BAB III

Dua Tepi Sungai Fambrep

Dewi Linggasari

Tanpa terasa waktu terus berpacu, seakan sekawanan kuda perang yang berderap mengepulkan lautan debu. Susah sungguh selama pendidikan dasar membuahkan hasil ketika akhirnya aku masuk sepuluh besar kemudian meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di tingkat SLTP, masih satu sekolah dengan Nurul, Mira, Sela, dan Ucok. Kami tak terpisahkan, kami selalu mengerjakan tugas bersama, mengikuti latihan menari bersama, serta bermain bersama. Bersahabat berarti menerima antara yang satu dengan yang lain. Libur kali ini Nurul dan Ucok pergi ke kampung mengunjungi keluarga. Aku, Mira, dan Sela dalam  kesibukan yang berbeda, setelah menyertai mama dan bapa ke bevak untuk memangur sagu dan menuai hasil alam. Hari ini kami satu kampung melebur dalam satu kegembiraan.

Kaum laki-laki dari kampung ini telah beramai-ramai mendayung perahu ke hutan dalam tata rias adat untuk menebang batang pohon, menempatkan pada halaman Jew, membentuknya sedemikian rupa hingga menjadi ci —perahu lesung. Ada empat perahu yang dikerjakan bersama-sama dalam waktu hampir dua minggu, mama-mama bergantian menghidangkan  jamuan adat, sagu bakar, ulat sagu, ikan, karaka, udang, kelapa muda. Tifa bergantian ditabuh oleh tua-tua adat yang berhak memukul alat musik ini, suaranya bergaung melambung ke batas langit, memanggil roh leluhur yang telah berpulang untuk hadir kembali pada kehidupan hari ini. Ketika tubuh perahu telah menampakkan bentuk yang sesungguhnya, api dinyalakan untuk mendatangkan asap. Asap mengeringkan seluruh tubuh perahu dan membuatnya seimbang tetap mengapung di atas permukaan air. Hari ini perahu itu telah selesai dikerjakan, dengan ukiran roh leluhur pada kepala, ekor serta dinding, ci cesaipak –hiasan perahu adalah warna merah, hitam  dan putih serta janur kuning. Warna  merah disebut juga wasa, terbuat dari tanah merah melalui proses pembakaran sedemikian rupa hingga mendapat warna yang sesuai  kehendak. Warna putih disebut bii, terbuat dari pembakaran kulit kerang –siput yang ditumbuk-halus hingga menjadi bubuk putih. Sementara warna hitam –sosok atau jak, terbuat dari pembakaran gabah pelepah sagu atau sayatan  ranting kayu tertentu sesuai tradisi setempat. Warna merah mencerminkan ungkapan sikap keberanian dan rela berkorban dalam segala hal untuk mencapai suatu tujuan. Warna hitam  berarti mengobarkan tantangan kepada pihak lain. Sebaliknya warna putih mencerminkan persahabatan, ketulusan, keihlasan, kedamain dengan pihak lain. Tiga warna dasar selalu hadir dalam riuh suasana pesta yang digelar untuk kebersamaan. Dengan tata rias tiga warna maka perahu menjadi kendaraan air yang indah dan menakjubkan, hanya yang berhak pula yang bisa mendapatkan.

[iklan]

Sesisi kampung kini berkumpul dalam pakaian adat, setiap kepala dihias bacin –bulu kus-kus yang dilengkapi pula dengan bulu burung pombo. Lengan-lengan kekar beorpit –laki-laki gagah tampak perkasa dengan hiasan gelang serta tulang kasuari. Setiap pinggang dilingkari awer –pakaian adat yang terbuat dari pucuk sagu menyerupai rumai-rumbai. Warna hitam, merah, dan putih digores secara dramatis pada permukaan wajah, kaki, dan tangan. Pesta perahu serta pesta-pesta yang lain –pemberkatan jew, pesta patung mbis, bahkan pesta setan, ketika istri-istri yang mengalami tindak kekerasan di dalam keluarga berhak menuntut balas kepada suami tanpa perlawanan. Adalah suatu kebersamaan untuk mengukuhkan setiap anggota puak sebagai bagian dari yang lain, pesta adat adalah kegembiraan. Jew merupakan rumah bersama tempat segala pesta adat diselenggarakan.

Pada masa lampau jew –atau yang biasa disebut dengan rumah bujang adalah rumah bersama bagi seisi kampung untuk berlatih perang, membuat tombak, anak panah, serta kapak. Jew terlarang bagi perempuan yang tidak berkewajiban dalam peperangan atau pengayauan. Akan tetapi zaman berubah, perang serta pengayauan tak lagi dimaklumkan, kehadiran missionaris pada 4 Februari 1954 dalam rangka menyebarkan injil serta pemerintah daerah pada sekitar tahun 1963 dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan membawa kehidupan Suku Asmat menuju hari-hari yang  lebih baik tanpa peperangan. Kini jew lebih bermanfaat sebagai rumah adat untuk membina kehidupan bersama baik laki-laki maupun perempuan, menyelenggarakan pesta adat, bahkan kunjungan-kunjungan dari Pemerintah Distrik. Hari ini jew menjadi pusat keramaian ketika seisi kampung berpesta bagi sebuah penghormatan.

Ketika suara tifa bergaung, melayang menuju biru langit, membelah udara, maka seluruh tubuh menari-nari di halaman jew. Suatu gerakan yang bersumber dari laku penghuni semesta dan alam raya, adalah gerakan ombak, kupu-kupu, kepak sayap burung atau lebah. Alam adalah sumber dari segala pikiran serta kreasi, aku ikut pula menari, menggerakkan seluruh tubuh mengikuti irama pukulan tifa. Tak jauh dari sampingku mama serta berpuluh mama yang lain, kami melambung dalam kegembiraan tiada tara. Kebersamaan dalam pesta perahu adalah kekuatan suatu puak yang tidak dimiliki puak yang lain.

“Tewerauta…. Ko pu kalung jatuh!”

Tiba-tiba terdengar suara seorang biorpit, tangannya yang kekar mengulurkan kalung dari untaian kulit bia, kiranya kalungku terjatuh.

“Terima kasih.”

Sekilas aku menatap wajah remaja itu, seorang dengan kulit kelam, rambut ikal, badan tegap seakan siaga pasukan tempur, serta tatapan mata yang dalam. Wajah itu tampil dengan senyum, wajah anak laki-laki pak guru, bernama Fransiskus, biasa dipanggil Fransis. Fransis hanya mengulurkan kalungku yang terjatuh, sekilas aku masih sempat melihat ia mencuri pandang sebelum bayangannya berkelebat menyatu dengan sekalian penari untuk bergoyang mengikuti irama pukulan tifa. Tak ada lagi kata terucap.

Ketika matahari beranjak tinggi, seluruh embun yang menggumpal pada ujung daun telah gugur kemudian menguap tanpa jejak. Tibalah saat perahu itu diberikan kepada yang berhak, ialah tua-tua adat, kepala perang atau kepala kampung. Aku melihat wajah bapa berbinar ketika dipikul beramai-ramai kemudian didudukkan ke dalam perahu. Selanjutnya tangan-tangan kekar dari seisi kampung memikul perahu itu beramai-ramai menuju ke tepi kali, sekilas bapa menatap ke arahku, tersenyum nakal kemudian melambai. Ia menikmati hari kemenangan sebagai orang terpandang di kampung ini yang layak mendapatkan penghormatan menerima perahu adat. Empat perahu yang dihias indah dengan masing-masing tua-tua adat di atasnya dipikul berurutan menjadi iring-iringan menuju ke tepi sungai. Aku, Mira, dan Sela mengikuti dari belakang, kami berjalan bergandeng tangan. Andai Ucok dan Nurul dapat hadir pula sebagai pemirsa dalam pesta kali ini, akan tetapi keduanya kini berada di ujung jauh.

Sampai di sungai perahu mengapung, bapa tetap duduk, sementara para pendayung berdiri mengerahkan tenaga hingga perahu berhias indah itu melaju dengan damai di atas permukaan air. Kami masih bergembira menikmati hari yang penuh kemuliaan hingga matahari beranjak tinggi, udara menyengat, bahkan menyebabkan kulit seakan melepuh. Aku kembali ke rumah, meninggalkan riuh rendah suasana, tiba-tiba aku ingin sendiri, berbaring di dalam bilik yang sempit.

Tidak seperti anak gadis lain yang tidak memiliki bilik, bapa membuatkanku bilik untuk tidur serta menyimpan barang-barang pribadi. Sementara gadis-gadis akan tidur bersama seluruh anggota keluarga dalam satu ruang tunggal dengan tungku api di tengah-tengah. Bila dalam satu rumah terdapat satu tungku, berarti hanya ada satu keluarga di rumah itu. Bila dalam satu rumah terdapat dua atau tiga tungku api, berarti dalam rumah itu tinggal dua atau tiga keluarga, dengan keseluruhan jumlah anggota belasan atau puluhan.

Aku hanya sesaat berbaring, karena terdengar mama sibuk bekerja di dapur, mencuci piring, membersihkan sesisi rumah kemudian mencuci pakaian kotor. Aku tak pernah tega membiarkan mama bekerja seorang diri, di hari libur ini aku membantu pula mencuci piring, menyapu lantai, membakar sagu dan ikan. Mama telah pandai pula memasak ikan kuah dengan aneka bumbu, bawang merah, bawang putih, tomat, kunyit, rica, garam, vetsin serta daun sere. Akan tetapi, rempah-rempah itu diperoleh dengan amat susah, karena harga yang mahal. Tanah rawa berlumpur tak dapat menghasilkan rempah-rempah sebagai penyedap masakan. Maka, kami lebih sering membakar ikan atau menggoreng bila mampu pula membeli minyak goreng.

“Tewerauta! Bantu mama petik ricaooo!”

Mama ada pula membuat kebun, menanam rica –lombok rawit, jeruk wangi, singkong, keladi, kelapa, dan kemangi. Kami memiliki kebun yang dirawat mama dengan baik serta kolam untuk berjaga-jaga bila hujan tidak turun. Air kolam sama coklatnya dengan air sungai, tapi cukuplah sebagai air untuk menyiram tanaman bila dalam tiga minggu hujan tidak turun, udara terbakar. Air kolam cukup sebagai penyelamat.

Aku bergegas menuruni tangga untuk memetik rica –lombok di kebun, rica itu telah  bertumbuh dengan subur, hijau, kuning, orange serta merah. Kupetik pula daun kemangi yang menebarkan bau harum. Mama hendak memasak ikan kuah dan papeda –sagu dijerang dengan air mendidih, diaduk berubah menyerupai perekat. Amat lezat dikunyah dengan ikan kuah kuning. Rupanya hari ini istimewa, karena bapa mendapatkan kehormatan pesta perahu di lingkungan kampung. Mama dapat pula menyediakan pula papeda serta ikan kuah dari api tungku. Aku membantu mama memasak ikan serta papeda, membersihkan dan memotong ikan, mengiris rempah-rempah. Ketika ikan kuah dan papeda sudah siap, bapa tampak di depan pintu, ia baru saja selesai merayakan hari kemenangan. Beberapa orang mengekor di belakang, maka ramailah rumah panggung ini dengan pesta kecil hingga seluruh papeda serta ikan kuah licin tandas tanpa sisa. Makan bersama selalu menyenangkan, ketika satu sama lain terikat benang halus kebersamaan, tak terpisahkan.

Aku membantu mama membersihkan perlengkapan makan, hingga kurasakan kemarahan kembali membakar, ketika dengan kasar Marius melempar mangkuk plastik serta sendok ke arahku yang tengah bersusah payah mencuci piring kotor.

“Cuci yang bersih!” Marius bersikap seolah-olah ia adalah seorang juragan yang  berwenang penuh memerintah tukang.

Ko cuci sendiri!” kulempar kembali mangkuk kotor itu ke arah Marius, tetapi jahanam itu telah pergi. Sejak kejadian itu aku tahu, bahwa aku tak akan dapat berdamai dengan Marius, aku tak hendak melawan atau memulai pertikaian dengan kata-kata, maka kuputuskan diam. Kuanggap ia tak pernah ada –tak pernah ada.

Keesokan harinya sebelum matahari beranjak tinggi, aku menyertai mama dan bapa mendayung perahu baru peri ke bevak. Kembali kurasakan suka cita di tengah kesunyian alam setelah hari-hari sekolah yang panjang. Suatu kebanggaan memiliki perahu baru yang dihias indah atas persembahan satu kampung. Dua tepi Sungai Fambrep selalu ramah menyambut kehadiran sekalian pendayung, hijau daun masih serupa, seakan disepuh warna emas saat sinar matahari berpijar dari langit sebelah timur. Sinar yang menghalau kabut embun, menyibak redup suasana. Suara satwa liar bersahut-sahutan membelah hening, membawa khayalan ke tempat yang sangat jauh, tempat yang tak dapat dirusak oleh kenakalan Marius atau Hengki. Sungguh suatu hal yang nyaman kedua  orang itu tak ikut serta. Seakan  menjadi anak tunggal hanya bertiga dengan orang tua, tanpa kehadiran dua orang yang terlalu sering  berbuat semaunya. Pun air sungai mericik lembut seakan nyanyian pengantar tidur, aku selalu merindukan sudut sungai ini dan akan selalu merindukan.

Kami tak berlama-lama di bevak, hanya semalam untuk memetik hasil kebun, satu noken sagu serta seonggok kayu bakar. Bapa ada pertemuan di kantor distrik, ia tak dapat lama-lama meninggalkan kampung. Kami kembali mendayung perahu yang sama menjelang senja saat matahari berubah menjadi bola raksasa merah tembaga yang terhuyung dari ketinggian angkasa bersiap menghilang di dasar samudera. Sungai Fambrep sama ramahnya dengan suasana pagi  hari, seakan aku tak hendak meninggalkan tempat yang hijau ini dan berniat menetap selamanya. Sejenak bapa dan mama menghentikan dayung, menghela napas. Tiba-tiba dari arah yang sama terdengar suara.

“Tewerauta, ada punya airkah?” Suara Francis mengejutkanku, kiranya ia baru pulang menjaring dan kehabisan air, ia berada dalam perahu berbeda bersama keluarga.

“Ada sedikit, ini….” Kuulurkan air hujan dalam botol aqua tanpa sepatah kata. Tak pernah kuperhatikan raut wajahnya.

“Terima kasih.” Fransis langsung menenggak air itu seolah ia telah puasa satu hari satu malam lamanya.

Senja makin surut menjadi temaram, sesaat akan segera berubah menjadi gelap, kami harus bergegas kembali ke rumah sebelum malam benar turun, langit hitam membentang tanpa garis tepi. Sewaktu-waktu hujan dapat pula turun, karena tiba-tiba angin berhembus kencang, hijau dedaunan seakan risau. Fransis membantuku memikul setandan pisang hingga sampai di rumah, rumah kami tak benar berjauhan. Aku tak pernah mengucap terima  kasih untuk itu, seakan tak ada celah waktu.

Bersambung … Klik Di sini

https://mbludus.com/menggambar-bintang-kisah-seorang-anak-suku-asmat-4/

Naskah ini telah diterbitkan. Baca kisah selengkapnya dengan memiliki bukunya. Silakan pesan di 089526500727 (Shiny)

buku asmat

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *