Sejak menderita penyakit mata yang aneh itu, Radi tak mau lagi bergaul dengan teman-temannya. Padahal sebelum penyakit mata itu menyerangnya, Radi dikenal senang bergaul dan sangat disukai teman-temannya. Tetapi takdir telah mengubahnya menjadi lain. Radi merasa rendah diri karena penyakit matanya itu.

Penyakit mata yang diderita Radi tergolong langka. Dan kini kemana pun pergi, Radi tak pernah lepas dari kacamata hitamnya. Sebab bila terkena sinar matahari sedikit saja, mata Radi berkunang-kunang, dibarengi dengan genangan air mata, yang sedikit demi sedikit menetes tanpa henti. Bahkan mata Radi tak tahan terkena sinar lampu listrik, sehingga di dalam rumah pun Radi tak pernah lepas dari kacamata hitam itu.\

Suatu hari, Munip, teman Radi yang selalu memperhatikan dan ikut merasakan penderitaannya, datang menemuinya.

“Ada kabar gembira buatmu, Di!” kata Munip.

“Aku sudah bosan dengan kabarmu yang katamu selalu gembira itu,” kata Radi yang sudah tidak peduli lagi dengan kabar temannya itu.

“Tapi ini lain, Di! Dengarkan dulu apa yang ingin aku bicarakan!”

“Aku tahu, kau ingin menolongku, bukan?”

“Apa kau sudah tidak suka lagi bersahabat denganku?” tanya Munip agak sedikit kesal.

“Percayalah, kau tetap kuanggap sahabatku yang baik,” kata Radi.

“Aku tak mengerti dengan sikapmu itu, Di.”

“Aku sendiri tak mengerti, mengapa mataku tiba-tiba menjadi seperti ini.”

“Itu kan penyakit.”

“Aku tahu. Tapi penyakitku ini tidak umum.”

“Karena tidak umum itulah kau harus terus berusaha mencari penyembuhan.”

“Aku sudah terlalu lelah berusaha. Sudah berpuluh-puluh dokter, tabib, sampai dukun, tetap tak ada hasilnya. Kini aku pasrah, terserah Tuhan mau diapakan aku ini.”

“Kau tak perlu bicara seperti itu.”

“Pokoknya, aku tak mau bicara lagi masalah pengobatan mataku ini.”

“Ternyata kau keras kepala juga.”

“Ya, sejak penderitaan ini aku mulai belajar menjadi orang yang keras kepala.”

“Baiklah, itu memang urusanmu sendiri. Tapi terimalah ini, barangkali suatu saat kau berubah pikiran,” kata Munip sambil meletakan kertas selebaran di atas meja. Lalu Munip meninggalkan Radi dengan membawa kekecewaan.

Radi tak memperhatikan kertas itu. Baru beberapa hari kemudian, Radi mulai teringat selebaran pemberian Munip itu. Ketika selebaran itu dibacanya, isinya promosi mengenai pengobatan mata.

“Ini upayaku yang terakhir kalinya,” bisik Radi pada diri sendiri. Kemudian Radi melangkah menuju tempat yang disebutkan dalam selebaran itu.

Ketika sampai di tempat yang ditujunya, Radi membaca sebuah papan nama dengan tulisan: ‘Bapak Ngestu. Terkun segala macam penyakit mata’.

Radi dapat menerka. Terkun merupakan akronim dari ‘Dokter Dukun’. Entah dokter berpraktek dukun atau dukun yang berpraktek dokter. Yang jelas bukan dokter biasa. “Tapi biarlah, asal bisa sembuh,”  kata Radi dalam hati. Dengan melihat kiri kanan, Radi memasuki rumah itu. Di situ sudah berkumpul banyak orang yang mau berobat. Mau tak mau Radi harus menunggu cukup lama.

Akhirnya sampai juga gilirannya.

“Apa yang anda rasakan?” tanya Terkun ketika Radi maju ke hadapannya.

“Macam-macam,” jawab Radi sambil menceritakan panjang lebar tentang penyakit mata yang dideritanya.

“Coba lepas kaca matamu itu!”

Radi melepaskan kaca matanya. Terkun mengamatinya, kemudian membuka lebar-lebar kedua mata Radi.

“Sudah lama penyakitmu ini?”

“Kurang lebih satu tahun, pak.”

Terkun geleng-geleng kepala.

“Boleh saya pakai kembali kaca mata ini?” pinta Radi yang sudah tak tahan lagi menahan genangan air matanya.

“Pejamkan matamu!” perintah Terkun.

Setelah Radi memejamkan matanya, Terkun itu mengoles-oles mata Radi dengan semacam ramuan yang dibuatnya sendiri.

“Jangan dulu membuka mata sebelum ada perintahku.”

Radi terpaksa menurut. Selama beberapa saat, tak ada yang berbicara.

“Buka matamu pelan-pelan…” terdengar perintah Terkun. Dengan sangat hati-hati Radi membuka matanya.

“Oleskan ini setiap habis mandi dan mau tidur,” kata Terkun sambil menyodorkan sebuah ramuan kepada Radi.

“Berapa saya harus membayar, Pak?” tanya Radi sambil mengenakan kaca matanya.

“Nanti kalau matamu sudah sembuh, baru kau bayar semampumu. Tapi kau harus melepaskan kaca matamu itu. Biar saja disimpan di sini,” kata Terkun sambil menadahkan tangannya.

“Tapi saya belum bisa melihat tanpa kaca mata,” bantah Radi.

“Kau ingin matamu sembuh atau ingin kacamata?” kata Terkun dengan nada membentak.

Dengan sangat terpaksa Radi melepaskan kacamatanya dan memberikannya kepada Terkun. Walau matanya terus mengeluarkan air mata, Radi mencoba terus menahan diri.

Sesuai dengan petunjuk Terkun, setiap hari Radi dengan tekun mengoleskan ramuan itu ke matanya, hingga akhirnya ramuan itu habis. Beberapa hari kemudian, mata Radi mulai membaik. Dan akhirnya pulih seperti semula.

Radi tak lupa dengan janjinya sendiri. Sisa tabungannya yang ada diberikannya semua kepada Terkun yang telah mengobatinya.

Radi merasakan hidup ini kembali normal. Tapi lama kelamaan Radi merasakan ada sesuatu yang tidak normal di matanya. Karena setiap kali melihat wanita cantik, mata Radi tak pernah berkedip. Mata itu melotot terus hingga wanita yang dilihatnya hilang dari pandangan matanya. Bahkan pada suatu hari, ketika Radi berpapasan dengan seorang wanita, spontan badannya berbalik dan matanya melotot dengan tatapan seperti seekor kucing ingin memangsa tikus. Merasa ada yang tidak beres dengan matanya, Radi kembali ke Terkun yang pernah mengobati matanya.

“Apa ada kelainan di matamu?” tanya Terkun.

“Ada,” jawab Radi singkat.

“Apa ada gejala seperti dulu?”

“Tidak.”

“Sekarang rasanya bagaimana?”

“Bila melihat wanita cantik, mata saya tidak mau berkedip,” jawabnya polos. Terkun tertawa terbahak-bahak.

“Ini serius, Pak!” kata Radi agak kesal karena ditertawakan.

“Itu namanya lelaki normal,” kata Terkun masih tertawa kecil.

“Ini bukan masalah lelaki, mata saya yang tidak normal, Pak!” kata Radi sedikit membentak.

“Kau jangan main-main di sini, nak.”

“Saya datang ke sini bukan untuk main-main, tapi untuk berobat.”

“Di sini bukan untuk pengobatan seperti itu, nak.”

“Lalu apa artinya bapak memasang papan nama dengan tulisan segala macam penyakit mata dapat diobati? Apa itu bukan penipuan namanya?”

“Pergi dari tempat ini!” bentak Terkun merasa dipermainkan. Dan bersamaan dengan itu, muncullah seorang wanita muda memberikan sejumlah ramuan kepada Terkun.

Radi yang belum beranjak dari tempat itu, spontan matanya melotot tak berkedip menatap wanita itu.

“Ada apa, Mas?” tanya wanita muda itu merasa kurang senang dengan tatapan Radi seperti itu.

Radi tak menjawab, matanya masih tetap melotot menatap wanita muda yang ada di hadapannya. Terkun yang melihat hal itu mulai menyadari apa yang tadi dikatakan Radi, kemudian menyuruh wanita muda itu untuk segera pergi. Setelah itu sunyi. Tak ada yang berbicara beberapa saat.

“Sekarang bapak mulai mengerti, nak,” kata Terkun memulai pembicaraan.

“Apakah bapak bisa mengobatinya?” tanya Radi setelah kembali sadar.

“Sebenarnya matamu tidak apa-apa. Hanya ada kelainan saja di hatimu.”

“Apa maksud, bapak?”

“Bapak tak bisa menerangkan, sebab itu bukan bidang bapak.”

“Lalu saya harus bagaimana?”

“Untuk sementara kau pakai kacamata ini, milikmu sendiri yang belum kau ambil tempo hari.”

Radi menerima kacamata miliknya sendiri. Lalu  pergi meninggalkan tempat praktek Terkun. Dan selama perjalanan pulang, Pikiran Radi berputar-putar mencari jawaban tentang hubungannya antara mata, hati, dan kacamata hingga wanita.

Kanci, Cirebon, Desember 1992.

Wawan Hamzah Arfan, lahir di Cirebon, 8 Juni 1963. Pendidikan terakhir Pasca Sarjana Universitas Pakuan (Unpak) Bogor, Jurusan Manajemen Pendidikan (2006). Sejak tahun 80-an karya-karyanya berupa puisi, cerpen, artikel, dan esai tersebar di berbagai media, seperti koran maupun majalah. Beberapa puisinya terhimpun dalam Antologi Puisi, dan telah menerbitkan buku puisi tunggal.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *