Narasi dan Ilusi-ilusi Televisi:
Media dan Masa Depan Budaya Bangsa[1]

Yasraf A. Piliang[2]
 
Perkembangan televisi sebagai media tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dan kebudayaan di mana ia berada. Televisi tidak berada di dalam sebuah ruang kosong, tetapi dibangun di dalam sebuah tatanan sosial dan kebudayaan, meskipun ia dapat merubah tatanan itu. Televisi dapat bermakna positif-konstruktif atau malah negatif-destruktif dalam kaitannya dengan kebudayaan. Di satu pihak, televisi didambakan dan dipuja-puja karena melaluinya orang merasa dapat menunjukkan aktualisasi dirinya. Di pihak lain, televisi banyak dicerca karena dianggap merusak bahkan menghancurkan tatanan sosial dan kebudayaan di mana ia berada.

Televisi sering dikaitkan dengan dunia realitas yang direpresentasikannya, baik realitas sosial, politik, ekonomi, kultural dan spiritual. Televisi mempunyai tugas ‘merepresentasikan realitas’, sehingga ia mengemban sebuah tugas mulia ‘objektivitas’ dan ‘kebenaran’ (truth), dengan menampilkan realitas dan pengetahuan secara objektif melalui ‘kemasan informasi’. Akan tetapi, berkebalikan dengan itu, televisi justeru dituduh sebagai ruang manipulasi dan reduksi realitas. Televisi dituduh ‘meracuni’ generasi anak-anak, ‘menyesatkan’ generasi muda dan ‘menipu’ generasi tua. Televisi kemudian dipandang seperti sebuah bola kristal sihir yang menakutkan, yang menyihir dan memenjarakan para pemirsanya di dalam ilusi-ilusi yang dibangunnya.

[iklan]

Televisi menjelma menjadi sebuah ‘mesin ilusi’, yang siapapun yang terperangkap dalam kekuatan sihirnya, akan tunduk pada pesan, arahan, ajakan, bujuk rayu dan seduksi-seduksi yang digelarnya. ‘Ilusi’ dan ‘seduksi’ kemudian menjadi sebuah ‘paradigma’ yang tak terpisahkan dari keberadaan televisi, khususnya televisi kapitalis, sebagai cara untuk memaksimalkan keuntungan ekonomi. Seduksi atau ‘bujuk rayu’ menjadikan sebuah paradigma dan ‘retorika’ televisi, dengan menyingkirkan argumentasi ilmiah dan wacana akademik. Ilusi menjadikan ‘mantra-mantra visual’ utama televisi, sebagai cara memanipulasi realitas dan mengendalikan kesadaran publik.

Kondisi-kondisi di ataslah yang melandasi televisi sebagai sebuah ‘narasi’ dan discourse. Karena didominasi oleh kekuatan ilusi, maka alih-alih menjadi refleksi tatanan sosial dan kebudayaan, televisi malah menjadi ‘masalah sosial’ dan ‘kultural’ itu sendiri. Televisi—dalam satu dan lain cara—justru ‘mengancam’ keberadaan dan keberlanjutan tatanan sosial dan kultural yang ada. Televisi menjadi sebuah ‘ancaman’, ketika ia membangun dan menawarkan narasi-narasi yang berbeda, bertentangan atau malah berkonflik dengan narasi-narasi kultural yang ada. Ancaman ini lebih terasa ketika televisi—didorong oleh motif kapitalistik—menjadi agen budaya global, yang membawa nilai-nilai yang tak sesuai atau bahkan kontradiktif dengan tata nilai yang ada.

Televisi dan Degradasi Kultural

Pertanyaan yang kerap dikemukakan berkaitan dengan keberadaan televisi dalam konteks kebudayaan adalah: “Apakah televisi merefleksikan kebudayaan?” atau “Apakah televisi mampu mengangkat budaya bangsa?”. Akan tetapi, bagi sebagian pemikir kultural, pertanyaan macam itu dianggap tak relevan lagi, karena televisi kini telah membangun budaya sendiri, yaitu ‘budaya televisi’, yang dalam banyak hal telah ‘tercabut’ dari kebudayaan di mana ia hidup. Sebagaimana dikatakan Postman, “[P]ertanyaan (macam itu) sebagian besar telah lenyap ketika televisi secara bertahap menjadi kebudayaan kita. . .(yang menyangkut) tidak hanya karakteristik fisik dan kode-kode simboliknya tetapi kondisi yang di dalamnya kita secara normal hadir bersamanya, yang diterima sebagai kebenaran, diterima sebagai alamiah”  [1]

Bahkan, alih-alih menjadi ‘representasi kebudayaan’, kini justeru kebudayaan dan dunia kehidupan sehari-hari yang ‘digerakkan’ oleh televisi. Televisi menjadi model acuan kehidupan sehari-hari, menjadi semacam rujukan, referensi atau pedoman hidup. Sebagaimana dikatakan Commoli, bahwa kini “. . .masyarakat yang sedemikian rupa digerakkan oleh representasi. Bila mesin sosial memproduksi representasi, ia juga memproduksi dirinya sendiri dari representasi”.[2] Kehidupan sehari-hari kini ‘digerakkan’ oleh wacana-wacana yang ditawarkan oleh para motivator, edukator, ahli spiritual, ahli etos, ahli mistik, peramal, pakar cinta, pakar jodoh, pakar perkawinan, pakar fengshui, pakar nasib,  konsultan politik, konsultan citra dari dalam layar televisi.

Melalui contoh kondisi di ataslah, pandangan Marshal McLuhan tentang media menemukan kebenarannya. Bagi McLuhan, “medium adalah pesan” (medium is the message).   Ini karena ‘medium’ tidak lagi dipahami secara konvensional sebagai kandungan isi sebuah media (media content), akan tetapi segala efek perubahan dan transformasi pada manusia (pikiran, tindakan, cara kerja, cara komunikasi, cara belanja, dst.) yang dihasilkan akibat keberadaan media, termasuk televisi. [3] Keberadaan televisi di kamar-kamar kita telah mengubah cara kita melakukan sesuatu: mendapatkan informasi, hiburan, pengetahuan, pengajaran, dak’wah, kampanye.

Televisi bukan ruang ‘representasi relasi sosial’, akan tetapi telah menjelma menjadi semacam ‘mesin sosial’ (social machine), yang membangun relasi dan ‘realitas sosial’ yang baru. Televisi membangun secara artifisial berbagai bentuk relasi sosial, pertukaran sosial, strata sosial; mengembangkan kebutuhan, menyalurkan hasrat, memproduksi fantasi, menggelar spekulasi sosial, yang memberikannya sebuah status dan fungsi sosial. Bahkan, dengan bahasa yang agak superlatif, Baudrillard menjelaskan, bahwa media seperti televisi telah menggiring ke arah ‘matinya sosial’ (the death of social). Sebagaimana dikatakan Baudrillard, media televisi “. . .ke luar memproduksi lebih banyak (bentuk-bentuk) sosial, ke dalam ia justeru menetralisir relasi-relasi sosial dan sosial itu sendiri”. [4]  

Perkembangan televisi dalam bentuknya yang sekarang telah menimbulkan semacam krisis sosial, karena relasi-relasi sosial di dunia nyata telah ‘terkontaminasi’ dan ‘dirusak’ oleh relasi-relasi artifisial yang dibangun televisi. Sebagaimana dikatakan Robins, “[S]aya percaya bahwa krisis nyata yang dihadapi masyarakat kontemporer adalah sebuah krisis tatanan sosial, sebuah krisis relasi sosial dan bentuk-bentuk sosialitas. . .(akibat dorongan) hasrat-hasrat purba yang ada pada diri kita untuk ketakterlibatan dengan dunia nyata”.[5] Citra-citra yang ditampilkan televisi bukannya ‘membebaskan’, malah ‘memenjarakan’ orang dalam kehidupan artifisial, populer dan dangkal, sehingga tidak punya ruang lagi untuk memikirkan hal-hal yang lebih substansial, esensial dan fundamental.

Pendangkalan kultural berlangsung di dalam hampir setiap konteks budaya: politik, hukum, pendidikan, psikologi, dan keagamaan. Misalnya, wacana keagamaan, yang semestinya memberikan ‘pencerahan’, ‘pesona’, ‘kesucian’ dan ‘kedalaman’ (enchantment), malah bergeser menjadi ruang hiburan (entertainment). Dalam kehidupan keberagamaan yang nyata, melalui hubungan ‘spiritual’langsung dengan Tuhan, kita mendapatkan ‘pesona’ sebagai jalan menuju kesucian. Melalui kekuatan hiburan kita justeru menjauhkan diri dari kesucian itu. [6] Ketika kehidupan sosial disarati oleh yang banal, ketika kebudayaan direduksi menjadi dunia hiburan, ketika wacana pengetahuan yang serius dikemas melalui bahasa ‘gaul’, ketika seluruh kehidupan menjelma menjadi komedi, maka sebuah jalan menuju kematian budaya terbentang. [7]

Televisi telah mendorong sebuah ‘revolusi’ dalam kehidupan sosial dan budaya, dengan membangun sebuah  model kehidupan sosial yang berpusat pada ‘layar’ (screen) dan ‘citra’ (image). Layar televisi kini menjadi ruang untuk mendapatkan pengetahuan, membangun kesadaran, memperluas pengalaman, memberikan kesenangan, merealisasikan fantasi, membangun bentuk baru sosialitas dan komunitas.  Akan tetapi, televisi juga menjelma menjadi sebuah pusat akumulasi pengetahuan, pengajaran dan pembelajaran; pusat penempaan psikis dan mental; pusat perumusan ‘kebenaran’ (truth), pendefinisian moral; pusat membangun kadar kesalehan dan  iman. Karenanya, para motivator, ahli etiket, peramal, komentator, pengamat, dan ahli pencitraan seakan-akan bertindak sebagai ‘nabi-nabi’ di dalam ‘agama’ televisi.

Mesin-mesin Ilusi

Perkembangan televisi komersial sebagai sebuah media merupakan bagian dari perkembangan industrialisasi dan kapitalisme, yang melahirkan budaya massa (mass culture). Televisi adalah sebuah media massa, karena ia ‘diproduksi untuk massa yang luas’, mengikuti pola industrialisasi. Di dalam sistem kapitalisme, televisi digerakkan oleh spirit ‘komersialisme’—sebagai cara memperoleh keuntungan—yang  tentunya mempengaruhi karakter ‘kebudayaan’ yang dihasilkannya. Motif keuntungan di dalam sistem kapitalisme membawa televisi sebagai sebuah agen ‘budaya populer’ (popular culture), yang cenderung merayakan segala bentuk ilusi dan budaya permukaan demi keuntungan.

Dalam kaitannya dengan budaya populer, Theodor Adorno, membedakan dua kategori kebudayaan. Pertama, ‘budaya tinggi’ (high culture) sebagai budaya yang mempunyai standard yang tinggi, yang diciptakan berdasarkan kemampuan kreativitas dan daya inovasi yang tinggi, sehingga selalu menghasilkan sesuatu yang baru (newness), dilandasi oleh semangat kemajuan (progress). Kedua, ‘budaya rendah’ atau ‘budaya populer’ (popular culture), yaitu budaya yang mempunyai standard kualitas, mutu dan selera yang rendah, baik secara estetis, teknis maupun moral. Televisi termasuk ke dalam kategori budaya populer, karena cenderung menampikan segala yang ringan, menghibur, mudah dicerna, banal, atau mediocre, dan ditujukan untuk ‘orang kebanyakan’.[8] Televisi menunjuk pada orang kebanyakan, tetapi dikendalikan oleh kelompok elit melalui pola industri budaya. [9]

Karena ditujukan untuk budaya orang kebanyakan inilah, para pengelola televisi hanya mau menampilkan tayangan-tayangan yang mudah dicerna, dipahami, dihayati dan dinternalisasikan oleh standard orang kebanyakan, dengan menghindari segala yang kompleks, rumit, dan sulit, yang memerlukan kepakaran, intelektualitas, kecerdasan, argumentasi ilmiah dan riset mendalam. Sehingga, setiap wacana apapun yang ditayangkan di dalam televisi—apakah wacana sosial, ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan keagamaan—semuanya dikemas melalui kemasan-kemasan yang mudah dicerna dan dinikmati. Berlandaskan logika inilah segala tayangan televisi—baik yang serius maupun ringan—selalu dibangun oleh paradigma ‘hiburan’ (entertainment).

Dilandasi motif ‘hiburan’, televisi cenderung merayakan imajinasi-imajinasi ringan, yang menarik dilihat, mudah dicerna, memberikan kesenangan (pleasure), dan menawarkan pesona; imajinasi tentang selebritis, tentang peristiwa mistik, tentang konflik cinta; tentang abnormalitas, penyimpangan sosial dan seksual.  Inilah ‘imajinasi populer’ (popular imagination), yang dicirikan oleh sifat-sifatnya yang murahan, rendah, dasar, vulgar, umum, rata-rata atau rakyat kebanyakan, yang digunakan untuk menghimpun massa di dalam berbagai wacana sebagai ‘massa populer’. Imajinasi populer ini menjadi ‘paradigma’ dalam berbagai tayangan tentang ekonomi (iklan komersial), politik (iklan politik), pendidikan (edutainment), psikologi (motivator, peramal), berita (infotainment), keagamaan (da’wah), bahkan kekerasan (horrotainment).

Sebagai sebuah agen budaya populer dan sistem kapitalisme, televisi mengerahkan segala cara untuk mendongkrak rating, demi memaksimalkan keuntungan. Ilusi adalah sebuah cara umum  di dalam budaya populer untuk menarik perhatian massa penonton yang luas. Televisi harus bersaing dalam memproduksi ilusi agar mampu bersaing dalam rating. Ilusi adalah cara televisi untuk meyakinkan kita, bahwa segala yang ditampilkannya di dalam layar merupakan kebutuhan, keinginan dan hasrat kita yang ‘nyata’. Ia menseduksi kita, bahwa citra-citra yang ditampilkannya adalah ‘urusan’ kita, bagian dari ‘kehidupan kita’, dan tentunya ‘melibatkan’ kita. Layar televisi menjadi sebuah ‘cermin’, tempat kita berkaca tentang diri kita. Sebagaimana dikatakan oleh W.F. Haug,

“Ilusi yang memerangkap seseorang seperti sebuah cermin yang di dalamnya orang melihat hasrat dan keyakinannya seakan-akan benar. . .[I]lusi-ilusi itu seperti orang yang mengambil muka, menjanjikan kepuasan: ia membaca hasrat di mata seseorang, dan memanifestasikannya pada komoditi. Ketika ilusi—yang bersamanya komoditi hadir di hadapan pandangan—memberi seseorang rasa kebermaknaan, ia menyediakan bahasa untuk menafsirkan eksistensinya di dunia” [10]

Salah satu bentuk ilusi dominan di dalam televisi adalah apa yang disebut Haug ‘ilusi rangsang seksual’. Di dalamnya, tubuh perempuan memegang peran sangat sentral, karena ia memiliki kekuatan untuk menghasilkan apa yang dikatakan Laura Mulvey sebagai ‘kepuasan melihat’ (voyeurism).[11] Ketertarikan dan rangsang seksual muncul dari cara citra-citra perempuan ditampilkan, yang menghasilkan kepuasan melihat gambar (visual pleasure). Karena itulah, di dalam acara televisi apapun: berita, iklan, talk show, sinetron, kuis, reality show, liputan olah raga, pendidikan, kehadiran tubuh perempuan menjadi sebuah keharusan, sebagai cara untuk menghasilkan daya tarik seksual’. Televisi, manurut Haug, berperan besar menciptakan kecenderungan ‘sensualitas otak’ (Hegirnsinnlichkeit), di mana ilusi-ilusi seksual menjadi latarbelakang dari setiap program acara, termasuk acara-acra yang serius sekalipun . [12]

Bahkan kita mungkin menemukan sebuah situasi lebih ekstrim, yaitu ketika segala yang ditampilkan oleh televisi—politik, ekonomi, iklan, berita, agama, pendidikan—tak lebih dari rangkaian ‘permainan ilusi’ (play of illusion), yaitu penampilan televisi yang dilandasi bukan oleh prinsip representasi, akan tetapi ‘simulasi’ realitas’, yaitu model-model realitas yang diproduksi di dalam citra-citra televisi yang tercabut dari realitas yang sesungguhnya. Di sini, ironisnya, televisi kini menjadi agen dari ‘matinya kebenaran’ dan ‘objektivitas’ (the death of truth), karena tidak ada lagi kebenaran dan ‘yang nyata’ itu di dalam televisi. Yang ada hanyalah permainan ilusi untuk merangsang rasa ‘keingintahuan’,‘keterpesonaan’,‘penasaran’,‘hasrat’,‘kecanduan’, ‘ketagihan’—segala trik psikologis, yang ditujukan agar mata tak lepas dari layar televisi, bukan untuk pengkayaan pengetahuan dan pencerahan. [13]

Seduksi Televisi

Di dalam televisi berbasis komersial, rating menjadi sebuah ‘motif’, sebuah ‘enerji pendorong’, raison d’etre dari beberadaan program-program televisi. Rating menjadi sebuah ‘ideologi’, sebuah ‘keyakinan’ televisi, yang menentukan bentuk-bentuk program tayangan. Dibantu oleh teknologi pencitraan mutakhir, televisi merayakan ‘permainan citra’, ‘permainan tanda’, ‘permainan ilusi’ dan ‘imagologi’ sebagai sebuah bentuk ‘rayuan’, ‘bujukan’, ‘godaan’, ‘iming-iming’, agar pemirsa tidak pernah mengalihkan tatapan matanya dari layar televisi. Seduksi melalui permainan penampakan menjadi sebuah mesin penggerak televisi, agar tetap eksis di mata pemirsanya.

Kegagalan televisi nasional menghasilkan inovasi, kebaruan dan orisinalitas—karenanya televisi nasional cenderung menjadi ‘pengekor’ televisi asing—menyebabkan televisi lebih memfokuskan diri bagi keberlangsungannya pada ‘rayuan’ atau ‘seduksi’ (seduction), yang menciptakan apa yang dikatakan oleh Thomas Doherty sebagai ‘politik seduksi’ (politics of seduction).[14] Televisi menjadi sebuah ‘mesin seduksi’, sebuah wajah ‘perayu’. Di dalam jagad rayuan ini, televisi menjauhkan kita dari nalar-nalar rasional dan pikiran-pikiran logis, dan menjebak kita dalam aneka trik rayuan, agar menyerahkan diri pada apa yang diinginkannya untuk kita lakukan. Televisi lalu menjadi semacam ‘mesin hipnotis’.

Mekanisme yang bekerja dalam rayuan, sebagaimana dikatakan Jean Baudrillard, di dalam Seduction, tidak lagi relasi psikis atau psikologis, tidak pula represi atau ketaksadaran, akan tetapi relasi permainan (play), tantangan (challenge), duel, dan strategi penampakan (appearance).[15]Televisi secara terus-menerus ‘mengajak’ (iklan, promosi, propaganda), ‘menantang’ (kuis, tebakan, game), ‘menggoda’ kita (filem, sinetron) sebagai cara agar pikiran dan kesadaran kita tak beralih darinya. Untuk itu ia menggunakan segala trik, strategi, manipulasi untuk memperdayakan kita agar percaya terhadap apa yang ditampilkan dan diinginkannya dari kita. Sehingga, di dalam seduksi televisi pertanyaan tentang ‘kebenaran’ tak lagi relevan, karena dikalahkan oleh permainan murni penampakan (pure play of appearance).

Segala sesuatu (wajah, tubuh, objek, peristiwa) ditampilkan di dalam televisi sebagai ‘perayu’ melalui aneka, make-up, artifisialitas, asesori, property, pencitraan, estetisme, mimikri, untuk menghasilkan efek-efek pesona (fetishism). Berbagai realitas kehidupan sehari-hari—percintaan, konflik, skandal, keyakinan, kekerasan, politik, perang—ditampilkan dalam format ilusi, sehingga yang tercipta adalah ‘ekses realitas’ (excess  of reality).[16] Melalui seduksi, tanda dan citra dikosongkan dari makna yang sesungguhnya, dengan merayakan penampakan artifisialnya. Mata yang merayu tak mementingkan perenungan makna, tetapi bagaimana pandangannya (gaze) mampu menghipnotis seseorang yang dirayunya, agar jatuh ke dalam pangkuannya. Refleksi makna tidak penting di dalam televisi, sebab yang penting adalah pesona yang ditimbulkan oleh rayuan.

Politik seduksi menjadikan ‘hiburan’ sebagai motif utama televisi, ketimbang motif ‘edukasi’, atau ‘pencerdasan’. Hiburan menjadi raison d’etre dari keberadaan televisi di era komersialisasi. Tanpa muatan hiburan televisi tidak akan bisa bertahan. Karenanya, hampir setiap wacana yang ditampilkan televisi: berita, pendidikan, agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, industri, politik, hukum, kriminalitas, olah raga—semuanya mesti dilandasi oleh motif ‘menghibur’ dan ‘hiburan’. Hiburan kini menjadi bagian utama dari narasi kehidupan, dengan merenggut durasi dan narasi lain yang lebih substansial, seperti pembelajaran, moralitas, peneguhan keyakinan dan pengukuhan iman. Televisi mengkondisikan ‘kehidupan untuk hiburan’. Sehingga tidak salah bila Neil Postman menjuluki kita para penonton televisi sebagai “. . .orang-orang yang menghibur diri kita sendiri sampai mati”. [17]

Dominasi motif hiburan ketimbang pengetahuan, menjadikan nilai informasi tunduk terhadap kekuatan hiburan, sehingga informasi kini menjadi bagian dari hiburan, yang menciptakan sebuah genre baru televisi, yaitu ‘informasi-hiburan’ (infotainment). Karena dominasi motif hiburan inilah, muatan hiburan lebih dirayakan ketimbang muatan informasi itu sendiri. Nilai informasi sendiri menjadi marjinal.  Apakah televisi memberikan informasi atau ‘disinformasi’ menjadi tak penting. Kita lalu dibiasakan oleh informasi salah tempat, tak-relevan, terfragmentasi dan dangkal. Informasi kini tak beda dari ‘ilusi’: seakan-akan mengetahui sesuatu, padahal nyatanya menggiring orang menjauh dari kebenaran pengetahuan itu.

Narasi-narasi Televisi

Keberadaan televisi telah mentransformasikan cara manusia menjalankan, memaknai dan memberi nilai pada kehidupan. Televisi telah memberi warna pada ‘narasi kehidupan’. Kehadiran televisi telah mengubah pandangan manusia tentang apa yang ‘bernilai’, ‘berguna’ dan ‘penting’ dalam kehidupannya. Relasi-relasi penting/tak-penting, berguna/tak-berguna, bermakna/tak bermakna kini menemukan struktur yang baru. Televisi  kini yang menjadi ‘penentu’ atau ‘pendefinisi’ tentang apa yang bernilai, berguna atau bermakna. Karena dominannya peran televisi dalam kehidupan sehari-hari, ia kini menjadi acuan nilai, makna dan kebenaran. Dunia kehidupan sehari-hari kini bukan lagi ‘direpresentasikan’ oleh televisi, melainkan ‘dikonstruksi’ oleh model-model narasi televisi.

‘Narasi’ adalah ‘urut-urutan peristiwa’, baik dalam kehidupan nyata maupun representasi, termasuk televisi. [18] ‘Narasi kehidupan’, menurut Lyotard, menunjuk pada sebuah struktur, di mana “. . .  “kehidupan” adalah penghadiran dan perumusan dirinya sendiri di dalam pengetahuan tersusun. . .”[19] Akan tetapi, narasi tidak sekadar urut-urutan peristiwa, akan tetapi urut-urutan yang berdasarkan pada aturan main tertentu. Peristiwa-peristiwa berlangsung berdasarkan plot tertentu, yaitu penataan fragmen-fragmen tindakan ke dalam sebuah ‘cerita kehidupan’ yang dinarasikan. Tindakan manusia dapat dinarasikan, karena tindakan itu “. . .selalu telah diartikulasikan melalui tanda, aturan main dan norma-norma. Ia selalu telah dimediasi secara simbolik” [20]

Perkembangan televisi sebagai bentuk budaya visual telah menciptakan cara baru menarasikan realitas, yang berbeda dari narasi dalam ‘budaya lisan’ (oral culture) dan ‘budaya tulisan’ (writing culture). Televisi tidak menghidupkan budaya tulis, tetapi malah mematikannya, dengan merayakan apa yang disebut Ong ‘kelisanan kedua’ (secondary orality), yang menggabungkan kelisanan dan visualitas secara dangkal, permukaan, dan banal. Sehingga, televisi ikut berperan dalam menciptakan kondisi rendahnya perhatian, dorongan dan apresiasi terhadap ‘budaya ilmiah’, karena orang digiring pada budaya ‘pertunjukan’ omongan dan gambar (talkshow, reality show). Kalaupun televisi mengangkat ‘karya tulis’ itu umumnya karya tulis populer, yang lebih termotivasi motif pasar dan rating, seperti novel populer. Sebagaimana dikatakan Postman, “. . .televisi tidak memperluas atau memperbesar efek budaya tulis. Ia justeru menyerangnya”. [21]

Narasi televisi dibangun oleh paduan wacana ucapan dan citra visual, bukan oleh struktur logika formal. Akan tetapi, tidak berarti televisi tidak mempunyai ‘logika’. Hanya saja, ‘logika televisi’ tidak dibangun melalui nalar-rasional dan silogisme ilmu pengetahuan ilmiah, akan tetapi merupakan kebalikan darinya, yaitu: retorika (rethorics). Pesan televisi divalidasi bukan oleh deduksi-silogisme, melainkan oleh konteks yang dibangunnya, oleh pertentangan elemen-elemen, sebagai bagian dari sebuah proses yang tujuannya adalah menghasilkan makna yang tampak seakan-akan masuk akal; sebuah proses yang menyuguhkan kita mitos-mitos yang sudah akrab dengan kita, dan berupaya meyakinkan kita bahwa mitos-mitos ini sesuai dengan konteksnya. [22]

Televisi kini menjadi bagian dari apa yang disebut Richard Coyne sebagai ‘narasi digital’ (digital narrative), yaitu cerita kehidupan yang dibangun melalui simulasi citra-citra visual-digital. [23] Di dalam televisi, citra lebih dirayakan ketimbang ide, gagasan atau konsep. Karenanya, ‘argumentasi’ televisi bukanlah melalui proposisi—sebagaimana dalam budaya tulis atau ilmiah—tetapi melalui penampilan: wajah yang menarik, tubuh yang sensual, kata-kata yang berbunga-bunga, bicara yang memukau, gaya pakaian yang menggoda. Televisi tidak mengungkap kebenaran melalui silogisme, tetapi melalui artifisialitas citra, tanda dan retorika. Pada akhirnya, “. . .orang hanya memberi tepuk tangan pada penampilan (performance), yang merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh program televisi yang baik; yaitu, tepuk tangan (applause), bukan refleksi (reflection)”. [24]

Meskipun televisi ‘merepresentasikan’ realitas kehidupan sehari-hari, tetapi realitas itu telah  ‘disaring’, (to screen) ‘dibingkai’ (to frame), dipotong-potong (to fragment) dan ‘direduksi’ (to reduce). Televisi menampilkan ‘narasi kehidupan’ bukan sebagaimana adanya, akan tetapi sesuai dengan kepentingannya. Televisi mengambil potongan-potongan realitas, dan ditampilkan kembali menurut model-model narasinya. Dengan cara demikian, televisi ‘merenggut’ realitas dari sifat-sifat ‘kemenyeluruhan’, ‘totalitas’ dan ‘keutuhannya’, dan direduksi menjadi potongan-potongan citra, nilai dan makna yang kehilangan sifat totalitasnya. Televisi merenggut realitas dari ‘aura’ realitas. ‘Aura’, sebagaimana dijelaskan oleh Walter Benjamin, adalah rasa totalitas berhadapan dengan realitas nyata dalam keunikan dan kedekatan dengannya.[25]

Karena motif rating dan popularitas, televisi mengganti ‘kompleksitas’ (complexity)dengan ’simplisitas’ (simplicity), dengan cara merayakan segala yang ‘instan’, ‘cepat’ dan ‘mudah’ dicerna publik, dan menyingkirkan yang berbelit-belit, rumit dan kompleks. Televisi meminggirkan relasi abstrak dan konseptual, dengan menampilkan yang lebih konkrit atau pragmatis; menghindari relasi kausalitas atau logika historis, dengan menampilkan relasi sebab-akibat yang dangkal dan sederhana;  menyelubungi  konteks sebenarnya, dengan menampilkan konteks artifisial; menjauhkan diri dari segala ambiguitasketakpastian, ambivalensi, indeterminasi—yang memerlukan nalar. [26] Sehingga, sebagaimana dikatakan Scheuer, “[B]udget berita TV dibayarkan untuk gaya rambut dan sewa helikopter lalu lintas, bukan untuk para ahli sosial untuk mengeksplorasi kompleksitas aneka peristiwa manusia”. [27]

Televisi menciptakan semacam ‘fetisisme individu’ (fetishism) dalam pengertian merayakan dan pemujaan pada karakter individu (pesona, karisma, pamor, fame). Televisi melebih-lebihkan kekuatan individu-individu sebagai agen-agen  dengan mengorbankan kolektivitas dan kekuatan-kekuatan sosial. Bahasa televisi melambungkan pentingnya subjek-subjek tertentu sementara meminggirkan yang lain yang dianggap kompleks, rumit dan terlalu intelek. Televisi ‘melambungkan’ citra subjek tertentu, akan tetapi dengan tega ‘membunuh’ citra orang yang sama, yang dianggap tidak lagi menguntungkan secara ekonomi. Televisi merayakan gaya ketimbang substansi, penampakan luar (appearance) ketimbang realitas, kesegeraan ketimbang keberjarakan, dan konflik-konflik fisik dan emosional ketimbang konflik moral, intelektual, atau filosofis. Televisi tidak menginginkan penjelasan filosofis apapun. [28]

Moralitas Minimalis

Televisi adalah sebuah ‘ruang publik’ (public sphere), yang melaluinya dibangun sifat dan karakter ‘kepublikan’. Dalam fungsinya sebagai the fourth state, televisi mestinya berperan membangun ‘budaya publik’ (public culture) yang cerdas, progresif, intelek dan produktif. Televisi mestinya berperan dalam pembangunan karakter bangsa, dengan menampilkan program-program yang dapat meningkatkan kualitas kesadaran, imajinasi, pengetahuan, etos kerja dan keyakinan yang konstruktif bagi pembangunan masyarakat-bangsa. Televisi dapat berperan dalam memaksimalkan nilai-nilai kebangsaan, bila ia mampu mengembangkan nilai-nilai kultural yang konstruktif melalui aneka programnya.

Akan tetapi, dalam kenyataannya, perkembangan televisi—khususnya dalam bentuknya yang komersial—tidak mampu menunjukkan peran positif itu dalam pembangunan kebudayaan masyarakat-bangsa. Karena terlalu dominannya motif keuntungan dan rating, yang dilandasi oleh ideologi Machiavellian ‘menghalalkan segala cara’, maka televisi berbalik arah justeru menjadi ‘ancaman’ bagi eksistensi budaya bangsa itu sendiri, dengan segala kearifan, kedalaman dan makna luhurnya. Televisi justeru menampilkan segala bentuk banalitas, kedangkalan, populisme, seduksi dan ilusi-ilusi murahan, yang justeru menciptakan semacam ‘minimalisme kultural’ (cultural minimalism).

‘Minimalisme’ menjelaskan sebuah kondisi psikis (individual, komunal, sosial) yang mengalami keadaan diri minimal (minimal self), yaitu diri yang terjerat di dalam semacam minimalitas perspektif dan visi.10 Minimalisme menunjukkan rendahnya rasa kedalaman, sensibilitas, kepakaran, kepekaan dan kebermaknaan, karena orang terjerat oleh segala bentuk kedangkalan, permukaan dan banalitas. Keberadaan televisi (komersial) dilatari oleh minimalisme macam ini, yang di dalamnya dirayakan segala bentuk ‘simplisitas’ dengan meminggirkan ‘kompleksitas’, segala bentuk seduksi dan retorika, dengan meminggirkan logika ilmiah dan objektivitas.

Televisi merayakan banalitas kultural dengan menghadirkan segala yang remeh-temeh, tak penting, tak esensial dan tak bermakna (bagi kemanusiaan, sosial, pendidikan warga), mengambil alih hal-hal yang penting, fundamental, esensial dan bermakna. Di dalam televisi berlangsung proses pembalikan kultural (cultural reversal), yaitu proses pengesensialan yang banal, dan sebaliknya banalisasi yang esensial. Segala hal yang tak esensial—tetapi menghibur, menyenangkan, mempesona, dan menghanyutkan—menyedot kesadaran dan perhatian massa, seperti aneka tayangan mistik, gosip, selebritis, reality show. Sebaliknya segala yang esensial—yang berguna dalam rangka pembangunan bangsa, pembentukan karakter bangsa (character building), pendidikan publik dan pencerdasan bangsa—justeru dipinggirkan dalam ruang-ruang televisi.

Karena didominasi oleh motif keuntungan (rating), televisi menjadi agen komodifikasi ruang publik, yaitu didominasinya ruang publik oleh motif-motif ekonomi. Televisi menjadikan apapun sebagai ‘komoditi tontonan’ atau ‘komoditi hiburan’—berita, informasi, pendidikan, agama, mistik, gosip, seks, kekerasan, konflik keluarga, konflik sosial,  perang, bahkan kematian. Televisi juga menjadikan figur-figur individual sebagai komoditi hiburan, selama yang bersangkutan memiliki ‘pesona hiburan’: kontroversial, abnormal, subversif, retoris, karismatik, nakal, aneh, unik, penuh skandal. Inividu-individu macam itulah yang ‘laku’ dijual di dalam televisi. Sebaliknya, figur-figur yang intelektual, pakar, spesialis, serius, idealis, cendekia atau relijius tidak mendapatkan tempat di ruang televisi, karena tidak mempunyai ‘pasar’.

Karena motif hiburan, televisi berperan menciptakan semacam ‘de-esensialisme pengetahuan’ (de-essentialism of knowledge).Televisi menjadikan apapun sebagai komoditi, termasuk ‘informasi’ dan ‘pengetahuan’ (knowledge). Sebagai media penyampai informasi, televisi sekaligus menjadi ruang pengembangan ‘pengetahuan’. Akan tetapi, karena tuntutan motif ‘hiburan’, informasi yang disampaikan harus tampil dengan cara yang menghibur dan dan tidak boleh rumit atau kompleks. Karena itu, ‘pengetahuan’ yang terkandung di dalam informasi tidak boleh terlalu dalam dan filosofis. Di dalam televisi, pengetahuan menjadi ‘pengetahuan ringan’, yang tidak memerlukan kapasitas pikiran dan intelektualitas tinggi. Akan tetapi, karena televisi menjadi ‘rujukan pengetahuan’ bagi publik, maka ia sesungguhnya berperan dalam menggiring pada ‘pendangkalan pengetahuan publik’.

Banalitas yang dikondisikan televisi berimbas pada tataran moral dan etika publik. Televisi berperan dalam ‘pembiasaan’ (naturalization) berbagai tindakan amoral (perilaku, bahasa tubuh, etiket, pakaian, tubuh, bahasa) karena tindakan amoral itu justeru menguntungkan dari segi kekuatan ‘hiburan’. Televisi ikut berperan dalam melakukan pemutarbalikan atau permainan moral (immorality). Televisi cenderung mengangkat tindakan-tindakan yang bermuatan absurditas, ironi sosial, inkonsistensi, berlebihan, anomali, janggal, tidak biasa, di luar garis, kontradiktif, abnormal, karena mempunyai kekuatan hiburan. Seringkali figur-figur publik yang ditampilkan bukanlah orang-orang yang menjaga fondasi moralitas, kepakaran, kebenaran, keutamaan dan keadaban, melainkan figur-figur kontroversial, yang  justeru memutar-balikkan prinsip-prinsip moral.

Mengingat besarnya peran televisi di dalam kehidupan sehari-hari, ia menjadi sebuah harapan dalam pembangunan masyarakat-bangsa di masa depan. Televisi menjadi sebuah harapan sosial. Akan tetapi, bila motif ekonomi, keuntungan, hiburan dan rating masih mendominasi keberadaan televisi di masa depan, harapan atas televisi sebagai pembangun ‘karakter bangsa’ di masa depan tampaknya hanya sebuah utopia belaka. Di dalamnya, kesadaran, pikiran, keinginan, pengetahuan dan tindakan masyarakat hanya menjadi efek semata dari ‘budaya komodifikasi’ televisi itu. Untuk itu, pemerintah harus memikirkan dan melakukan langkah antisipatif, misalnya membangun ‘televisi alternatif’, seperti ‘televisi publik’, sehingga pengetahuan dan kesadaran publik dapat lebih berimbang. Hanya melalui keseimbangan itu dapat dibangun sebuah masyarakat yang lebih kritis, dinamis dan proaktif  di masa depan [ ]

 

Catatan Akhir:

[1] Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Televisi dan Masa Depan Bangsa”, diselenggarakan oleh Akademi Jakarta, Jakarta, 26 Juli 2010

[2] Staf Pengajar pada Program Magister Seni Rupa & Desain, FSRD, Institut Teknologi Bandung

[1]  Neil Postman, Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in the Age of Show Business, Penguin Books, 1986, hlm. 79

[2]  Jean Louis Commoli dalam Timothy Druckery, Electronic Culture: Technology and Visual Representation, Aperture, 1996, hlm. 108

[3] Marshall McLuhan & Quentin Fiore, The Medium is the Massage: An Inventory of Effects, 1996, hlm. 8

[4]  Jean Baudrillard, In the Shadow of the Silent Majorities, Semiotext(e), New York, 1983, hlm. 66.

[5] Kevin Robins, Into the Image: Culture and Politics in the Field of Vision, Routledge, 1996, hlm.13

[6]  Neil Postman, Amusing Ourselves to Death, hlm. 122

[7]  Ibid., hlm.156

[8]  Theodor Adorno, The Culture Industry, Routledge,1991, hlm. 85-92.

[9] Raymond Williams, Keywords: A Vocabulary of Culture and Society, Fontana Press, 1990, hlm. 192-197.

[10]  W.F. Haug, Critique of Commodity Aesthetics: Appearance, Sexuality and Advertising in Capitalist Society, Polity Press, 1986, hlm. 52

[11]  Lihat Laura Mulvey, “Visual Pleasure and Narrative Cinema”, makalah pada French Department of University of Wiscounsin, Madison, 1973

[12] W. F. Haug, Critique of Commodity Aesthetics, hlm. 55

[13] Lihat Jean Baudrillard, The Illusion of the End, Polity Press, 1994

[14] Thomas Docherty, After Theory, Edinburg University Press, 1996, hlm. 27.

[15] Jean Baudrillard, Seduction, St. Martins Press, 1990, hlm. 7.

[16] Ibid., hlm. 63

[17] Neil Postman, Amusing Ourselves to Death, hlm. 4

[18] Gerard Genette, Narrative Discourse: An Essay in Method, Cornell University Press, Ithaca, 1980, hlm. 25-26

[19] J.F. Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, Manchester University Press, Manchester,1989, hlm. 34

[20] Paul Ricoeur, Time and Narrative: Volume 1, The University of Chicago Press, Chicago, 1984, hlm. 57

[21] Neil Postman, Amusing Ourselves to Death, hlm.  84

[22] John Fiske and John Hartley, Reading Television, Routledge, 1990, hlm. 112

[23] Richard Coyne, Technoromanticism: Digital Narrative, Holism, and the Romance of the Real, The MIT Press, 1999. hlm. 4.

[24] Neil Postman, Amusing Ourselves to Death, hlm. 91

[25] Walter Benjamin, Illuminations: Essays and Reflections, Schocken Books, 1968, hlm. 222

[26] Jeffrey Scheuer, The Soud Bite Society: Television and the American Mind, Four Walls Eight Windows, New York, 1999, hlm. 122

[27] Neil Postman, Amusing Ourselves to Death, hlm.154

[28] Ibid., hlm.161

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *