Jembatan Pemutus Cinta
Boleh percaya boleh tidak. Di Kebun Raya Bogor ada satu jembatan yang konon kabarnya, jika ada sepasang kekasih sengaja atau tak sengaja melewatinya, hubungan percintaan mereka akan putus. Wow!
Saya mendengar itu pertama kali dari Ibu kandung saya. Jaman saya kecil belum ada medsos dan belum musim viral. Kami yang masih kanak-kanak hanya mendengar segala sesuatu dari Ibu. Kalaupun kami membaca buku, rasanya, tak mungkin orang menuliskan hal-hal semisal jembatan menjadi penyebab putus cinta. Lol.
[iklan]
Kata Mama, beliau waktu itu masih duduk di kelas 3 SKP atau Sekolah kepandaian Putri. Usianya 16 tahun. Pacarnya waktu itu adalah seorang pria yang bertugas di Angkatan Laut. Tapi Mama saya tak jelaskan apa pangkatnya. Yang pasti, mereka putus tak lama setelah mereka ke kebun Raya Bogor.
Konon, kawan-kawan Mama saya sudah menasehati untuk tak ke sana apalagi kalau sampai melewati Jembatan Merahnya. Tapi Mama saya pergi juga. Akhirnya? Mereka memang putus betulan, dan Mama saya malah menikah dengan Ayah saya setahun kemudian. Weleh- weleh.
Di bulan Januari kedua orang tua saya menikah, adalah hari yang hujan. Bunga bangkai sedang mekar di kebun raya Bogor, saya putuskan pergi ke sana. Naik kereta commuterline yang amboi nyamannya. Dingin, tempat duduk empuk, musik yang mengalun dan murah. Tak sampai 5.000 rupiah dari Stasiun Tanah Abang ke Bogor. Bandingkan jika saya membawa mobil? Tol dan bensin lalu bonus macet.
Keluar stasiun Bogor saya melihat banyak pedagang. Mereka menjual apapun. Makanan mulai dari asinan hingga tahu goreng. Amboi, 20 tahun lalu atau sekitar tahun 1999 saya sempat ke stasiun Bogor. Dulu masih banyak pedagang asongan dan kios-kios sederhana tempat orang menjual barang-barang. Ada penjual kacamata, sendal, sepatu, topi, baju, hingga pedagang benda kuno semisal koin-koin langka. Untung saja saat itu saya membeli. Banyak. Saya membeli koin-koin jaman VOC. Waktu itu saya membeli tanpa berpikir. Karena saya sedikit hobi dalam hal ini. Hi hi hi…
Dari stasiun saya harus keluar area menuju angkot jurusan Baranangsiang. Ongkos lagi-lagi 5.000 rupiah dan tak usah khawatir nyasar, supir angkot sudah tau kita akan diturunkan di mana. Depan pintu masuk pisan. Wew…
Tiket masuk ke Kebun Botani BOGOR adalah 15.000,-
Sekilas tentang Kebun Botani Bogor bisa kita lihat di Google. Dulu pada jaman kerajaan Prabu Siliwangi pun sudah ada. Juga sudah tertulis di prasasti Batu Tulis Bogor (1474-1513) sebagai hutan buatan yang ditujukan untuk menjaga perbatasan kerajaan Sunda. Pernah juga disebut Hutan Ciung Wanara.
Kemudian datanglah orang-orang Eropa sekitar tahun 1.800an. Mereka menyulap tempat ini sebagai tempat peristirahatan. Raffles salah satunya. Dia bahkan tinggal di sini beberapa tahun hingga ketika istrinya wafat di Batavia, dia bangun monumen indah untuk mengenang istrinya Olivia Raffles.
Kemudian ahli biologi bernama Abner yang meminta ijin untuk membuat lahan penelitian di tempat ini. Kemudian orang-orang Eropa lain, ahli-ahli Botani dari Inggris dan Jerman. Maka jadilah kebun raya Bogor yang saat ini memiliki 15.000 jenis tanaman di atas lahan seluas 87 hektar. Banyak hal bisa dilihat di sini. Monumen Lady Raffles, Danau Gunting, Prasasti Reinwardt, Patung tangan Tuhan, Pemakaman Belanda Kuno, Taman Meksiko, Taman Anggrek hingga makam Mbah Jepra. Belum lagi keunikan jalan Astrid. Jika anda khawatir dengan Jembatan si Pemutus Cinta? Disini pun ada pohon Jodoh. Itu adalah dua pohon besar berusia lebih dari 300 tahun yang jika dua insan duduk di kursi yang disediakan di antaranya, maka mereka akan berjodoh. Ulala.
Apakah saya sempat mengelilingi semuanya? Tentu tidak. Bahagia di awal, terengah-engah kemudian, lalu nyaris pingsan ketika selesai. Ternyata… segitu luasnya. Belum lagi waktu yang nyaris maghrib melewati makam Belanda. Jangankan mau berfoto? Mencari rute jalan pulang saja saya nyaris tersasar. Saya sempat parno. Di area kebun raya Bogor itu ada makam Ratu Galuh Mangku Alam yang konon dijaga oleh harimau besar jelmaan Prabu Siliwangi yang akan memperlihatkan wujud pabila merasa terganggu. Duh… kebayang, kan? Maghrib… lewat makam kuno Belanda dan mitos yang saya dengar. Rasanya bulu di kuduk saya jadi meremang. Lol.
Sebelum pulang saya memutuskan makan malam di restoran dengan view lumayan bagus. Saya seperti Nyonya Eropa yang tinggal di kastil indah. Padang rumput yang hijau dipandang dari atas bukit dan suasana senja yang membuai dengan lilin-lilin di meja… Oh… segera menghilangkan penat setelah setengah hari berkeliling. Foto-foto pembesar atau para pemimpin dunia yang sempat singgah terpajang di resto ini dimana semangkok sop buntut nya dihargai 120 ribu. Wajar asalkan wortelnya tak tercium bau basi. Saya bisa masak. Saya paham berapa lama daging ini digodok dalam kuali mendidih hingga menjadi empuk, asalkan tak salah dalam menyiapkan sayuran penunjang plus sambel cabe dan sepotong jeruk yang harusnya membuat rasa lebih mantap tetapi tak terlalu.
Selesai makan dan kekenyangan lalu saya menyesal. Ternyata pintu keluar masih sekitar 3km plus 2km karena saya harus berjalan kaki keluar ke tempat angkot. It was bagian yang tak menyenangkan. Sedih juga. Karena sepasang kaki saya sudah bengkak rasanya. Turun dari angkot masih harus naik tangga pula untuk menuju ke stasiun. Beruntung kereta ke Jakarta sepi penumpang. Maklum, sudah jam 9 malam saat itu. Tak banyak orang Bogor menuju Jakarta pada jam segitu.
Saya dapatkan foto- foto jembatan merah seperti yang Mama saya almarhum katakan. Jika saya hitung waktu mundurnya… ? Saya kunjungi tempat yang pernah Mama saya kunjungi 58 tahun sebelumnya. Dan isinya masih sama. Pepohonan tinggi nan rimbun dengan akar-akar besar. Teratai. Kadang kelelawar. Juga spot-spot menarik untuk mengambil gambar. Terakhir… tentu saja si Jembatan Merah yang bisa membuat putus cinta pasangan, yang pernah Mama saya ceritakan.
Well… beruntunglah Mama dengan si Angkatan Laut itu kandas. Jika tidak? Mama tak akan pernah menikah dengan ayahku… dan tak ada saya lahir ke dunia untuk menuliskan hal ini. (Cikeu Bidadewi)