Secangkir kopi terletak di samping meja. Ke dua tangan di lipatkan di depan dada. Mata memandang kesana kemari melihat orang berlalu lalang dengan punggung membawa beban. Ia tersenyum dengan lebar. Usaha yang dilakukan tidak sia-sia. Kini beberapa usaha yang dibangun berkembang dengan pesat. Ia bungkam mulut-mulut tak bertulang. Kini ia buktikan rasa sakit yang dirasa dengan usaha-usaha yang dimiliki. Toko sembako berdiri dengan kokoh di pinggir jalan. Bungkusan bergantung di dalamnya, berkilo-kilo beras datang dari pemasok untuk ia jual.

“Angkat yang benar!” bentak juragan Marsin marah.

“Baik ju-juragan,” sahut kuli takut.

“Kalian dengarkan perkataanku, jika di antara kalian membuat ke salahan sedikit pun. Siap-siap angkat kaki dari sini, jangan harap ada uang pesangon. Ngerti kalian!” juragan berkata lantang penuh ancaman.

“Baik juragan,” jawab para kuli.

Para kuli pun hanya dapat mengiyakan saja. Mereka sudah tahu watak yang dimiliki juragannya. Orang kaya baru sombong. Yaaa… Juragan memang orang kaya baru di sini. Ia dulu hanya seorang pria miskin yang diremehkan orang.

Juragan Marsin melanjutkan memperhatikan para kuli. Tiba-tiba sang tetangga Warsis datang dengan tampang yang penuh keluh dan harap. Ia berjalan dengan tergopoh-gopoh menghampiri Juragan Marsin.

“Ada apa kau datang kemari Warsis?” tanya Juragan angkuh.

“Marsin tolonglah, aku butuh uang untuk menebus obat anakku?” ucapnya seraya memohon.

Juragan tersenyum mengejek Warsis. Ia tak akan melupakan kejadian-kejadian masa lalu yang terjadi padanya. Juragan masih sakit hati terhadap Warsis. Ia salah satu orang yang tidak memperdulikan dan tidak mau menolong dirinya ketika miskin. Ucapan keji sering Warsis lontarkan dari mulutnya. Kini ia akan bungkam mulutnya itu.

Dulu ia hanya seorang laki-laki miskin yang bekerja serabutan. Setiap pagi Marsin harus mencari sesuap nasi untuk makan. Ia harus bekerja sana-sini, apa pun ia kerjakan. Hinaan dari para tetangganya ia terima setiap hari. Orang-orang itu menganggap remeh Marsin yan miskin itu. Suatu hari, ia membutuhkan pertolongan untuk berobat istrinya. Lalu ia pergi ke rumah Warsis. Tetangga kaya raya pemilik mulut tanpa tulang. Ia selalu menghina dirinya.

Assalamualikum, Warsis,” ucap Marsin sopan. Ia mengetuk pintu mewah di depannya.

Waalaikumsalam,” jawab seorang laki-laki berteriak.

Pintu terbuka menampakan seorang pria dengan muka yang angkuh. Ia menatap lawan bicaranya dari atas sampai bawah.

Kemudian, Warsis bertanya lagi, “Ada apa kau kemari orang miskin?”

“Aku ingin meminjam uang kepadamu, aku membutuhkan uang untuk biaya operasi Ibuku yang sedang sakit,” jawab Marsin

“Berapa uang yang kau butuhkan?” tanya Warsis.

“200 juta saja, aku janji aku akan mengembalikan secepatnya kepadamu,” ucapnya berjanji.

“Hahaha… aku tidak yakin kau bisa mengembalikan uang itu. pekerjaanmu aja tidak jelas,” jawabnya meremehkan.

Marsin sakit hati terhadap perkataannya. Tapi ia sangat membutuhkan uang untuk ibunya yang sedang sekarat. Marsin menjatuhkan harga dirinya di depan Warsisi dengan bersujud di kakinya. Ia memohon agar dipinjamkan uangnya.

“Aku mohon kepadamu Warsis…”

“Tidak, aku tidak akan meminjamkan uang sepeser pun kepadamu. Aku takut kau tak bisa mengembalikannya. Kau pinjam ke orang lain saja sana, jangan kepadaku!” jawabnya dengan tegas.

Marsin pergi dengan hati yang terluka dan ia tidak bisa menyelamatkan ibunya. Ibunya tidak tertolong karena ia tidak memperoleh uang untuk operasi. Ia sangat terpukul, ia akan berjanji dan berusaha untuk menjadi orang sukses.

“Peduli apa aku padamu. Bukankan dulu kau sering menghinakan miskin dan tak layak hidup. Kau bahkan tak mau menolongku saat aku kesusahan. Bahkan sampai aku menjatuhkan harga diriku, kau tetap tidak menolongku. Sekarang, apakah aku harus menolongmu setelah apa yang kau perbuat padaku Warsis sang pemilik mulut tanpa tulang. Karenamu ibuku meninggal!” jawab Marsin emosi.

Marsin meluapkan emosinya setelah sekian lama ia pendam. Ia terlalu membenci oarang-orang yang dulu menyakitinya. Ia akan membalas orang-orang itu, mereka harus merasakan apa yang dulu ia rasakan. Hati dan fisiknya mereka sakiti. Sungguh terlalu dalam luka yang mereka torehkan.

“Marsin, ku mohon tolonglah, aku sangat membutuhkan pertolonganmu. Aku sangat memohon ampun padamu. Mohon maaf dengan apa yang telah aku perbuat padamu dulu,” Warsis berucap dengan penuh penyesalan.

“Dimana harta yang kau bangga-banggakan dulu itu. sudah habis kau gunakan untuk judi. Hah!” tanya Marsin mengejek.

Warsis sungguh menyesal dengan apa yang dilakukan pada Marsin. Ia sadar dengan apa yang dilakukannya memang sungguh sangat menyakitkan. Harta dimilikinya memang telah habis ia gunakan untuk judi dan foya-foya. Warsis sekarang sangat membutuhkan uang untuk kesembuhan anaknya. Ia tidak tahu harus meminjam ke siapa lagi, kalau bukan ke Marsin yang kaya raya itu.

“Tolonglah aku Marsin,” ucapnya dengan memohon.

“Tidak, kau harus merasakan apa yang aku rasakan,” jawab Marsin.

“Kau bukan Marsin yang dulu, kau sudah berubah semenjak kaya. Kau pendendam terhadap ku. Padahal aku sudah meminta maaf dan menyesali semua perbuatanku,” tatapan kecewa Warsis lontarkan.

“Terserah aku, harta milikku, diri diriku. Apa hakmu mengatur hidupku. Enyah dari hadapanku sekarang!” Marsin mengusir Warsis dari rumahnya tanpa memberikan bantuan, ia masih belum memaafkan Warsis.

Warsis masih berdiam diri. Tiba-tiba ia berkata, “Marsin, ingatlah harta yang kau miliki tidak akan di bawa mati, masih ada hak-hak orang lain terhadap hartamu. Ingat pula dendam tidak akan membuatmu bahagia. Justru membalas dendam merupakan perbuatan bodoh karena membenamkan kebencian dalam jiwa dan hartanya. Kau bisa melihat diriku ini yang sudah kehilangan semuanya. Aku telah diberikan karma oleh Tuhan atas apa yang aku perbuat pada dirimu.” Lalu Warsis pergi berpamitan dengan Marsin.

Marsin tidak menggubris ucapan Warsis. Ia beranjak masuk ke rumah megahnya itu. Namun, baru saja bokongnya menempel di kursi. Tiba-tiba ada suara ketukan pintu yang tidak sabaran. Marsin beranjak membukakan pitu. Berdirilah seorang pegawainya dengan napas yang tidak beraturan.

“Juragan… juragan, gawat juragan!” ucap pegawai tersengal-sengal.

“Apa?” tanyanya ketus

“Itu juragan… ruko juragan di lalap si jago merah!” jawab sang pegawai.

Juragan Marsin tanpa sepatah kata pun beranjak menuju rukonya. Dari jauh ia melihat kumpulan asap yang cukup tebal. Sampainya ia di sana, ruko miliknya telah ludes terlalap api. Tak ada satu pun yang tersiksa.

Semenjak rukonya ludes terbakar si jago merah. Marsin merenungi kata-kata yang diucapkan Warsis tempo lalu. Marsin berpikir apa ia keterlaluan dengan sikapnya itu terhadap Warsis dan orang yang telah disakitinya. Setelah beberapa merenung, dia sadar apa yang dilakukannya salah. Dendam yang ia lakukan justru membuat dirinya sengsara dan harta yang dimilikinya pun sirna seketika. Lalu ia beranjak pergi, ke rumah Warsis untuk meminta maaf kepadanya.

“Warsis tolong maafkan aku, aku sudah sadar dengan apa yang aku lakukan,” ujarnya dengan perasaan bersalah.

“Aku sudah memaafkanmu Marsin. Aku juga minta maaf dengan apa yang ku lakukan padamu dulu.”

Warsis melangkah memeluk Marsin.

 

Ulil Alfa, lahir di Banyumas 28 Maret 2001. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

 

 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *