia menjelma menjadi batu, tak ada lagi yang memperhatikanku. Mungkin aku adalah tanaman yang tidak begitu penting, tidak seperti tanaman aglonema dan yang lain. Kini daun-daunku sudah mulai menguning. Mungkin sebentar lagi aku akan mati.
“Bukan waktu yang tepat.” Jawabku padanya yang sedari tadi bertanya apakah ia akan menampakkan dirinya sekarang.
Aku merasa kasihan padanya. Dia tak bisa lagi menyentuh istrinya. Dia selalu menanyakan keadaan istrinya padaku dan pada tanaman-tanaman lainnya. Dulu istrinya bilang bahwa kami adalah tanaman-tanaman yang tak mempunyai hidung, telinga dan mata. Namun kami tetaplah makhluk hidup yang berdampingan dengan kalian. Kami tahu semuanya, kami mendengar apa yang kalian perbincangkan selama ini di teras.
“Mengapa?” ia kembali bertanya. Aku tahu semua, tapi aku takut ia terluka saat mendapatkan jawabannya. Tak banyak kesempatan yang diberikan pada seorang arwah untuk bisa menampakkan dirinya, namun menurutku dia tak perlu menggunakan kesempatan itu.
“Kau lihat sendiri saja nanti.” Hanya itu jawaban yang bisa kukatakan padanya.
Benar saja. Tepat sesaat setelah azan subuh berkumandang, seorang lelaki tegap keluar dari dalam rumah. Lelaki itu mengajak istrinya masuk. Ia juga membawakan selembar selimut tebal. Sekilas, kutengok wajah tuanku begitu pucat. Terlihat rongga-rongga dalam tubuhnya kembang-kempis saat dia mengetahui siapa lelaki itu.
“Kau tahu mengapa aku selalu melarangmu untuk menampakkan wujudmu? Karena dia sudah bukan lagi istrimu. Dia telah dipersunting lelaki tegap itu.”
Daunku yang sudah menguning perlahan mengering. Sebentar lagi aku akan mati, dan kurasa tak apa aku menyampaikan kenyataan ini padanya. Setidaknya, aku tak akan melihatnya berurai air mata.
Haniah Nurlaili. Hobi menulis dan penyuka dekorasi rumah. Beberapa judul cerpennya juga pernah dimuat di media massa.