Duduk di bawah pohon
memandang perbukitan
awan jalan seperti marmut

Kuingin naik perbukitan
namun terjal dan banyak lenggok
maka sebaiknya turun ke lembah
mengerat seperti marmut
mencari akar rerumputan

Itulah puisi pembuka dalam buku ‘Poe’ karya Adri Darmadji Woko, seorang penyair yang hampir setiap tahun menerbitkan buku. Ia sangat produktif menulis puisi, bahkan bukan hanya menulis, ia pun rajin hadir di setiap acara sastra di berbagai daerah. Pada tahun 2021, buku puisi ‘Poe’ masuk dalam jajaran lima buku puisi pilihan oleh Yayasan Hari Puisi dalam ajang perayaan Hari Puisi Indonesia ke-9 yang diselenggarakan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki.

Adri, seorang yang ramah dan kutu buku, itu sepintas yang saya tahu. Namun, Adri telah dikenal sebagai penyair jauh di zaman saya baru mengenal puisi. Biasaya, penyair pemula seperti saya sering kali tergoda pada realitas; kenyataan sosial, penindasan, kebodohan, politik, keindahan-keindahan yang sering kali dilihat setiap hari. Penyair pemula terkadang menjadi seorang fotographer; menyaksikan cewek cantik, bikin puisi, melihat indah alam, bikin puisi. Menonton diskusi atau teater, bikin puisi, dan lain-lain. Biasaya juga penyair pemula terlalu asyik denga kata-kata, tak jarang mereka melakukan eksplorasi bahasa, menyatakan diri sebagai penyair dan penemu jenis puisi baru, misal; puisi digital lah, puisi sains lah, puisi puzzle lah, puisi esai lah, puisi kuburan lah dan entah apalagi. Tentu saja itu sah dan hak warga negara penyair. Tetapi, bijak juga jika belajar pada Adri Darmadji Woko yang hampir separuh usianya bercengkrama dengan puisi tanpa terganggu dengan riuh suasana dunia sastra.

Adri sudah tidak terganggu dengan hal-hal itu di masa senjanya sebagai penyair, ia terus menikmati realitas kehidupan ini sebagai inspirasi yang dapat digali sampai tuntas, hingga tercipta puisi. Saya menemukan nuansa itu pada puisi ‘Pelataran’.

Kucari kamu di pelataran stasiun
ke sudut segala pekat
segala bernama sunyi
ke langit-langit dan sekat
berlumut waktu
rel memanjang bersilang
di berbagai tuju.

Kucari di antara gedung berimpitan
gang paling perih di urat nadi
barangkali ketemu sesaat
berjumpa dan berpisah
di keheningan paling ratap

Senja tiba berpaling
di antara bayang memanjang
liku-liku di urat nadi
tiada ke mana-mana

Aku di sini
bersama saat-saat
yang lewat

Jika kita maknai puisi itu, akan menemukan dua titik tuju, pertama ia (penyair) sedang mengembara untuk menemukan Tuhan, kebenaran atau sesuatu yang lain yang bias. Kedua, ia tengah mengenang masa-masa lalu dengan seseorang dan kemudian kehilangannya sehingga ia berusaha mencari kembali rasa indah, bahagia itu. Inilah biasanya titik fokus seorang penyair, menciptakan puisi tidak sekadar mengikrarkan diri sebagai penemu jenis puisi atau eksplorasi bahasa, tetapi menemukan makna dalam puisinya sendiri.

Ia (penyair) dapat membidik segala hal untuk dihidupkan melalui kata-kata agar tercapai suatu hasrat; menggali kebenaran, menanamkan nilai-nilai dengan cara yang estetik. Meskipun itu jarang ditemukan di puisi-puisi Adri pada buku ini, dalam pergulatannya dan keasyikannya berpuisi, Adri tidak terganggu dengan bahasa puitik, ritme, rima yang kerap kali masih diperdebatkan oleh berbagai kalangan. Ia berpuisi seperti masuk ke dalam jalan bebas hambatan, puisi-puisinya mengalir seiring realitas yang berjalan di sekitarnya.

Puisi-puisinya hampir berbicara wilayah pergulatan batin tentang ketuhanan, pencarian jati diri, rekaman masa lalu. Seperti pada puisi ‘Bangku’ yang meninterprestasikan sebuah kenangan.

Membikin gambar
di angan tangan
mengalir waktu

Serasa serbuk akasia
semerbak wangi atau apak
bertebaran di bangku

Menetes dari sela jari
melarut dalam cuka
 
Ingatan terpendam
di bangku membatu!

Dengan baris-baris puisi di atas saya dapat menangkap apa yang dirasakan penyair. Ada suatu peristiwa yang jauh ke belakang di bangku tersebut. Ide menulis puisi semacam ini memang kerap kali ditemukan pada puisi karya penyair-penyair lainya, ini membuktikan bahwa pengalaman penyair berperan serta dalam membangun pondasi puisi. Hal itu pun terasa pada puisi ‘Terpancar Samar-Samar Sebuah Kota’.

Sebuah kota
terpancar samar-samar
yang menyisih dari pembicaraan
tetapi selalu menjadikan kenang
tiba-tiba muncul dalam penglihatan
aku dari sana tiba, katanya.

Dan pada suatu hari nanti
aku ‘kan meloncat ke sana lagi
untuk mengenang kembali
tempo doeloe terus berlalu.

Di sebuah kota
Terbesit semua yang kucari sia-sia
sampai juga jejakmu
terhapus riwis menyeru
berkepanjangan

Berbeda dengan puisi ‘Wahdatul Wujud’ yang secara jelas terbaca untuk membawa pembaca pada interaksi ketuhanan, pada wilayah ini masuk dalam konteks Islam.

            Siapa itu?
               Aku
            Aku siapa?
               Kamu
            Kamu siapa?
               Aku

            Siapa itu?
               Siti Jenar
            Siti Jenar siapa?
               Tuhan

            Di mana Siti Jenar
               Ke luar

            Di mana Tuhan?
               Ke luar

            Siapa di dalam?
               Aku
            Siapa aku?
              Tuhan
            Siapa Tuhan
              Siti Jenar

            Siapa itu?
                Aku dan Tuhan
            Ada di luar
              Ada di dalam!

Membaca buku puisi ‘Poe’ ini memang terasa seperti sedang berpergian untuk mencari sesuatu, terkadang Adri berbicara tentang apa yang ia lihat, rasa dan alami pada perjalanannya. Namun, ia pun terkadang menulis puisi yang penuh dengan nuansa renungan. Ya, saya seperti sedang berada di dalam kereta yang berjalan ke suatu tempat, duduk dengan tumpukan buku-buku, sambil sesekali melihat ke luar jendela kereta. Itulah nuansa membaca buku puisi yang ditulis oleh Adri.

Bagi Adri, kata-kata bukanlah barang baru, ia telah sangat akrab dengan bahasa dan juga ia mengenal lebih jauh tentang kedalaman konsepsi hidupnya, dunianya. Maka, tidak heran jika puisi-puisinya matang dalam bahasa dan memiliki makna yang sangat filosofis. Itu pun terasa pada puisi ‘Palang Kayu’ yang dapat ditafsirkan sebagai represetasi kehidupan dalam berketuhanan yang berbeda dengan puisi di atas. Puisi ini memiliki nuansa Kristen.

Aku mengenal pohon penuh berkah
Zaitun namanya.
Aku mengenal ranting-rantingnya
Aku mengenal palang kayu
yang terbuat dari batang
Aku mengenal kelokannya

Di palang itu terdapat nama yang begitu kukenal
Di bawah itu aku merunduk akar berawal
dan membaca ada tertera di sana

Maka lihatlah,
di tanah aku berdarah-darah!

Kedua puisi itu, yaitu ‘Wahdatul Wujud’ dan ‘Palang Kayu’ sudah pasti memiliki makna dan tujuan yang berbeda. Di sini, saya menganggap Adri hanya mengambil hikmah untuk direnungkan bersama. Tawaran perenungan seperti ini kerap kali dimunculkan oleh penyair kepada pembaca, untuk menanamkan nilai-nilai kebenaran pada hakikatnya.

Membaca puisi, sesungguhnya adalah usaha dalam melakukan dialog personal yang kreatif terhadap karyanya, sekaligus penyairnya. Tentu saja, setiap orang mampu melakukan sesuai tingkat kepekaan, intelektual dan pengalaman. Adri pun melakukan itu terhadap karya orang lain, sebab sejatinya memang seorang penyair bukan seorang pengkhayal, atau tukang gombal yang sering dilakukan di acara-acara televisi; berpuisi dengan menggombal, atau di media sosial, menulis status puisi.

Ada satu puisi Adri yang mencerminkan dirinya sebagai pembaca karya sastra, dan puisi ini pun dijadikan judul buku puisinya kali ini, yaitu ‘Poe’ diperuntukan kepada Edgar Allan Poe.

mengetuk setiap jengkal tembok
dengan palu gergajimu
dengan alat-alat tukang kayu
seperti pinokio di bengkel kerja

barangkali cuma kebohongan
atau sekadar ilusi dan halusinasi
mengorek tembok kusam
pakai mainan masa kanak

tetapi dengarlah suara-suara
memantul dari tembok kota
dari sungai yang mengalirkan lumpur
dari puri dan candi bahari

dari pasar yang mendengung
seperti kerumunan lebah
antara pohon beringin dan tanjung
sepanjang tahun-tahun berjalan ke muka

semakin jauh suara-suara
semakin dekat suara-suara
membikin tegak pepohonan
mengeluarkan zat asam

dengarlah suara-suara
yang berteriak dalam dinding waktu
di bawah arus sejarah
yang tak henti-henti bersuara riuh

Lalu, siapakah sosok Edgar Allan Poe, kiranya pembaca bisa menemukan tokoh itu dengan sekali klik di kolom pencarian google. Akan tetapi, di sini Adri menemukan suatu kekaguman, semangat dan inspirasi dari Edgar Allan Poe sehingga ia seolah ingin mengenalkan kepada pembaca-pembacanya. Atau sebaliknya, ia sendiri mendapatkan makna pada karya-karya Edgar. Adri adalah pembaca yang serius yang selalu berusaha mendapatkan makna dari bacaannya, sikap yang sejatinya juga dimiliki oleh para penyair. Namun bisa saja Adri memberikan makna sebanyk-banyaknya pada puisi tersebut, sebab puisi yang baik merangsang kekayaan makna yang tak pernah habis kepada pembacanya, bukan diberi makna oleh para pembacanya.

Ini tersirat juga pada puisi ‘Selamat Datang, Puisi, Selamat Pergi, Puisi.’yang memberikan makna kepada saya sebagai pembaca tentang perjalanan mengarungi lautan kata, peristiwa di dalam kehidupan ini untuk menemukan puisi, bisa jadi itu pun terasa pada pembaca yang lain.

Selamat datang, puisi!
Sementara aku akan istirah berbantal ilusi
yang enggan bepergian lagi
Datanglah dengan hati suka
mumpung aku tak juga menebak
apa yang kau hendak
kata-kata liar tak terkendali
dalam otak kananku ini
Cuma doakan aku tidur
mendapat mimpi dalam mimpi
seperti sungai, yang bertumbuk di muara
seperti pelangi datang sebentar bercahaya
seperti sketsa siap dibentuk

Aku terjaga
membuka jendela
dan memandang gorden
mau dibuka atau ditutup kembali
seperti gadis malu-malu di balik kain
tersipu-sipu menangkap isyarat
Selamat datang, puisi
engkau pun kini ada berada
Aku tidur sementara
esok engkau pergi
dan aku menyesal tidak menggamitmu tadi
Selamat pergi, puisi
ke mana lagi engkau ‘kan kucari
di antara lipatan kain atau selimut
yang memutih putih melangit

Dikau ada di antara tiada, bukan?

Demikianlah, saya membaca puisi-puisi Adri Darmadji Woko satu di antara penyair di Indonesia yang masih eksis menulis puisi di usia yang sudah tidak muda lagi. Ia masih kreatif, seolah memberikan isyarat kepada saya yang muda untuk tidak menyerah untuk terus berproses. Adri, telah menunjukkan keseriusannya memilih jalan puisi walaupun jika kita baca biodatanya, ia sempat belajar hukum di Universitas Jakarta. Seluruh puisi-puisi pada buku ini memiliki keberagaman tema, seolah memberikan bukti bahwa dalam kehidupannya, puisi adalah kawan yang paling setia menemani. Dan, seperti judul buku puisinya ‘Poe’, bisa jadi Edgar Allan Poe tercermin di dirinya. Adri adalah seorang penyair; Poe tanpa huruf T.

Januari 2022

Nana Sastrawan, seorang penulis yang senang membaca puisi.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *