
Mantra Dalam Kebudayaan Sunda
(Bagian 1)
Hardi Rahman
Hampir seluruh kebudayaan yang terdapat di Indonesia memiliki berbagai jenis sastra lisan dan sastra tulis. Dua hal tersebut adalah unsur kebudayaan yang berusia sangat tua sehingga bisa dijadikan sebagai penanda suatu peradaban. Sastra lisan adalah sesuatu yang dekat dengan kehidupan masyarakat tradisional sehari-hari, sedangkan sastra tulis sendiri menjadi bagian dari pendokumentasian sastra lisan, seperti penulisan kitab tentang suatu ajaran, dongeng, dan lainnya yang aktivitasnya cukup jarang dilakukan oleh kalangan masyarakat umum. Para penulis karya sastra tersebut, dalam masyarakat tradisional, merupakan orang-orang tertentu yang memiliki gelas khusus, seperti Empu, Sesepuh, dan Kyai. Beberapa jenis aktivitas sastra lisan dapat dilakukan oleh masyarakat umum, sedangkan jenis-jenis tertentu hanya sebagian orang saja yang memiliki kemampuan untuk melakukannya-misalnya, Mantra.
[iklan]
Ada hal unik dari mantra, yaitu bisa masuk ke dalam dua bentuk – sastra lisan dan sastra tulis – karena selain dilafalkan, mantra pun ditulis di dalam buku atau kitab. Hal ini dilakukan agar apabila si pelafal mantra wafat, masih ada orang lain yang bisa menjadi penerus dan mempelajari mantra tersebut. Mantra sendiri dapat hidup dan bertahan lama di tengah-tengah masyarakat tradisional sampai sekarang. Ekadjati dkk. (1988) melakukan investigasi dan pencatatan naskah Sunda. Dia menemukan 76 naskah yang, secara khusus, memuat mantra dan kumpulan doa.
Poerwadarminta (1988) mengemukakan definisi mantra sebagai perkataan atau ucapan yang mendatangkan daya gaib (misalnya, dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya). Definisi lainnya adalah susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib – biasanya diucapkan dukun atau pawing untuk menandingikekuatan gaib yang lain. Sebuah kesimpulan dapat ditarik, yaitu bahwa mantra memiliki kekuatan gaib yang menimbulkan efek tertentu bagi si pelafalnya.
Mantra, pada umumnya, berkaitan dengan aktifitas sehari-hari dalam masyarakat tradisional. Misalnya adalah mantra berikut ini:
Asihan Si Burung Pundung
Asiahan aing si burung pundung
maung pundung dating amum
badak galak datang depa
oray laki datang numpi
burung pundung burung cidra ku karunya
malik welas malik asih ka awaking
(Dari Panyungsi Sastra, karya Yus Ruyana)
Mantra tersebut termasuk jenis asihan, yaitu mantra yang bertujuan agar si pelafalnya dicintai lawan jenisnya. Selain itu berdasarkan fungsinya, mantra dikelompokkan ke dalam 6 golongan, yaitu: jangjawakan, asihan, jampe, ajian, singular dan rajah. Dari segi isi, mantra dibagi menjadi 2 golongan: Mantra untuk Keselamatan dan Mantra untuk Mencelakakan orang lain (misalnya Teluh)*) Keberagaman ini menjadi salah satu kekayaan berbahasa di dalam kebudayaan Sunda.
Oleh karena itu, di dalam masyarakat tradisional selalu tersimpan tradisi mantra untuk kehidupan sehari-hari. Di samping itu, dalam tatanan masyarakat tradisional, ada seseorang yang peranan penting dalam hal melakukan perafalan mantra. Orang tersebut memiliki posisi khusus yang cukup disegani dan dihormati di tengah-tengah masyarakat. Hal yang demikian itu dapat dilihat dari sangat jarang orang-orang yang menguasai teks mantra secara lisan. Seolah-olah, mantra bukan sesuatu yang sembarangan dan sepertinya cukup sulit untuk dikuasai oleh orang awam.
Orang-orang yang memiliki kewenangan melafalkan mantra-mantra khusus, biasanya, adalah orang-orang yang memang sengaja mendalami ilmu-ilmu tertentu karena kepercayaan mereka terhadap hal-hal gaib. Hal-hal gaib tersebut memiliki fungsi dan peranan penting di masyarakat. Kepercayaan akan hal-hal gaib ini telah tumbuh dan berkembang sebelum masuknya agama-agama dari luar Nusantara. Mantra-mantra tersebut berasal dari keyakinan bahwa mahluk gaib tersebut bisa melakukan perintah sesuai kehendak yang diinginkan si pelafal mantra . Hal ini dapat ditangkap dari berbagai teks mantra yang menyebut nama-nama mahluk gaib yang dihormati dan dianggap sacral, seperti Pohaci, Sanghyang Asri, Batara, Batari, Sang Encang-encang, Ratu Pangeran Hantarum, Sri Tunggal Sampurna, Malaikat Incer Putih, Raden Anggal Keling, Pangeran Angga Waruling, Sang Mutiara Putih, Sang Ratu Mangangluh, Si Kabayan, Sangkuriang, Guriang, dsb. Ada pula yang melafalkan mantra dengan memanggil karuhun atau leluhur untuk dapat membantu mereka.
Keberadaan mantra, tampaknya, telah menjadi salah satu prasyarat keberhasilan yang diyakini oleh masyarakat tradisional. Banyak petani yang ingin sawahnya subur, terbebas dari hama, dan hasil panen yang melimpah atau juga pedagangyang ingin mendapatkan keuntungan besar dari hasil penjualannya, menggantungkan kepercayaan pada mantra. Keunikan fungsi mantra ini telah mengurangi keterbatasan manusia dalam mencapai sesuatu yang sulit mereka capai. Karena itu, mantra, sebagai peninggalan nenek moyang dapat diterima dengan baik dan diaplikasikanke dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat tradisional secara umum. (bersambung)
baca sambungannya di tautan ini https://mbludus.com/mantra-dalam-kebudayaan-sunda-2/
Catatan:
Tulisan ini diunggah ulang dari majalah Kebudayaan JAWARA edisi perdana tahun 2016, atas seijin penulisnya yang notabene adalah Redaktur Pelaksana dari majalah tersebut.
*) Materi Pengembangan dan Pembelajaran Sastra Daerah (Sunda)-Modul Kajian Sastra Lama PLPG
Hardi Rahman, mantan Redaktur Pelaksana majalah JAWARA ini tinggal di Balaraja, Tangerang. Mantan kekasihnya (sekarang istrinya) seorang ahli gizi. Bapaknya buruh dan Mamanya ibu rumah tangga. Aktif di kelompok diskusi Hitam Putih Abu-abu dan sesekali magang di Dapoer Sastra Tjisaoek.