Pengantar
Manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling terakhir dari proyek penciptaan Tuhan yang dilakukan selama 6 hari. Manusia diciptakan Tuhan dihari terakhir sebab penciptaan manusia itu lebih merupakan pertanda dan tindakan langsung dari hikmat dan kuasa ilahi dari pada penciptaan makhluk-makhluk lain. Kisah penciptaannya diperkenalkan dengan cara yang begitu khidmat, dan ditampilkan berbeda dari penciptaan makhluk-makhluk lain. Manusia diciptakan pada hari yang sama dengan binatang-binatang, karena tubuh manusia yang tercipta dari tanah dibuat memiliki darah daging seperti binatang-binatang. Dan, selama ia berada dalam tubuh, ia mendiami bumi yang sama bersama-sama dengan mereka. Kiranya jangan sampai terjadi bahwa dengan memanjakan tubuh dan keinginan-keinginannya, kita menjadikan diri kita seperti bintang-binatang yang akan binasa.
Karya penciptaan ini sangat berkaitan erat dengan ajaran kreasionisme. Istilah kreasionisme paling sering digunakan untuk menggambarkan keyakinan bahwa Penciptaan terjadi secara harafiah seperti yang digambarkan dalam Kitab Kejadian (untuk orang Yahudi maupun Kristen) atau Al Qur’an (untuk umat Muslim). Meskipun Kitab Suci Ibrani dapat secara bebas diterjemahkan untuk menyiratkan penyangkalan terhadap pemahaman “Penciptaan dari ketiadaan” (creatio ex nihilo) dan, menurut sejumlah pakar, mungkin bahkan mengajukan penjelasan-penjelasan yang berbeda tentang Penciptaan, beberapa orang Yahudi dan Kristen menggunakan Kitab Kejadian semata-mata untuk mendukung keyakinan mereka tentang asal usul segala sesuatu. Lihat Penciptaan menurut Kitab Kejadian.[1]
Salah satu presaposisi dasar dari pandangan Kristen tentang manusia adalah kepercayaan kepada Allah sebagai pencipta. Presaposisi ini, memimpin pada pandangan bahwa pribadi manusia tidak bereksistensi secara otonom atau independen, melainkan sebagai ciptaan Allah. Penciptaan ini sangat jelas dalam Kitab kejadian (kej.1:1,27)” pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi….maka Allah menciptakan manusia itu.”[2]
Manusia, Imago Dei
Ada interpretasi berbeda terhadap ekspresi dari imago Dei. Interpretasi patristik: Yustinus Martir, Irenius dan Origines memakai dua term Ibrani yang berbeda dalam menyebut imago Dei. Term selem digunakan untuk menyebut gambar Allah dan term demut untuk menyebut rupa Allah. Term selem menunjuk kepada dimensi corporal atau natural (forma jasmaniah) manusia dan term demut menunjuk pada dimensi supernatural (forma roahniah) manusia. Ada pula paham yang mengatakan bahwa ungkapan imago Dei itu bermakna kesegambaran dan keserupaan corporal manusia dengan Allah di satu sisi dan di satu sisi lain kesegambaran dan keserupaan spiritual manusia dengan Allah. Namun dimensi imago Dei terpantul hanya dalam salah satu aspek manusia saja walapun tiada polarisasi antara selem- demut. Imago Dei itu terletak pada atmosfir immaterial atau non-corporal manusia.[3] Refleksi teologis lainnya tentang imago Dei yang non-corporal. Imago Dei adalah kecakapan untuk membedakan mana yang baik, mana yang jahat, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Gambar Allah adalah sifat Adam ketika ia masih memliki pengertian yang benar, berpedoman pada akal nafsunya berimbang, dan bakat-bakatnya memancarkan keagungan Penciptanya. Gambar Allah tampak dalam dua unsur pokok, yaitu kecerdasan akal budi dan ketulusan hati. Namun, tidak ada bagian dari manusia, bahkan tubuhnya, yang tidak dihiasi dengan pantulan sinar kemuliaan, yakni kemuliaan gambar Allah.
Martin Luther berpendapat bahwa, gambar Allah menunjukan bahwa Adam diterangi dengan pengetahuan yang benar tentang Allah yang menunjukan ketulusan yang tinggi untuk mengasihi sesamanya dan Allah. Luther, khusus mengartikan kesegambaraan sebagai kebenaran asli yang melekat pada manusia misalnya tampak dalam penghargaannya pada kebenaran dan kebaikan. Sedangkan Luther mengartikan kesegambaraan umum sebagai relasi manusia kepada dunia yang dinampakkan dalam kedudukannya yang memerintah ciptaan lainnya. [4]
Egologi
Egologi telah mendominasi budaya saat ini dan menghancurkan “kerohanian” termasuk kekristenan. Selanjutnya Egologi akan menghancurkan secara fisik kecuali manusia mengubah budaya-budaya dominan yang ada saat ini yang sifatnya dan karakternya mengagungkan map atau rancangan “io” dan melupakan “altro”. Perilaku egoistik begitu dominan sehingga melumpuhkan sikap altruis manusia.
