
Negeri Kelana dalam Hati Seorang Introvert
Nana Sastrawan
Neni Yulianti mengawali kiprah kepenyairannya tahun 2017 melalui buku puisi pertamanya ‘Sajak Tepi’. Namun, bukan berarti ia baru mengenal puisi di era milenial ini, jauh sebelumnya, Neni telah menjelma seorang deklamator puisi. Ia sering mengikuti lomba membaca puisi dari karya-karya sastrawan hebat, sekadar menyebutkan satu nama Chairil Anwar. Neni yang dulu, akrab dengan puisi-puisi penyair fenomenal itu. Seiring bergulirnya waktu, dari senang membaca puisi dari lomba dan panggung-panggung, ia pun mulai banyak membaca buku-buku puisi, hingga pada akhirnya ia berhasil menjadi penyair perempuan yang patut diperhitungkan melalui karya-karya puisinya yang telah tembus media Nasional dan ajang Asia Tenggara.
Namun demikian, siapa sangka dibalik kata-kata yang terlahir di puisi-puisinya, Neni adalah seorang Introvert. Ia pernah kehilangan kepercayaan diri dan menjadi korban perundungan baik di dunia nyata maupun dunia maya, bahkan di berbagai komunitas yang diikuti olehnya, kerap kali Neni dikorbankan sebagai kambing hitam. Neni pernah kehilangan semangat, ia hampir putus asa dan selalu mengurung diri di dalam kamar. Dari pengurungan dirinya itu, kata-kata berjatuhan dari kepalanya ke atas kertas putih, membentuk puisi. Boleh jadi, puisi-puisinya yang dibukukan ini adalah sebagai wujud balas dendam kepada semua orang yang pernah melakukan perundungan, ia seperti sedang ingin mendobrak pintu kamar dan membangkitkan semangat pada dirinya sendiri. Ya, motivasi terbaik dalam hidup ini, sejatinya adalah diri sendiri.
[iklan]
Setelah buku puisi pertamanya diterbitkan, Neni semakin muncul ke permukaan, namanya cukup dikenal di kalangan para penulis dan penyair, bahkan baru-baru ini namanya tercatat dalam buku ‘Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Seorang Neni yang marah, mulai menyadari bahwa kekuatan terbesar untuk mengalahkan keterasingan adalah mengenal jati dirinya. Ia pun mulai mencari jati dirinya, mengenali siapa dirinya, untuk apa dia hidup dan di mana dia lahir. Lambat laut, Neni yang selalu gelisah tentang kerapuhan hatinya, mulai gelisah pada kulturalnya. Dan ia mulai sadar untuk memanfaatkan kekayaan kulturalnya sebagai ekspresi dalam puisi-puisinya. Ia mulai mencari data dan narasumber yang menurutnya tepat untuk eksperimen karya puisinya setelah buku puisi pertamanya lahir.
Terbukti, Juni 2020 buku kumpulan puisi keduanya bernapas dan mulai merangkak, tertatih-tatih dalam dunia kesusastraan Indonesia. Buku puisinya kali ini memang sangat berbeda dengan buku puisi sebelumnya. Jika buku puisi ‘Sajak Tepi’ banyak puisi-puisi kamar tercipta, di buku puisi keduanya yang berjudul ‘Kelana’ Neni telah menjelma seorang perempuan yang ekstrovert, dia tidak merasa terkurung atau tersisihkan, justru dia mulai menjelajah ke berbagai dimensi waktu, jauh ke sejarah masa lalu. Ia menyadari bahwa tanah di mana ia menjadi besar memiliki nilai-nilai puitik yang perlu disampaikan ke semua orang, sehingga tanah kelahirannya menjadi tempat yang pada akhirnya dikenal oleh banyak orang, ia ingin menghidupkan kejayaan masa silam di masa sekarang, seolah sedang mencoba membangkitkan jiwanya yang gagah di atas panggung berdeklamasi di masa silam ke masa sekarang.
