Ibadah di Jam yang Sama
Barokatus Jeh
Aku menatap jam dinding yang angkanya tepat di angka dua belas. Lantas termangu menatap jam berdenting itu. Biasanya aku akan duduk di ruang tamu, menatap foto usang yang bingkainya sudah pudar terkena air hujan. Mengamati setiap inci wajah seseorang yang kucintai. Bisa jadi kadang mata tak bisa menyembunyikan tangis paling pahit di setiap kedipannya. Aku memijit kepala sebentar dan harus segera membuat strategi untuk melaksanakan ibadah itu.
Kupandangi wajahku di depan kaca, lama. Aku tersenyum dengan seringai tajam sembari membawa alat-alat yang dibutuhkan. Sejauh ini aksiku tak pernah dicium oleh siapa pun. Mereka menganggapku orang biasa. Ya sudah itu urusan mereka.
[iklan]
Aku keluar rumah dengan mengunci pintu dan seluruh hal yang bisa menimbulkan kebahagiaan di wajah pencuri, jika memang penghuni rumah lupa untuk mengunci jendela atau bahkan pintunya. Itu tidak akan pernah terjadi di rumahku. Aku keluar rumah memakai baju hitam dan celana hitam. Baunya kecut memang, sebab belum dicuci selama seminggu. Ah itu tidak masalah, toh tidak ada orang yang mau menyapa orang miskin sepertiku. Toh kalaupun ada itu hanya pura-pura. Itu sudah menjadi makananku setiap hari. Sungguh itu tidak masalah bagiku.
Zaman milenial membuat orang punya segala hal. Misalnya handphone atau pun sepeda motor, atau pun hal remeh temeh tentang trend saat ini. Bahkan mereka berlomba-lomba memamerkan kekayaan atau bahkan sekadar mengikuti arus. Aku tidak memikirkan hal itu, tapi entah kenapa pikiran itu mampir dalam kepalaku. Aku manggut-manggut saja menatap rumah besar yang setiap pintunya di jaga ketat oleh manusia yang gagah, yaitu bodyguard tentunya. Pagarnya terbuat dari besi murni, barangkali paling mahal harganya. Lagi-lagi itu juga bukan hal penting bagi rencanaku.
Aku mempunyai teman di rumah itu. Ia seorang tukang sapu yang baiknya membuatku ingin membalas dengan segala hal. Tapi aku tak punya apa-apa. Jadi setiap malam Sabtu. Aku menunggunya di luar pagar itu.
“Maaf Mas telat.” Ia agak terburu-buru berjalan ke arahku.
“Tidak apa-apa, S.”
“Ini Mas pesanannya.”
“Terima kasih, S.”
Kamu tahu kenapa aku menemuinya malam-malam begini, karena ada cacing-cacing kelaparan yang menunggu pemiliknya untuk segera makan. Aku membuka palstik dan memakan bungkusan nasi itu di tempat. S menungguiku dengan gurat wajah lelah.
“Terima kasih, S. Aku sudah kenyang. Bolehkah aku pergi?”
“Tunggu, M.”
Aku menoleh padanya berisyarat kenapa. S hanya tersenyum dan tak bilang apa-apa.
Aku memasang penutup kepala dan melangkah cepat menuju rumah incaran. Yaitu rumah biasa dengan perabotan barangkali biasa. Jendela yang biasa, dan segala hal yang biasa. Aku mengendap-endap masuk dan mencongkel jendela dengan hati-hati. Aku lupa sesuatu bahwa aku belum niat beribadah. Aku keluar lagi dari dalam rumah itu lewat jendela. Lantas tengadah padanya dengan suara tangis yang pecah di hatiku, bahwa aku berniat beribadah dengan alasan butuh sesuatu untuk diriku sendiri. Aku masuk lagi lewat jendela dan mendapati rumah hampir kosong. Bukan tidak ada penghuninya, tetapi karena tidak ada apa-apa di sana. Kecuali televisi yang berukuran 12 inci dan radio yang sudah usang. Ruang tamu yang sederhana dan segala hal yang tidak bisa kubawa. Lantas aku hanya mengambil remot televisi yang pasti sangat berguna untukku.
Malam ini malam ke dua puluh tiga. Aku masuk ke rumah dengan hati senang. Kuamati jam yang sama yaitu jam dua belas lebih lima. Aku selalu pulang tepat waktu. Aku mengambil air minum dan langsung duduk di ruang tamu. Menatap foto usang yang selalu kucium sebelum dan sesudah beribadah. Lantas mengambil seluruh barang-barang curianku dan menghitungnya, nominalnya pas dua puluh tiga.
Barang-barang tersebut tidak laku dijual tapi manfaat buat isi rumah tanggaku. Seperti gantungan baju, air galon yang masih penuh isinya, piring, gelas, baju untuk bercocok tanam dan berbagai hal lain dan yang terakhir remot televisi. Untuk remot sendiri adalah keinginanku sejak lama untuk mempunyainya dan hanya rumah itu saja yang masih sama televisinya dengan rumahku.
Malam ini bulan purnama dan akhirnya untuk pertama kalinya lagi bisa nonton televisi. Sembari menyesap kopi. Anehnya di semua stasiun hanya menayangkan perihal itu. Lantas kuamati setiap hari, hingga suatu malam tepatnya bulan pertama puasa berdasarkan catatan televisi dan gejala-gejala itu sendiri. Tubuhku gontai dan kerongkonganku tercekat. Aku meraih apa saja sembari mendekap foto usang itu dan menatap jam yang sama. Jam yang mengingatkan tentang ibadahku dan seluruh hak yang bukan milikku. Di malam itu seluruh penyesalan bercampur aduk dalam kepalaku dan aku menggigil pilu. Kusebut Tuhanku.
Indramayu-Ponorogo, Mei-Agustus 2020
Barokatus Jeh atau biasa dipanggil Barjeh adalah nama pena. Sedang menjadi musafiroh di kota Reyog. Karyanya nangkring di Antologi cerpen dan puisi bersama. Serta tulisannya dimuat Ruangkabapesisir, Bias.puisi, Puisipedia, Purapurapenyair, ‘Travesia.co, linkkoe my id, Rembukan.com, Apajake.id, Suku Seni Riau dan Medan Pos. Barjeh aktif di grup daring COMPETER (Community Pena Terbang) dan Kelas Puisi Bekasi (KPB).
Wow
keren dek ?