Menelisik Jejak Musik Tradisi Sumatera
Teks dan Foto oleh Christian Heru Cahyo Saputro
Asal usul dan perkembangan musik tradisional Sumatera belum bisa tergambar secara jelas. Sebab ada benang merah sejarah yang terputus selama lebih kurang delapan abad. Ini perlu diungkap.
Dari sejarahnya secara umum fungsi musik memang ditujukan untuk keperluan keagamaan (religi), kepentingan sosial, dan sebagai hiburan. Para pendakwah agama di Sumatera pada umumnya memanfaatkan musik sebagai media dakwah. Misalnya, para pendakwah Islam yang masuk wilayah ini, mereka memperkenalkan musik gambus.
Dalam perjalanannya setiap adat budaya suatu suku bangsa mengalami proses akulturasi yang selanjutnya menjadi alat pemersatu. Seni budaya (kesenian) pada umumnya berangkat dari nilai-nilai nurani yang memiliki nilai-nilai filosofi luhur. Demikian juga dengan perkembangan musik di wilayah Sumatera.
[iklan]
Menurut Curt Sachs perkembangan musik tradisional, seperti melalui proses evolusi dan tentu saja, perkembangan itu sangat dipengaruhi situasi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat pada saat itu.
Meskipun demikian, dapat diciri musik tradisional Sumatera dari Nanggroe Aceh Darusallam (NAD) sampai ke Lampung tumbuh sejak zaman animisme dan lebih menonjol di zaman penyebaran agama Islam.
Menurut para ahli, perkembangan musik tradisional Sumatera berjalan seiring dengan cerita rakyat (folklor) lisan. Dimulai dengan pemberian semacam notasi pada syair-syair cerita untuk dijadikan lagu yang selanjutnya diiringi dengan tetabuhan. Instrumen musik juga digunakan sebagai ungkapan komunikasi personal , mengiringi kegiatan adat dan upacara ritual keagamaan.
Pada era berikutnya, dipakai sebagai sarana hiburan, dan fungsi sosial musik yang paling jelas kentara adalah pada pengiring lagu yang pengungkapannya mengacu pada notasi dan ritme. Isi nyanyian pun bisa bersifat mendidik, sindiran, pujian dan ungkapan yang menyatukan emosi individu dan kelompok.
Musik Religi
Secara umum fungsi musik memang ditujukan untuk keperluan keagamaan (religi), kepentingan sosial, dan sebagai hiburan. Para pendakwah agama di Sumatera pada umumnya memanfaatkan musik sebagai media dakwah. Misalnya, para pendakwah Islam yang masuk wilayah ini, mereka memperkenalkan musik gambus.
Pada masa itu, gambus diamainkan untuk mengiringi sayair-syair berbahasa daerah di Sumatera yang dipadu dengan sayair berbahasa arab. Kreasi perpaduan instrumen dan syair pun menjadi indentitas musik Sumatera yang lebih didominasi keislaman. Tak heran jika dari berbagai jenis lat musik tersebut, ada kesamaan bentuk dan fungsi dari setiap daerah.
Misalnya, alat musik rebana, yang dikenal sebagai pengiring syair-syair Barzanji dan upacara-upacara Islam, dimiliki hampir disetiap daerah di Sumatera. Tentu dengan nama yang berbeda-beda. Dari aceh ada alat musik sejenis rebana yang diberi nama rapa daboih, rapai geurimpheng, papai pase, geundrang dan repana.
Rabai geurimpheng dan rapai pase merupkan alat musik yang dipergunakan sebagai pengiring pada kesenian yang menampilkan sejumlah pembawa syair (radat/temarok) yang melantunkan syair-syair agama berisi nasehat. Untuk rapai geurimpheng biasanya dimainkan dengan jumlah pemain 10 -20 orang, sementara pemain rapai pase lebih banyak lagi, biasanya 60 orang.
Di Sumatera Barat, jenis alat musik membranafon yang sering dipergunakan untuk mengiringi lagu-lagu dan upacara keagamaan natara tasa (pengiring tambur pada tabot) dan indang atau rapai (musik pengiring tari dari syair berisi nasehat agama).
Dari Riau ada marwas untuk iringan tari zapin dan dari Bengkulu ada rebana, tasa, dan dol (untuk pengiring tabot). Sementara dari Sumatera Selatan ada terbangan, rebana, gendang burdah yang semuanya untuk iringan kesenian bernafaskan Islam. Begitu juga dari Lampung dikenal terbangan, berdah, rebana dan gindang.
Pada alat musik aerofon dan kardofon, juga terdapat sejumlah kesamaan antardaerah di Sumatera. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi akulturasi dan pergesekan antarbudaya pada suku bangsa dipulau ini. Misalnya, alat musik akrordion, gambus, biola, kecapi, hampir semua derah di Sumatera memilikinya, meski dengan nama dan fungsi beragam.
Pada alat musik jenis idiopon kesamaan antar daerah juga terlihat. Barangkali perbedaannya hanya pada nama dan cara pukulan. Misalnya, jenis boning, di Aceh ada yang bernama canang situ di Sumatera Barat dinamakan talempong pacik, di Bengkulu disebut kulintang, di Sumatera Selatan disebut kenong dan di Lampung dinamakan talo.
Musik Ritual
Sementara jenis alat musik yang sejak masa animis dipakai dalam upacara-upacara adat juga terlihat diberbagai daerah. Dari Aceh ada rapai daboih, sejenis gendang yang dipergunakan untuk menampilkan atraksi berbagaai mistik semacam debus di Banten. Dari Sumatera Utara ada fondrahi juga sejenis gendang yang dipakai dalam upacara religi penyembuhan penyakit.
Suku Mentawai (Sumatera Barat) memiliki sejenis alat musik gendang yang disebut kateuba yang dipergunakan untuk mengiringi upacara-upacara adat. Aslinya alat musik ini terbuat dari batang aren yang dilubangi dan bagian atasnya ditutup dengan kulit biawak atau kulit ular. Suku Talang Mamak (Riau) memakai alat bernama ketabong untuk menggelar acara bakumantan yaitu upacara menggelar roh-roh jahat.
Memang masih perlu ada penelitian lebih lanjut untuk mengetahui asal-usul serta perkembangan musik tradisional Sumatera. Keterputusan sejarah yang cukup lama, sejak abad keempat sampai ke-12 Masehi masih menyimpan misteri. Siapa yang tertantang untuk menguak kotak pandora dan menyambung buhul sejarah musik Sumatera yang terputus? Tentu, ini menjadi pekerjaan rumah kita semua.
Christian Heru Cahyo Saputro, penghayat kearifan lokal dan peneliti Folklor pada Sekelek Institute Publishing House, tinggal di Lampung.