Pada puisi berjudul ‘Panji’ sebagai puisi pembuka buku ini, seolah Neni tengah memberikan isyarat bahwa dirinya terlahir kembali sebagai deklamator melalui sejarah masa silam di kotanya, yaitu Cirebon.
Cahaya berenang di wajah itu, sungguh membelah
dada yang memandang
putih, suci, dan selembut bayi. Sejumput bayang
membentang
peluh pewaris cerita di garis puyang
tentang tiga pendekar sakti: Sunan Gunung Jati,
Sunan Kalijaga
dan Pangeran Welang berebut pedang Curug Sewu
bermata rembulan
Diletakan adeg-adeg sekokoh gunung
biji-biji kesumat terpanggang dalam tungku api
kilat pedang berdesing, kaki menghentak ke bumi,
dan waktu semakin beringsut
menunggu pengorbanan paling agung turun dari
punggung
kaki-kaki hujan menyentuh bumi, terurai sulur siar kalbu
dan segalanya menjadi teduh, angkara murka luruh,
nasib mengelupas dari tubuh.
Alunan gamelan berdentam. Senyum menyusuri
kelok mata
orang-orang terkesiap menyaksikan dalang
memainkan kedok bermata sipit dan berselendang
mayang
putri Nyi Mas Gandasari meneteskan embun pada
jantung pangeran
awan menunduk, daun-daun luruh melayang.
“Di taman keputren itu apakah kau masih mendengar?”
Suara-suara roh Arjuna keluar dari seruling serdam
menggerakkan angin kasmaran
kembang sungsang, oet-oetan, dan pamindo deder
menghayutkan jantung
hingga berdenyut di kantung wajah
yang semerbak mengeluarkan aroma sejarah
Realitas sejarah, khususnya Cirebon yang digunakan oleh Neni boleh jadi hanya sebagai alat untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya. Itu semua dapat ditemukan pada larik-larik puisi ‘Hikayat Sang Cipta Rasa’. Meskipun narasi yang dihadirkan pada puisi tersebut adalah peristiwa sejarah, akan tetapi sinyal puisi itu menghadirkan sosok perempuan yang boleh jadi, sosok itu menjadi seperti hidup dalam diri penyair.
Hati siapa yang tidak berkabut ketika orang terkasih
terpaut maut
hujan berkerudung panas abu meluruhkan daun-daun
air mata
pada langit menghujamkan lara. Di dalam kemelut
perang,
dua perempuan menjadi tumbal malapetaka. Sebab
Menjangan Wulung
mengadu sakti. “Siapa berani menghadapi
kesaktianku ini akan mati!” katanya
dengan mulut berdesis dan mata nyalang
Di ujung keganasan ombak, lambung kapal limbung.
Lidah pahit menyembur racun
Pada punggung Cirebon yang biru. Telah tertambat
nasib pada titik nadir
perempuan berhati terang, Nyimas Kadilangu dan
Nyimas Pakungwati
Menamatkan sujud terakhir
Tak ada upacara kematian, hanya bibir maut
mengecup lembut raga yang dikorbankan
roh-roh terlepas bersama zikir yang dilantunkan jamaah
malam menjadi anyir, memolo terbang ke arah barat,
dan tubuh hancur berkeping-keping.
Azan pitu bersaksi dalam istilah panjang sang ratu
langit mengheningkan cipta
orang-orang melabur kenang pada kening moyang
yang terdedah dari hikayat Sang Cipta Rasa.
Melegenda.
Kemudian, Neni mulai mengembara lebih jauh ke masa silam. Ia ingin menjadi seorang perempuan yang tidak mati suri. Ia menyadari bahwa mengetahui asal-usul adalah jalan pembuka untuk menemukan jati diri yang pada akhirnya identitas itu sebagai kultur kemandirian. Sayangnya, pencarian Neni masih terlalu umum, ia mengambil jalan lurus. Seperti puisi ‘Babad Cirebon’ Neni ikut menyepakati muasal nama Cirebon dan lahir kotanya dari cerita-cerita yang sudah berkembang di masyarakat, dari mitos-mitos yang selalu didongengkan dari zaman ke zaman. Ia tidak melakukan pencarian pada jalur yang lain. Sehingga puisinya pun terkesan hanya mengulang apa yang sudah dituliskan oleh kebanyakan orang.
Adalah akar sejarah merambat di antara belukar
alang-alang
pepohonan merunduk, juga mata cahaya berkilau
di lautan
sebagai ladang mimpi petani dan nelayan
tempat bermukim alam perawan, belum tersentuh
kejahilan tangan
yang menodai ladang kehidupan.
Batang sungai hidup, perkawinan sakral ikan-ikan
dengan rembulan
juga kelahiran anak-anak rebon dari rahim laut
lumbung pangan tak pernah surut ditikam angin kemarau
berdendang hujan melagukan puji syukur kepada Tuhan.
Dari kejauhan terdengar orang-orang menumbuk alu
“Creb! Creb! Creb!”
Udang, ikan, rebon, ditumbuk menjadi satu dalam
lumpang batu
lalu direbahkan di Lemahwungkuk
ampas ikan dan rebon dikeringkan matahari jadi terasi
air sari jadi petis yang menghiasi nasi
“Hai orang muda, masakan apa ini? Rasanya enak
sekali!” tanya utusan Rajagaluh
kepada Pangeran Walangsungsang
Inilah kampung kami, tanah pesisir beradat Keraton
berasal dari cai rebon. Sebuah kampung tak pernah
hilang jejaknya
dari peta ingatan para pendatang
Perjalanan kelana Neni pun beranjak menyusuri setiap sudut kota Cirebon di mana ia dibesarkan. Ia menjelma perempuan yang mencintai keramaian, menemukan keindahan dan semangat baru. Puisi-puisi pun lahir dari pengembaraannya itu, seperti ‘Di Stasiun Kejaksan’ hatinya mulai terbuka, pada larik Kaulah lelaki itu, berdiri di depan pintu keluar stasiun/ dan matahari mencuri senyum dari bibirmu/ jalan lengang, kita saling melempar percakapan/ dan susupkan tawa pada lipatan waktu/ seperti angin menebar ingin/ menampung tetes jam di tubuh/ agar beku di ingatan.
Lalu pada puisi ‘Sega Jamblang’ Neni berhasil membawa dirinya sembuh dari ketakutan-ketakutan, kecemasan yang berlebihan sehingga merasa terkurung. Puisi, ternyata dapat mengubah seseorang, tidak hanya kata-kata yang menghipnotis pembacanya, tetapi proses pencarian penyair untuk menciptakan puisi pun dapat membangkitkan jiwa penyairnya. Simak larik puisi Sega Jamblang yang menumbuhkan semangat, Daun jati yang mengenalkan jati diri/ pada lembar hidup/ telah mengajarkan aku/ bangkit dari kemarau yang tajam.
Seperti juga para penyair lainnya, Neni pun tentu saja seperti memperoleh panggilan jiwa. Tetapi, lebih daripada itu, puisilah saluran yang paling dekat dengan suasana batinnya. Maka, tidak mengherankan jika akhir-akhir ini, puisi-puisinya menemukan jalan yang pas. Ia tidak sekadar untuk ekspresi, mengungkapkan suasana batinnya itu, tetapi juga untuk mewartakan kegelisahan atas berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar seperti memaksanya untuk bersikap. Ia ingin bernostalgia dengan masa silam, atau paling tidak membuat perenungan dalam puisi-puisinya.
Simak puisi ‘Menjahit Bibir Mei’, pada puisi ini Neni seolah sedang memberitakan kembali sebuah peristiwa sejarah kala itu. Pada larik Kau tidak bersamaku/ sejak tahun 1998 lidah api menyala di punggungmu/ yang biru / ada lubang nganga berwarna hitam/ bekas gigitan anjing-anjing gila yang menghilang dari / kandang / mungkin, hitamnya melaburkan ingatan penguasa/ yang enggan meninggalkan kursinya pada masa itu. Neni, telah menjelma penyair perempuan yang tertata dalam kepribadian dan kepekaannya pada situasi sekitarnya.
Hal lain yang penting dibincangkan dari sejumlah besar puisi Neni Yulianti adalah kemampuannya mengemas puisi dengan bahasa sederhana dan secara tekstual mudah ditangkap maknanya, tanpa perlu mengernyitkan dahi. Mungkin ini yang sering disebutkan Clenth Brooks, the language of paradox dalam The Well Wrought Urn (1947). Maman S Mahayana pun memperkuatkannya dalam buku Kitab Kritik Sastra (2015), bahwa di balik segala pilihan kata dan majas yang tampaknya sederhana itu, ada kualitas lain yang mesti ditarik ke dalam konteks sosio-kultural. Puisi itu tidak berhenti hanya pada makna tekstual (denotatif), melainkan melayang jauh pada makna kontekstual (konotatif). Dari situ, dapat dipastikan puisi ditentukan dengan kualitas penyair dalam memilih kata, yang maknanya sama antara denotatif dan makna konotatif.
Simak potongan larik puisi ‘Tumbuh’ dari karya Neni yang memberi sinyal pada konteks tersebut. Ada yang tumbuh di jantungmu/ berdetak/ mengikuti darah yang berjalan di suatu pagi dengan/ banyak tanya/ “Apakah Tuhan sudah menghidupkan semua pohon di tubuh?” atau Ada yang tumbuh di kakimu/ berjalan mengikuti desir angin/ terkadang pincang/ hanya mengandalkan awan. Apa maknanya? Dan apa yang tumbuh pada jantung? Detak? Dan apa yang tumbuh pada kaki? Langkah? Di sini, bahasa tampak sederhana, memiliki makna denotatif namun mempunyai kesamaan makna dengan konotatif.
Pengembaraan Neni pun ternyata bukan sekadar menjelajah kampung halamannya, yaitu Cirebon. Neni seperti tidak puas, ia dendam pada kesendirian, sehingga ia langsung melesat keluar dari kamar dan menyusuri daerah-daerah lainnya. Setiap daerah yang disinggahi olehnya, selalu memberikan kesan yang dalam. Seperti pada puisi ‘Getah yang Meneteskan Sejarah’ Neni mewartakan suatu perjalanannya di kota yang lain.
Apa yang membawamu ke sini?
“Aroma surga yang tercium dari kedalaman tubuh
Lampung,” katamu
pada bentangan permadani hijau
yang bertabur serbuk cahaya di ujung selatan
Sumatera.
Adalah tetes-tetes sejarah—bermukim pada pohon
Bergetah
merangkum kisah belasa kepampang bercabang
dua getah yang disucikan anakanak Tumi
sebagai penebar racun dan penawar segala luka
Adakah debar liar di dadamu
ketika menyelami hari, menyaksikan rohroh leluhur
melekat dalam dada
batubatu mengucurkan darah, ritual sesaji menebar
resah
hingga mata buta dan hati telah goyah
seperti proyektor menata gerakan yang terhisap
di lorong sejarah
khusuk menabur karangan bunga sepanjang trotoar
ziarah
Adakah kau tahu
bau mistis yang mengoyak lampau
tentang pohon menangkup azimat
cabang sebukau yang dilumuri racun
dan cabang nangka yang berkhasiat obat mujarab
Lalu, ditebang kayu bercabang menjelma Pepadun
Tempat Saibatin Raja Paksi Pak singgah
di peraduan dengan gagah
membaca lembaran silsilah beraksara kaganga
kekuasaan Sekerumong terguling di medan perang
melawan empat Umpu Nyerupa, dan Umpu Pernong
serta Si Bulan yang jelita, sebagai cikal bakal Paksi
Sekala Brak beraksara had
dan cahaya Islam mengelupaskan akar
animisme dan dinamisme pada nadi puyang
Getah yang menetes sejarah pada pohonpohon, goa,
batubatu megalitik,
legenda Tulang Bawang, hingga si Pahit Lidah
meninggalkan jejak yang lengket pada tanah keramat
untuk disusuri dan ditaburi oleh gadis dan bujang
yang menyulam malam dengan doadoa
Lereng Pesagi yang di tubuhnya tumbuh rempah lada
dan harum robusta, membisikkan semilir angin paling
purba
ada sejuta pesona penuh warna melaburi pelabuhan
Bakauheni
Menara Siger, Nuwo Sesat, Anak Krakatau,
Pantaipantai di tepi pulau, dan mulimuli berkain tapis
Menarikan sigeh pengunten, cangget, atau melinting
hingga lidah tak mampu meludah
dari nikmatnya lapis legit, tempoyak, juga seruit
yang tergenang di kolam ingatan
Seketika, bergemetarlah ingatanmu
menyaksikan kecantikan Sang Bumi Ruwai Jurai
berhias Piil Pesenggiri
oh, Ulun Lampung halus budi pekerti
Dan dari pucuk bibirmu merekah salam:
“Tabik. Salam tabik para puyang!”
Puisi-puisi senada juga hidup pada Tamasya di Kedalaman Rahim Padang Panjang, Diorama Lembah Ijen, Kirab Ancak dimana Neni menangkap lanskap peristiwa dari tempat-tempat yang disinggahi.
Jika diyakini bahwa sastra sebagai potret sosial, representasi kultural maka Neni bisa dikatakan berhasil membawa dirinya yang terbiasa terasing dalam kesendirian berada di tengah hiruk-pikuk peristiwa-peristiwa. Kesendiriannya telah membawa hatinya kepada kepekaan, sehingga ia telah menjelma penyair. Ya, sejatinya penyair perlu mengasah indera untuk menangkap ide dan makna yang berseliweran. Meskipun Neni, pada puisi-puisinya di dalam buku ini hendak menempatkan diri sebagai penonton, ia memang tidak terlibat dalam segala peristiwa-peristiwa sejarah, tetapi penyair mewartakan sesuatu tentang suasana hati atau kegelisahannya, tentang zamannya atau evaluasi atas kondisi sosial budaya. Nah, di situlah kehadiran penyair penting. Setidaknya, penyair konsisten memberitakan suara hati, atau sekadar mengusung peradaban, bersiteguh membela kemanusiaan.
Neni hidup pada zaman yang berbeda dari puisi-puisi pengembaraan ke peristiwa sejarah, tetapi ia pun sanggup membawa dirinya berada pada zaman yang tengah dijalaninya dengan puisi-puisi. Di samping itu, secara pribadi Neni berhasil mengubah sikapnya yang penyendiri menjadi sikap yang kritis, toleransi, berkemanusiaan.
Neni seolah menyakini, bahwa puisi adalah jalan terbaik menuju cahaya dalam hidupnya, simak puisi ‘Hidup’.
Di tubuhnya sungai terbaring
bersama angin menghitung usia kian merambat
di antara rimbunan puisi-tak pernah mati
hidup pada akar hayat, sekedar pengelana
sejenak singgah dan khusuk pada kembara
menunggu pagi terbit
juga senja berwarna saga
saling membagikan potongan kisah
dalam cangkir tualang paling tabah
Akhir kata, selamat menempuh perjalanan di dunia sastra, memilih jalan kepenyairan bukan berarti hidup dalam dunia imajinasi. Sebab puisi selalu berada pada dunia nyata di kehidupan sehari-hari.
Juni 2020
KLIK WAWANCARA KHUSUS BERSAMA PENULISNYA DI SINI
https://www.youtube.com/watch?v=Zfg2Ml4im_I
Nana Sastrawan, Peraih Penghargaan Acarya Sastra IV Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI 2015.