Ilmu ingat diri (Egologi) sangat berkembang di abad modern ini. Egologi berpendirian bahwa setiap manusia bersifat ke-aku-an yakni setiap orang boleh melakukan segala sesuatu yang bertujuan memberikan manfaat, keuntungan dan kenikmatan kepada dirinya sendiri tanpa harus berjerih-payah untuk mempertimbangkan kebaikan orang lain di sekitar. Menurut Egologi, setiap perbuatan yang membawa keuntungan dan kenikmatan bagi diri, itu termasuk kebaikan. Sebaliknya sebuah perbuatan itu dipandang buruk jika merugikan diri sendiri atau tidak mendatangkan kenikmatan atau keuntungan bagi si “aku.” [5]
Perilaku manusia pertama-tama digerakan oleh kepentingan diri, keterpusatan pada diri sendiri (self-centrendness), atribut utama pemenuhan hasrat itu ialah kalkulasi rasional, orientasinya pada rasa puas akan harta maupun materi, sebab hal itu akan mengakibatkan terjadinya kolonialisasi yang akan mengambil rupa komersialisasi dalam berbagai bidang kehidupan. Egologi menjadikan manusia dengan alam semesta menjadi berubah. Manusia merasa sebagai makhluk yang rasional dan menganggap dirinya dalam posisi superior atau penguasa sedangkan alam ditempatkan dalam posisi inferior atau dibawah.
Kesimpulan
Tuhan menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya (imago Dei). Gambar dan rupa menandakan gambar yang paling serupa, kemiripan yang paling dekat dari semua makhluk yang kelihatan. Manusia tidak dijadikan dalam rupa makhluk mana pun yang sudah ada sebelum dia, tetapi dalam rupa Penciptanya. Namun, tetap saja di antara Allah dan manusia terbentang jarak yang tak terbatas. Kristus sajalah yang merupakan gambar wujud pribadi Allah, sebagai Anak Bapa-Nya, karena mempunyai hakikat yang sama. Ini hanya sebagian dari kehormatan Allah yang diberikan kepada manusia, yang hanya merupakan gambar Allah seperti bayangan di dalam cermin, atau cetakan wajah raja pada uang logam. [6]
Meski kita tak dapat secara rasional memahami bagaimana manusia bisa menjadi ciptaan dan pribadi bersamaan, jelas hal ini harus kita terima. Menolak salah satu sisi paradoks ini berarti gagal memahami gambaran yang Alkitabiah. Alkitab mengajarkan peri-keterciptaan (creaturelines) dan peri-kepribadian (personhood). Hal ini menunjukan bahwa Alkitab memiliki keterlibatan dalam karya penciptaan. Manusia adalah satu ciptaan sekaligus satu pribadi; ia adalah pribadi yang diciptakan yang menjadi misteri sentral.[7]
Alam semesta disebut santu Fransisikus Assisi dengan bahasa bersahabat dan lembut yakni saudari dan ibu yang jelita. Santo Fransisikus dari Assisi dengan mengingatkan kita bahwa rumah kita bersama bagaikan Saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan seperti ibu yang jelita yang menyambut kita dengan tangan terbuka. “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena saudari kami, Ibu Pertiwi, yang menopang dan mengasuh kami dan menumbuhkan berbagai buah-buahan, beserta bunga warni-warni dan rerumputan”.[8]
Namun perilaku manusia yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan menganggap dirinya sebagai pusat (self-centrendness) atau disebut ilmu egologi, mengakibatkan manusia menjadi sangat rakus dan menghancurkan alam semesta beserta isinya tanpa adanya rasa belas-kasih. Manusia tidak menganggap lagi alam semesta sebagai Saudari dan ibu yang jelita melainkan dianggap hanya pemenuhan kebutuhan dari manusia. Sehingga mengakibatkan alam semesta beserta isinya menjadi menderita karena ulah manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Naif Okto., 2021, Bahan Ajar Ekoteologi, Seminari Tinggi St Mikhael-Penfui, Kupang.
Thielicke Helmut., 1984, Theological Ethics I, Grand Rapid: Eerdmans, Michigan.
Borrong P Robert., 2009, Etika Bumi Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Nyanyian Saudara Matahari atau Gita Sang Surya dalam Karya-Karya Fransisikus dari Assisi., 2000, Kanisius, Yogyakarta.
Aviezer, Nathan.1990, In the Beginning: Biblical Creation and Science. Ktav, Hardcover
Hoekema, Antony.2008, Manusia Ciptaan Menurut Gambar Allah, Surabaya.
Footnote
[1]Aviezer, Nathan. In the Beginning: Biblical Creation and Science. Ktav, 1990. Hardcover.
[2]Hoekema, A. Antony. Manusia ciptaan menurut gambar Allah.2008.hal.7
[3]Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal 221.
[4] Helmut Thielicke, Theological Ethics I (Michigan: Grand Rapid: Eerdmans, 1984), 154
[5] Rm. Okto Naif, Bahan ajar Ekoteologi (Seminari Tinggi St. Mikahel-Penfui, 2021), hal 22-23
[6] Rm. Okto Naif, Op. Cit., hal. 5
[7] Hoekema, A. Antony. Manusia ciptaan menurut gambar Allah.2008.hal.9
[8] Nyayian Saudara Matahari atau Gita Sang Surya dalam Karya-Karya Fransiskus dari Assisi, Yogyakarta: Kanisius, 2000, 324-326