Jika membaca nama Sapardi Djoko Damono, seringkalinya terbersit sosok luar biasa lengkap, jika pun tidak boleh dibilang sempurna di bidang sastra Indonesia untuk lelaki kelahiran Solo pada tahun 1940 tepatnya di tanggal 20 Maret. Betapa tidak, menurut laman Ensiklopedia Sastra Indonesia bahwa Sapardi Djoko Damono adalah: sastrawan, penyair, pakar sastra, dosen di Universitas Indonesia sampai pensiun sebagai Guru Besar, pernah menjadi dosen di IKIP Malang Cabang – Madiun, dan sosen di Universitas Diponegoro – Semarang [1].
Disamping itu juga pernah menjadi Direktur Pelaksana “Yayasan Indonesia” Jakarta (1973—1980), redaksi majalah sastra Horison (tahun 1973), sebagai Sekretaris Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin (sejak 1975, dan pendiri organisasi Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI).
Beberapa buku kumpulan puisi Sapardi adalah: Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-Ayat Api (2000), Mata Jendela (2000), dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro (2003), dan Kolam (2009).
Adapun puisi yang berhasil menarik minat untuk dinikmati oleh Penulis sebagai penikmat puisi adalah berjudul /Aku Ingin/. Dari mesin pencari di internet diperoleh teks puisi tersebut seperti di bawah ini [2].
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
MENIKMATI PUISI /AKU INGIN/
Sebagai langkah awal, dan untuk memudahkan gelaran penikmatan, Pada bait dan baris puisi /Aku Ingin/ diberi nomor urut menjadi seperti di bawah ini,
Aku Ingin
1/
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana (1)
dengan kata yang tak sempat diucapkan (2)
kayu kepada api yang menjadikannya abu (3)
2/
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana (1)
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan (2)
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada (3)
Dari bait 1/, baris ke (1) terdapat dua tokoh lirik yang ditulis, yaitu tokoh /Aku/ lirik, dan /mu/ lirik dalam sajak /Aku ingin mencintaimu/. Siapakah keduanya, dan bagaimana hubungan keterkaitan mereka? Sepertinya tidak ada isyarat makna yang pasti, baik di bait 1/, atau pun di bait 2//. Dengan adanya potensi ketidak pastian isyarat ini, akan terkesan bahwa Sang Penyair sengaja memberikan keleluasaan tafsir bagi pembaca puisi.
Memang adakalanya pembaca puisi bisa berlaku sebagai penafsir yang mempunyai keleluasaan pikir tentang puisi. Sehingga memungkinkan muncul beragam interpretasi atas teks di lirik lirik puisi, dan bukan hanya bertindak sebagai petunjuk jalan tentang apa maunya Sang Penyair [3]. Oleh karena itu bisa jadi tokoh /Aku/ lirik, dan /mu/ lirik di bait 1/, baris ke (1) tersebut sama sekali tidak mewakili diri pribadi Sang Penyair, atau justru merupakan fenomena rasa keterhubungan cinta anak manusia yang berhasil dipotret, dan diabadikan kisahnya dalam rupa puisi oleh Sang Penyair. Memang Puisi /Aku Ingin/ ini, bisa memiliki makna tentang konsep cinta abadi, cinta sederhana, dan cinta yang tidak mengharapkan balasan apa pun [4].
Namun demikian jika ditelaah lanjut, sebenarnya tokoh /Aku/ lirik ini juga berharap akan mendapatkan wujud dari keinginannya, yaitu /mencintaimu dengan sederhana/.
Kalimat sajak ini sampai diulang dua kali, yaitu: satu kali di bait 1/, dan satu lagi di bait 2/. Pengertian dari kata /ingin/ menurut KBBI adalah setara dengan kata: hendak, mau, dan berhasrat [5]. Tiga kata ini sebenarnya memiliki kesan bahwa tokoh /Aku/ lirik hampir tidak memiliki ikatan konsekwensi atas isi baris puisi, terutama terhadap: ruang, dan atau waktu;
yaitu tidak disampaikan di puisi, di ruang manakah di dunia ini bahwa keinginan tokoh /Aku/ lirik akan terwujud, dan di waktu kapan kah keinginan tersebut bisa tersampaikan secara nyata.
Oleh karena itu bisa terasa seolah olah bahwa sajak di bait 1/, baris (1) yakni /Aku ingin mencintaimu dengan sederhana (1)/ dapat diduga merupakan ungkapan dari keinginan tokoh /Aku/ lirik, yakni hanya keinginan saja: Kesampaian syukur, tidak kesampaian pun juga tidak apa apa. Berbeda lagi jika seandainya disampaikan dengan berbatas pada ruang dan atau waktu tertentu. Pengandaian ini ternyata tidak tertulis di dalam lirik puisi, mungkin Sang tokoh /Aku/ lirik seakan sadar bahwa lirik /mencintaimu dengan sederhana/, jika dilakukan dalam dunia nyata, memang tidak mudah, bahkan cenderung terasa berat.
Sebab pengertian untuk mendapatkan sifat /sederhana/ bukanlah keluaran yang tiba tiba terjadi, tetapi perlu proses panjang, dan berliku.
Sederhana itu sendiri merupakan sifat keluaran dari rentetan giat yang berurutan, mulai dari pola pikir di pikiran, lalu timbul niat, melahirkan sikap, terus ke fisik tindakan, kemudian berujung pada kebiasaan, termasuk dalam hal keinginan Sang tokoh /Aku/ lirik. Adapun keinginan tersebut adalah /mencintaimu dengan sederhana/, akankah bisa menjadi kebiasaan, ketika terkait dengan ranah /mencintaimu/? Rasa rasanya sulit bisa dijawab dengan pasti, sebab baru sebatas keinginan saja, yang bisa diduga bahwa keinginan tokoh /Aku/ lirik belum meningkat menjadi hasrat yang sangat kuat.
Dugaan belum adanya hasrat yang sangat kuat menjadi semacam cita cita untuk /mencintaimu dengan sederhana/ ini, terjawab ketika pembaca sudah sampai merasakan aura sajak di bait 1/ baris (2), dan (3). Kedua baris ini memberikan penjelasan kesebandingan bahwa makna /sederhana/ tersebut dimetaforakan di bait 1/ baris (2), dan (3). Kedua baris ini, untuk keperluan pendalaman makna puisi bisa dituliskan menjadi: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Dari gaya penulisan pendalaman makna tersebut berpotensi melahirkan konsekwensi logis, bahwa kemungkinan besar antara: Kayu, Api, dan Abu mempunyai gaya komunikasi masing masing; dan tidak harus berupa kata seperti pemahaman manusia.
Komunikasinya bisa melalui isyarat hukum alam, semisal adanya fenomena teori segitiga api. Teori segitiga api menyatakan bahwa Api akan terjadi jika tiga unsur bertemu bersamaan di satu titik. Ketiga unsur tersebut adalah Bahan bakar yang mudah terbakar, Oksigen udara bebas, dan Panas [6]. Tentu kayu sebagai bahan bakar akan menimbulkan api, jika kayu tersebut bertemu dengan panas, dan oksigen.
Bisa dipahami sekiranya sebatang kayu berada di udara bebas yang mengandung Oksigen, kemudian terkena panas dari sumber panas tertentu, semisal terik matahari, atau pun korek api. Tepat pada waktunya Api pun akan menyala, dan terbakar. Jika pembakaran berlarut sampai temperatur panas lanjut, kayu pun akan menjadi arang, dan bahkan menjadi Abu.
Sepertinya sudah bisa dimaklumi bahwa secara hukum alam antara Kayu, Api, dan Abu telah berkomunikasi dengan isyaratnya masing masing. Seolah mereka sudah saling memaklumi, bahwa jika kayu terbakar, dan akan menjadi Abu, maka antara Kayu dan Api bukannya tidak sempat berkata kata, tetapi justru mereka saling memberikan isyarat hukum alam. Isyarat ini sudah lebih dari sekadar kata.
Fenomena saling sanggup berbagi memberi isyarat, ketika sudah timbul Api inilah, yang mungkin dipandang masih relatif berat bagi hubungan antara tokoh /Aku/ lirik, dan tokoh /mu/ lirik, sebab di balik laku yang tampak sederhana, ternyata didahului oleh fenomena giat yang relative rumit, berliku, sampai kesederhanaannya menemukan takdirnya!
Sehingga bisa dimaklumi jika Sang Penyair lebih memilih kata ungkap /Aku ingin/, yang tidak mengandung konsekwensi apa pun, kecuali keinginan itu sendiri. Kesampaian syukur, tidak pun, tidak apa apa, dari pada memilih kata yang mengandung ikatan tertentu.
Aroma semangat keinginan tokoh /Aku/ lirik di bait 1/ diulang kembali dihadirkan di bait 2/. Pengulangan semangat tersebut hanya untuk memperkuat makna, bahwa semuanya masih sebatas keinginan, mungkin belum menjadi hasrat yang sangat kuat!
Interpretasi selanjutnya, silakan diteruskan oleh siapa saja. Silakan.
Selamat Menikmasi Puisi /Aku Ingin/.
DAFTAR PUSTAKA
- https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Sapardi_Djoko_Damono. Sapardi Djoko Damono, Ensiklopedia Sastra Indonesia – Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
- Baca artikel detikedu, “10 Puisi Sapardi Djoko Damono Paling Terkenal, Apa Saja?” https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6785445/10-puisi-sapardi-djoko-damono-paling-terkenal-apa-saja.
- Fadhil Rafi’ Uddin, 2019, Rahim Ayat, Sebagai Umat Saya Menggugat, Genta FKIP Universitas Jambi, 22 November 2019. https://genta.fkip.unja.ac.id/2019/11/22/rahim-ayat-sebagai-umat-saya-menggugat/
- Filsa Nirmawati,Teti Sobari, Dede Abdurakhman, 2021, Puisi “Aku Ingin” Sapardi Djoko Damono: Kajian dan Analisis Hermeneutika, Parole (Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), Volume 4 Nomor 2, Maret 2021
- https://kbbi.web.id/ingin
- Madschen Sia Mei Ol Siska Selvija Tambun, Agustina Hotma Uli Tumanggor, Muhammad Riduansyah, 2023, Pelatihan Penanggulangan Kebakaran Menggunakan Media Apar Dan Karung Basah, JMM (Jurnal Masyarakat Mandiri), Vol. 7, No. 1, Februari 2023, Hal. 80-91, http://journal.ummat.ac.id/index.php/jmm
Rumpin, 16 Oktober 2024
Penulis: Atik Bintoro, atau yang lebih dikenal sebagai Kek Atek
Penikmat Puisi tinggal di Rumpin, Kab. Bogor, Jawa Barat, Indonesia.
Pegiat Komunitas Dapoer Sastra Tjisaoek