Puisi bisa saja tercipta karena rasa simpatik terhadap suatu peristiwa, atau pengungkapan perasaan pada sesuatu yang menyentuh hati di sekitar penulisnya. Oleh karena itu, puisi juga sering disebut bahasa rasa. Akan tetapi, mengungkapkan rasa pada puisi pun tidak instan atau spontan, perlu kiranya dibutuhkan perenungan agar kalimat yang ditulis dapat mewakili wilayah perasaan khalayak umum. Selamat membaca. (redaksi).

Puisi Vita Tri Utami
Kursi dan Hujan

Kursi yang kosong
Dan hujan tertahan di atas sana
Sedangkan deras menghujani bilik bilik hatiku
Semua nampak hitam dan putih
Sedang penaku tak siap tuk bercerita

Hari itu hari yang paling hening untuk diriku
Semesta sedang memberiku sebuah petuah
Tentang alur kehidupan ini

Yang muda akan menua, yang hidup akan mati
Pertemuan berakhir dengan perpisahan
Sang tuan berpasangan dengan sang puan

Hari itu
Yang kulakukan hanya diam
Memandang dengan sudut pandang yang kosong
Seisi hatiku luluh lantak, tak berdaya
Diamku, dalam benakku
Menciptakan tayangan massal
Melompat jauh ke belakang waktu silam
Lembaran memori yang terus aku buka

Hari itu, Aku masih tak percaya
Aku harus kehilangan sosok sederhanaku, tuk selamanya
Aku menangis dalam balutan hujan

2021

Vita Tri Utami, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Puisi Fitriana Hardianti
Hujan Kemarin

Seorang diri di kesunyian malam
Ku kira kau akan bahagia malam ini
Tak akan ada lagi air yang menetes deras seperti kemarin
Tapi,
Lagi-lagi air itu mengguyur basah paras cantikmu
Bangkit,
Wajahmu itu bukan seperti tanaman
yang terus disiram akan menjadi subur
Bangkit,
Jangan biarkan paras cantikmu itu layu
Bagaikan mawar yang tak disirami

Biarlah hujan di luar sana yang mengguyur deras
Menyirami bunyi dan seisinya
Membuat bahagia anak-anak setiap tetesannya
Membuat petani bersyukur atas setiap rintikannya
Cobalah ingat kembali hembusan angin pada hujan kemarin
Tenang,
Membuat hati tenang
Tidak seperti hujan yang turun dari wajahmu

Jangan pernah ciptakan hujan karena kesedihan
Karena setiap airnya yang menetes
Tidak akan membuat ratusan bahkan ribuan orang tersenyum akan kehadirannya

Fitriana Hardianti, lahir di Purwokerto 31 Desember 2000. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Puisi Atek Muslik Hati
Kau Jemput Surgamu

Wajahmu teduh menenangkan
Menatap penuh harapan
Di bening dua netra indahmu
Tersimpan beribu kasih ibu

Saat deru semeru menggerus kalbu
Lahar panas mengalir keseluruh penjuru
Dadamu pun bergemuruh dalam bisu
Antara berlari atau menunggu ibu?

Semua berlari menjauhi semeru
Kau diam termangu menunggu keajaiban itu
Sambil memeluk sang ibu pilu
Jantungmu pun bertalu talu

“Larilah nduk, tinggalkan ibu
Ibu sudah tua, tak apa-apa di sini
Terkubur bersama hewan dan tumbuhan
Selamatkan dirimu, bersama yang lain.”

Mbok… Tubuhku bisa lari, tapi tidak dengan hatiku.
Karena malaikat tanpa sayapku di sini.
Mengapa harus lari, jika Surgaku begitu dekat?”

Byuuuur… gedebur…
Lahar panas menghantam
Segala yang bernyawa pun tidaknya.
Menghempas mematikan, hingga ajal pun tak terelakkan.
Dengan doa dan airmata. Berharap ada keajaiban…

Mereka berpelukan, ibu dan anak syahidah
dalam lumpur genangan juga kenangan
Kan jadi cerita sepanjang masa
Hingga dunia menutup cerita kelak!

Selamat jalan Uwais Al Qarni masa kini
Doa kami menyertai kepergianmu
Meski tak pernah mengenalmu
Namamu harum keseluruh negeri

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Sebuah karya Puisi itu akan menjadi yang sesungguhnya tergantung pengkaryanya.
    Kedalaman pilihan diksi dan pengolahan intuisi yang berkualitas niscaya sang Puisi akan menemui jatidiri sebagai Puisi yang sesungguhnya, bukan sekedar corat- coret apa yang dirasakan.
    Dengan kepiwaian sang penyair akan lahir Puisi yang mempunyai “ruh” dan bernas.

    Salam literasi

  • Terimakasih mas Pri Gurita. Mencoba untuk menjadi lebih baik… Dan terus berkarya. Agar tak hanya berupa coretan2 tak penting saja