
Mesin Budaya di Zaman Edan[1]
W.S Rendra[2]
Assalamualaikum w. w.
Dan salam sejahtera untuk semuanya.
Lebih dulu saya mengucapkan selamat bahagia kepada Sdri. Retno Maruti yang baru saya menerima Hadiah Seni dari Akademi Jakarta.
Selanjutnya Akademi Jakarta telah meminta kepada saya agar malam ini saya mengucapkan pidato kebudayaan untuk menanggapi kemelut keadaan sosial, politik, dan ekonomi dewasa ini, dari segi pandang seorang penyair.
Syahdan, usaha manusia di dalam masyarakat pada akhirnya akan tertumbuk pada “Mesin Budaya”. Adapun “Mesin Budaya” itu adalah aturan-aturan yang bersifat mengikat dan menimbulkan akibat. Etika umum, aturan Politik, aturan ekonomi, dan aturan hukum, itu semua adalah aturan-aturan yang tak bisa dilanggar tanpa ada akibat. Semua usaha manusia pada akhirnya akan berurusan dengan aturan-aturan itu, atau “Mesin Budaya” itu.
[iklan]
“Mesin Budaya” yang berdaulat rakyat, adil, berperikemanusiaan, dan menghargai masa depan, adalah “Mesin Budaya” yang mampu mendorong daya hidup dan daya cipta anggota masyarakat dalam negara. Tetapi “Mesin Budaya” yang berdaulat penguasa, yang menindas dan menjajah, sangat berbahaya untuk hidup dan daya cipta bangsa.
Dewasa ini etika sebagai mesin budaya sangat lemah daya kerjanya. Penjahat-penjahat ekonomi di zaman Orde Baru lolos kabur ke luar negeri dengan segenap harta rampokannya. Ada pula yang hidup aman di dalam negeri dengan harta najisnya, dimuliakan orang dan tak terjamah oleh undang-undang yang tidak adil.
Bahkan pengacara-pengacara banyak yang menjadi kaya raya karena membela para perampok harta Bangsa. Jaksa-jaksa dan hakim-hakim pun bisa disuap dan akhirnya menjadi pelindung kejahatan. Agama tinggal menjadi lencana. Kekerasan, pelanggaran hak azasi manusia, dan pembunuhan halal. Bahkan dianjurkan dan dibanggakan. Pendeknya seorang yang perkasa karena senjata, karena harta, atau karena punya massa, bisa melanggar etika dengan aman dan sejahtera.
Go. Go. Go. Allez. Allez. Allez.
Bakso. Bakso. Bakso. Onde. Onde. Onde.
Mikul duwur mendem jero itu ape artinye.
Artinya, kalo ente jadi presiden berdosa boleh aje.
Undang-undang dan aturan ketatanegaraan kita dewasa ini, yang meneruskan semangat undang-undang dan ketatanegaran penjajah Hindia Belanda tempo dulu, yang sama-sama mentrapkan keunggulan daulat pemerintah di atas daulat rakyat, yang sama-sama menggunakan “hatzaai-artikelen” untuk melecehan ungkapan perasaan rakyat demi keunggulan wibawa ndoro penguasa, yang juga sama-sama mentrapkan aturan politik ketatanegaraan yang memusat, yang sama-sama pula memperteguh aturan berdasarkan kekuasaan dan keperkasaan dan tidak kepada etika, dengan sendirinya tak akan bisa berdaya mencegah krisis etika bangsa, bahkan malah mendorong para penguasa dan para perkasa untuk mengumbar nafsu jahat mereka, tanpa ada kontrol yang memadai.
Tentu saja ada Pancasila, sumber etika bangsa yang cukup lebar cakupannya. Tetapi ternyata, Pancasila hanyalah bendera upacara yang tak boleh dikritik, tapi boleh dilanggar tanpa ada akibat hukumnya. Kemanusiaan yang adil dan beradab, satu sila yang indah dari Pancasila, ternyata tak punya kekuatan undang-undang apapun bila dilanggar oleh orang-orang kuasa atau perkasa. Lihatlah kasus pembunuhan terhadap empat petani di Sampang, Madura. Pembunuhan Marsinah, Udin, para mahasiswa Trisakti, dan peristiwa-peristiwa pembunuhan yang lain lagi.
Majikan Marsinah, yang punya pabrik jam palsu dan tidak memberlakukan peraturan menteri dalam soal gaji buruh, bebas dari tuntutan apapun. Sedangkan Marsinah yang memprotes agar peraturan menteri ditrapkan di pabriknya justru malah dianiaya dan dibunuh, tanpa urusan pengadilan yang memadai.
Para buruh di Cengkareng yang mogok dan berjuang untuk memperbaiki kesejahteraan hidupnya dianiaya dan diharu biru oleh petugas keamanan. Biarpun kasusnya dimenangkan oleh pengadilan, tetapi keputusan pengadilan tak pernah digubris dan dilaksanakan oleh majikan pabrik. Malahan alih-alih para aktivis buruh diteror oleh para petugas keamanan dan para preman yang dibayar oleh majikan.
Rakyat juga tak pernah menang dalam perjuangan mereka untuk melindungi diri dari polusi yang ditimbulkan oleh limbah pabrik. Petugas keamanan selalu memihak kepada kepentingan majikan pabrik.
Benar-benar sila kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial, dan kedaulatan rakyat, benar-benar tak ada hukumannya di dalam undang-undang pelaksanaan. Hal ini menjadi demikian karena KUHP yang berlaku di masyarakat kita adalah warisan dari penjajah Hindia Belanda yang tidak punya dasar etika dalam perundang-undangannya!
Sungguh ironis, bahwa di dalam negara yang merdeka, karena meremehkan kedaulatan manusia dan kedaulatan rakyat, hukum dan undang-undang justru menjadi sebab merosotnya kehidupan etika bangsa.
Tatanan hidup yang kacau itu menimbulkan “Zaman Edan”, menurut penyair Ronggowarsito. Ialah zaman yang tidak memberdayakan akal sehat. Seterusnya “Zaman Edan” akan menimbulkan zaman yang oleh Ronggowarsito disebut “Zaman Kolobendu”. Ialah zaman yang kacau nilai, zaman kejahatan menang, penjahat dipuja, orang beragama menjadi algojo, kitab suci dikhianati justru oleh ulama, kekuasaan dan kekayaan diperdewa. Inilah zaman di mana kita semua, sekarang ini berada.
Ur! Ur! Badaur!
Kotak korek api.
Maju mundur. Maju mundur.
Uang suap pegang kendali!
Ur! Ur! Badaur!
Kalung jali-jali.
Hidup rakyat hancur lebur.
Wakil rakyat malahan naik gaji.
Si tukang riba disebut lintah darat.
Si hidung belang disebut buaya darat.
Pedang banyak hutang itulah konglomerat.
Mereka yang berhutang, yang bayar, lha, koq rakyat!
Kolobendu! Kolobendu! Inilah keadaan yang seharusnya tidak terjadi di negara yang merdeka! Ternyata nilai-nilai luhur dan sifat adiluhung dalam kebudayaan bangsa itu omong kosong belaka! Akibat dari undang-undang yang tidak adil dan ketatanegaraan yang sableng, bangsa kita terperosok dalam alam kolobendu.
Tetapi rupa-rupanya Bangsa kita sering mengalami masa kolobendu. Buktinya di abad ke-19 Ronggowarsito sudah bersyair soal masa itu. Selanjutnya saya jadi teringat: di permulaan abad 11 pemerintahan Dharmawangsa juga mengalami kolobendu. Untung beliau cukup sadar akan batas kemampuannya, lalu mengundurkan diri, dan menunjuk cucunya, Airlangga, untuk menggantikannya.
Dalam usia 17 tahun Airlangga segera memulihkan Kolobendu menjadi Kolosubo, atau zaman aman dan sejahtera. Adapun caranya dengan mengubah tatanan undang-undang dan ketatanegaraan. Tatanan yang tadinya memusat ia cairkan. Ia mengumumkan agar setiap desa adat memulihkan tatanan hukum adatnya, yang berbeda-beda setiap desanya, semuanya tergantung dari cara mereka menghasilkan barang-barang kebutuhan untuk kehidupan sehari-hari dan untuk dipasarkan. Kemudian ia menganjurkan supaya setiap desa adat membentuk empat puluh prajurit penjaga adat, yang dipilih berdasarkan mutu kehidupan pribadi mereka, dan diangkat turun-temurun. Dan kalau ternyata seorang prajurit adat tak punya anak yang kehidupannya bermutu baik, maka ia boleh digantikan (kalau sudah wafat) oleh kemenakannya atau cucunya yang baik mutu hidupnya. Maka Airlangga menghadiahkan kepada setiap prajurit adat, di setiap desa adat, sebuah keris, sebuah mata tombak dan sehelai angkin emas.
Dengan demikian sang raja yang masih remaja itu telah menciptakan otonomi yang luas untuk setiap desa adat, dan telah melahirkan hukum dan undang-undang yang adil serta terkawal. Dan terciptalah zaman emas dalam pemerintahaannya dengan dasar etika yang kuat yang didukung oleh undang-undang yang nyata dan berlaku. Dan undang-undang yang berlaku itu diberikan pula pengawalnya.
Menarik sekali daya cipta Raja Remaja yang berumur 17 tahun itu yang telah menciptakan bagi rakyatnya tatanan undang-undang yang adil, mandiri dan terkawal. Alangkah bedanya dengan negara kita saat ini yang tatanan hukum dan undang-undangnya belum memuaskan keadilannya, belum memuaskan kemandiriannya, dan lagi tidak terkawal. Lembaga kepolisian yang seharusnya menjadi pengawal hukum dan undang-undang malah menjadi pengawal pemerintah! Dan lembaganya berada di bawah ketiak presiden! Itulah sebabnya saya menyebut bahwa ketatanegaraan kita ini sableng!
Ketatanegaraan Airlangga yang tidak memusat itu malah menimbulkan kejayaan hidup bersama yang penuh daya cipta yang akhirnya memang makmur pula. Berbeda dengan ketatanegaraan kita yang terlalu memusat, sehingga akhirnya malah menimbulkan ketegangan hubungan antara pusat dengan daerah, yang bisa menjurus ke arah perpecahan.
Desa-desa adat yang ada di Bali, bisa terus hidup menjaga keseimbangan hidup rakyat sampai saat ini. Jadi berlangsung selama 995 tahun!
Sayang pada akhir hidupnya, Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua kerajaan untuk dipimpin kedua putranya. Hal ini menyebabkan ketegangan hidup yang terus menerus sehingga akhirnya desa-desa adat di Jawa bubar karena kehilangan kedaulatannya.
Di Sulawesi Selatan keadaan Kolobendu juga pernah terjadi di akhir abad ke 15. Di saat itu muncullah seorang pemuda dari kalangan rakyat yang sangat cerdas yang bernama Kajao Laliddo. Kecerdasannya menarik perhatian para sesepuh kerajaan Bone sehingga ia memperoleh kedudukan yang cukup tinggi. Dalam kedudukannya itu ia menawarkan tatanan kenegaraan yang menjamin tetap berlangsungnya perbedaan-perbadaan kepentingan di dalam masyarakat, yang eksis secara berdampingan, di bawah tatanan yang bersendikan etika, hukum, dan undang-undang yang dikawal oleh tujuh orang dewan adat yang dinamakan “Ade’ Pitue”.
Masalah-masalah yang timbul akibat dari perbedaan-perbedaan kepentingan diselesaikan dengan “bicara”, yang berarti pengadilan. Hierarki dalam tatanan ketatanegaraan adalah: yang tertinggi “Ade” (hukum), lalu “Puang” (atau kesatria) yang menjadi pangagadereng (pelaksana pemerintahan), kemudian rakyat yang berdaulat.
Ternyata jalan keluar Kajao Laliddo itu sukses. Bisa membawa keamanan dan daya hidup yang penuh dinamika kemajuan bagi rakyat karena daya inisiatif mereka terjaga. Seorang Wajo yang sukses hidup di rantau, menjelaskan kiat suksesnya dengan ucapan “mereka orang Wajo hanya hukum adat yang dipertuan”. Tatanan hidup itu bisa bertahan sampai 505 tahun. Pada tahun 1905 hancur diobrak-abrik oleh Belanda yagn datang dengan keunggulan teknologi: kapal uap, senapan mesin, dan senapan yang bisa dikokang. Tetapi sebelum itu wilayah mereka tak bisa dijamah oleh Postugis, Spanyol, Inggris ataupun VOC.
Di zaman modern ini ketika Kolobendu menimpa Thailand di akhir abad yang baru saja berlalu. Mereka segera memperbaiki konstitusi sehingga menjadi konstitusi yang baru. Dan ternyata sekarang, kemelut itu sudah mereka lampaui. Adapun konstitusi baru itu melibatkan partisipasi rakyat dalam penciptaannya.
Demikian pula dengan Korea Selatan yang juga ditimpa Kolobendu di akhir abad yang baru lalu. Dengan mengubah konstitusi mereka pun bisa keluar dari kemelut. Ternyata hukum, perundang-undangan, dan ketatanegaraan yang menghargai daulat manusia, daulat rakyat, daulat akal sehat, dan daulat etika, akan menjadi “Mesin Budaya” yang mampu merangsang dan mengakomodasi daya cipta dan daya hidup bangsa, sehingga daya tahan dan daya juang bangsa menjadi tinggi.
Sayang, Elite politik kita masih belum bisa bebas dari mentalitas ndoro-ndoro penguasa Hindia Belanda yang sangat dalam mempengaruhi diri mereka. Dianggapnya UUD ’45 yang penuh pengaruh ketatanegaraan Hindia Belanda itu justru dianggap sakral dan sempurna. Bung Karno sendiri pernah berpesan bahwa UUD ’45 itu tida sempurna, tetapi bisa menjadi berlaku untuk sementara saja.
Apakah kaum kolot tidak menyadari bahwa UUD ’45 itu mengandung kesenjangan antara Ius (Pancasila) dan Leage (KUHP)? Sehingga seperti yang telah saya lukiskan di atas, bahwa Pancasila hanya menjadi bendera upacara belaka? Sehingga daulat manusia, daulat rakyat dan keadilan sosial tidak pernah menjelma dalam kenyataan kehidupan.
Lain dari itu cara UUD ’45 merumuskan wilayah negara, sebagaimana tercantum dalam pasal 26a adalah: “Negara kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah dan batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.”
Tidak ada perkataan “maritim” di dalam rumusan itu. Nama negara pun hanya disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Padahal 60% dari negara kita terdiri dari lautan. Tetapi seperti berkepala batu, para elit politik kita tidak mau mengubah nama negara kita menjadi Negara Kesatuan Maritim Republik Indonesia.
Negara kita adalah negara satu-satunya yang memiliki laut di dunia. Negara-negara lain hanya mempunyai pantai. Tetapi negara kita mempunyai laut: Laut Natuna, Laut Jawa, Laut Sulawesi, Laut Flores, Laut Banda, Laut Aru, Laut Arafuru, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Halmahera, Laut Timor dan Laut Sawu. Tetapi negara kita tetap saja ketatanegaraan negara daratan. Inikah mental petani?
PBB dan Unclos sudah mengakui kita sebagai negara maritim. Tahun 1982 kita sudah menandatangani komitmen tata kelautan dengan Unclos. Tetapi sampai saat ini kita belum menyesuaikan tata kelautan dalam Standard Internasional ke dalam tata hukum dan tata ketatanegaraan kita.
Sampai saat ini kita belum membentuk “Sea and Coast Guard”. Padahal ini adalah persyaratan Internasional agar bisa diakui bahwa kita bisa mengamankan laut kita. Secara internasional kita tidak boleh mengamankan laut kita dengan Polisi Laut atau Angkatan Laut. Apa sih sulitnya membentuk “Sea and Coast Guard”? Apakah ini menyinggung kepen tingan rejeki satu golongan? Tetapi kalau ada jiwa patriotik yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, bukankah tak kurang akal untuk mencari “win-win solution”?
Dalam soal perbatasan di laut kita telah melengahkan pemetaan, pendirian mercusuar, dan mengumumkan claim yang jelas dan rasional mengenai batas-batas wilayah negara kita, terutama yang menyangkut wilayah di laut.
Sudah saatnya pula lembaga intelijen kita mempunyai direktorat maritim. Sudah saatnya wawasan ketatanegaraan kita, di segenap bidang, mencakup pengertian “Tanah Air” dan tidak sekedar “Tanah” saja.
Pelabuhan-pelabuhan pun harus segera ditata sebagai negara pelabuhan yang dipimpin oleh syahbandar yang berijazah internasional. Sedangkan pelaksanaan pengelolaannya boleh dilakukan oleh perusahaan yang disyahkan oleh Syahbandar. Kemudian harus segera dicatatkan di PBB dan Unclos. Tanpa itu, maka negara kita, sampai saat ini, tidak diakui punya pelabuhan, melainkan hanya diakui punya terminal-terminal belaka.
Sampai sekarang kegiatan Departemen Kelautan hanya mengurusi hasil lautan saja, tetapi lengah dalam mengurusi kedaulatan negara kita di laut. Perlu dicatat bahwa pembentukan Negara Nusantara itu untuk pertama kalinya di claim oleh Baron van der Capellen pada tahun 1821 dengan nama Hindia Belanda dan sifat kedaulatannya adalah negara maritim. Jadi van der Capellen tidak mengandalkan kepada kekuatan serdadu untuk pesatukan Nusantara, melainkan alat politik untuk persatuan itu adalah hukum dan ketatanegaraan maritim!
Kemudian ketika harus berantisipasi menghadapi pecahnya Perang Dunia ke Dua, Pemerintah Hindia Belanda tidak lengah, segera pula tahun 1939 menerbitkan Ordonansi Tentang Batas Wilayah Maritim Pemerintah Hindia Belanda.
Kita sebagai bangsa harus besyukur kepada Perdana Menteri Juanda dan Menteri Luar Negeri Mochtar Kusuma Atmadja yang dengan gigih telah memperjuangkan kedaulatan maritim kita di dunia Intrnasional sehingga diakui oleh Unclos dan PBB. Tetapi kita harus tanpa lengah sekejap pun meneruskan perjuangan itu sehingga ada implementasi pengakuan dunia international menjadi buah kedaulatan nyata.
Tetapi, sayang, hal-hal semacam ini, soal “sea and coast guard” dan segala macamnya lagi yang saya sebut di atas, tidak muncul dalam “Rencana Undang-undang Pembangunan Jangka Panjang Nasional” yang kini lagi menjadi pe-ernya para anggota DPR yang baru saja dinaikkan gajinya itu.
Perlu disayangkan pula bahwa usaha untuk mendirikan Universitas Maritim yang bisa memberikan ijazah internasional untuk syahbandar dan nakhoda belum juga mendapatkan izin dari Departemen Pendidikan Nasional. Saya menganggap sikap pemerintah seperti itu adalah sikap yang tidak patriotik dan tidak peka pada urgensi untuk menegakkan kedaulatan bangsa dan negara di lautan.
Ketatanegaraan kita yang sableng juga menyebabkan pemerintah kita dari sejak Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi melengahkan pembangunan perdagangan dalam negeri yang berlandaskan usaha kecil menengah.
Bahwa pemerintah Kolonial Belanda tidak mengindahkan perdagangan dalam negeri, tidak pula mengembangkan kemampuan yang dahsyat dari Usaha Kecil Menengah, itu bisa dimengerti karena mereka memang punya agenda penjajahan. Oleh karena itu pula Pemerintah Hindia Belanda menciptakan industrialisasi dengan landasan modal asing. Sedangkan bahan baku dan mesin alat berproduksi diimpor. Yang semuanya itu dijamin oleh Ordonansi Pajak tahun 1925, dibebaskan dari pajak. Bahkan diberlakukan pula aturan devisa terbuka, agar keuntungan-keuntungan dan semua hasil jarahan ekonomi bisa dilarikan ke luar negeri.
Anehnya Undang-undang Penanaman Modal Asing tahun 1967, dan disegarkan pada tahun 1970, memuat hal yang sama dengan Ordonansi Pajak 1925. Yang semuanya itu merupakan kembang gula bagi modal asing.
Lebih jauh lagi Orde Baru lebih percaya pada kemampuan berhutang pada Lembaga Donor Asing daripada membangun kerkuatan modal dalam negeri. Sudah jelas merupakan kesalahan besar membangun ekonomi makro tanpa membangun ekonomi mikro. Teori “tricle down effect” itu tipu daya belaka. Nyatanya alam menjadi rusak. Utang bermilyar-milyar dolar yang semuanya harus ditanggung rakyat.
Para elite politik lupa bahwa sejak abad 8 perdagangan antar pulau dan antar desa sudah berkembang dengan jayanya di Nusantara. Bahkan perdagangan itulah yang menjadi tali persatuan Nusantara, bukan serdadu atau pemusatan kekuasaan. Perdagangan itu yang mendorong rasa berbangsa dan menjelmakan bahasa persatuan dengan huruf yang sama dan kalender yang sama. Bahkan mampu mendorong tatanan hidup bermasyarakat yang multikultur di kota-kota pelabuhan dan kota-kota besar di pedalaman.
Tentu saja para penjajah tidak alpa menindas kehidupan perdagangan antar daerah, antar suku, antas desa itu, demi kepentingan hak monopoli perdagangan mereka. Tetapi setelah kita merdeka, seharusnya kita tidak terlambat untuk memulihkan daulat perdagangan rakyat antar daerah, antar pulau, dan antar desa. Bukannya mengejar pembangunan khayalan yang bertumpu pada modal asing dan ekonomi makro semata.
Modal asing yang masuk pun tidak pernah menjamah pembangunan infrastruktur ekonomi untuk perdagangan antar daerah dan antar desa. Modal asing rata-rata hanya menggarap potensi bangsa kita sebagai pasar.
Apakah kesalahan pembangunan Orde Baru ini akan diterus-teruskan lagi oleh Orde Reformasi tanpa ada jeranya?
Menurut data terakhir dari Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, jumlah Usaha Kecil Menengah sekarang sudah mendekati 45 juta dan menampung tenaga kerja hampir 85 juta orang. Kontribusi mereka pada GNP 62% yang sama dengan 1200 triliyun rupiah.
Apakah ini bukan kemampuan nyata yang harus diperhatikan di dalam program pembangunan?
Akibat dari agenda Pembangunan Pemerintah yang penuh khayalan tapi kurang berdasar pada kenyataan itu, negara kita semakin terlilit hutang dan kepentingan rakyat maikn jauh ditinggalkan.
Kesalahan visi pembangunan Orde Baru yang dasar adalah merancangkan masa depan dalam jangka panjang tanpa pengetahuan akan portofolio masa lalu yang rasional dan tanpa pengetahuan portofolio masa kini yang rasional pula. Rupa-rupanya hal itu akan diulang lagi oleh Pemerintah Susilo Bambang Yudoyono dalam menyusun “Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional”. Memang ada makhluk yang suka membenturkan kepalanya ke tembok dua kali. Bah!
Aduh, aduh, cantiknya Si Janda Kembang
Sedap menyanyi “Si Jaloi-Jali”.
Hujan emas di rantau orang.
Hujan babu di negeri sendiri
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh.
[1] Judul Pidato Kebudayaan Rendra dibuat penyusun berdasarkan isi
[2] Dilaksanakan pada 10 November 2005 di Teater Studio, Taman Ismail Marzuki, Jakarta dan disalin oleh Sekretariat Akademi Jakarta pada tanggal 28 Desember 2017