Mantra Dalam Kebudayaan Sunda
(Bagian 2)
Hardi Rahman

 

Baca sebelumnya di bagian pertama, klik di sini https://mbludus.com/mantra-dalam-kebudayaan-sunda

Mantra di Kalangan Santri dan Campur Tangan Makhluk Gaib

Masyarakat terbagi ke dalam dua golongan jika dihubungkan dengan kehadiran dan sikap masyarakat terhadap keberadaan mantra pada zamannya: masyarakat penghayat dan bukan penghayat mantra. Di dalam masyarakat penghayat sendiri terdapat 2 golongan, yaitu penghayat aktif dan penghayat pasif. Penghayat aktif adalah Dukun dan pengamal mantra yang membacakan sendiri mantranya. Penghayat pasif adalah pengamal mantra dengan bantuan Dukun untuk membacakan mantra – ia tinggal menyediakan persyaratan dan bersedia mematuhi segala peraturan dan larangan demi Dukun atau Gurunya. Selain itu, yang termasuk penghayat pasif adalah orang yang mengakui dan percaya terhadap mantra dan percaya bahwa mantra akan mampu menjawab masalah-masalah yang ada di luar jangkauan pemikiran dan kekuatan manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat bukan penghayat mantra adalah masyarakat, yang secara langsung atau tidak langsung, menolak kehadiran mantra dan menganggap tindakan masyarakat yang menggunakan mantra secara aktif atau pasif dalam kehidupannya sebagai perbuatan syirik.*

[iklan]

Hal ini bisa menimbulkan berbagai bentuk persepsi di masyarakat. Penghayat mantra menganggap mantra merupakan sesuatu yang nyata dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Sedangkan, mereka yang bukan penghayat mantra menjadikan mantra sebagai sesuatu yang syirik (bagi mereka yang memiliki pemahaman agama yang melarang aktivitas di luar dogmanya) dan sesuatu yang tidak masuk akal (bagi kalangan rasional). Mereka yang menganggap mantra sebagai sesuatu yang tidak masuk akal adalah kalangan yang memakai sisi rasional dan menganggap bahwa makhluk gaib itu tidak ada, demikian juga hubungan dengan leluhur yang sudah wafat, belum lagi karena berbagai persyaratan yang tidak masuk akal guna mendapatkan keberhasilan dari efek mantra tersebut. Tindakan-tindakan yang tidak masuk akal kerap kali memang menjadi perdebatan serius antara berbagai penganut kepercayaan, seperti kepercayaan akan adanya makhluk gaib.

Keberadaan makhluk gaib, baik dari tokoh-tokoh yang disebutkan dalam teks mantra, maupun karuhun, dianggap sebagai jembatan keberhasilan mantra tersebut. Makhluk gaib yang berada di ‘dunia lain’ itu seolah memiliki kemampuan khusus yang tidak dimiliki oleh manusia, sehingga mereka diperintah untuk melakukan berbagai aktivitas yang mampu mengatasi batas kemampuan manusia.

Namun, tidak semua mantra yang mengandalkan kepercayaan terhadap makhluk gaib menggunakan nama-nama makhluk gaib atau karuhun. Di beberapa mantra tertentu terdapat kalimat-kalimat yang menyebut nama Tuhan dalam bahasa Arab, seperti yang terdapat dalam mantra pelet berikut ini:

Pelet

Bismillah
Kum awewe
Wataji kulhu absar
Wahuwa Latiful Khabil
Sabulan sang ratu nu colalang
Sabulan mangrupi
Dua putri mananjo
Tujuh bulan kolot
Salapan bulan sang goledah
Gereleng putih
Jig ka cai ngadon ceurik
Jig ka darat ngadon midangdam
Jig ka imah asa jobong koong
Kop cai asa tuak bari
Kop dahar asa tatal bobo
Kaula nyaho ngaran sia … si …

Pada baris awal mantra pelet di atas, terdapat kalimat Bismillah, yang memiliki makna ‘Dengan mengucap nama Allah’, seolah si penghayat mantra aktif memohon izin kepada Tuhan terlebih dahulu agar khasiat mantra bisa ampuh. Penggunaan bahasa Arab disinyalir merupakan akulturasi budaya Islam ke dalam budaya Sunda.

Jadi, bisa saja seorang penghayat mantra aktif – yang mungkin saja seorang pendakwah atau siapapun yang terpengaruh oleh Islam – mengkombinasikan mantra dengan kalimat bahasa Arab yang mengandung nilai-nilai keislaman, seperti yang terdapat dalam mantra berikut ini:

Panolak Teluh
Siriwi kula siratin
Mina haji kurawul kabuli badan
Papag papupang-pulang
Cunduk nyungcung dating rahayu
Anu runtuh sira nu gempur
Nu ngadek sira nu paeh
Nu nyimbeuh sira nu baseuh
Nu nyundut sira nu tutug
Nya aing Ceda Wisesa
Panca buana di buana panca tengah
Tiis ti peuting ngeunah ti beurang Ngeunah ku Allah Taala
Ya Allah hurip waras (3x)

Di dalam mantra ‘Panolak Teluh’ di atas, juga disebut nama Tuhan. Tuhan di sini dimaksudkan sebagai pemegang keputusan tertinggi akan ampuh atau tidaknya mantra. Bahkan, pada baris terakhir, tertulis ‘Ya Allah hurip waras’ sebanyak 3 kali.

Mantra yang menyebut nama Tuhan dalam bahasa Arab merupakan bentuk doa yang dibalut dengan bahasa local. Berbeda dengan doa yang umum, mantra ini tetap memerlukan berbagai jenis persyaratan dan hanya penghayat mantra aktif yang dapat melafalkan mantra. Meskipun demikian, mantra-mantra yang berbentuk seperti ini ternyata juga populer di kalangan santri.

Pada kenyataannya, para murid yang menuntut ilmu di dunia pesantren tentu tidak asing dengan berbagai jenis mantra. Mantra-mantra dunia pesantren diwarnai perpaduan bahasa dan kebudayaan. Perpaduan tersebut terjadi karena adanyakeinginan mempertahankan kebudayaan local sekaligus juga nilai-nilai keislaman. Walau banyak kontroversi di kalangan masyarakat terhadap kepopuleran mantra di kalangan kaum santri, hal tersebut tidak membuat keberadaan mantra menjadi surut.

Dari sana, ditulislah kitab-kitab yang memuat berbagai jenis mantra yang memiliki berbagai fungsi, termasuk berbagai mantra untuk ilmu kedigjayaan. Bahkan, ada beberapa pesantren tradisional yang mengkhususkan diri kepada ilmu kekebalan dengan mantra-mantra yang dianggap menyimpan suatu kekuatan sumber kekebalan.

Bagi kaum santri, penyebutan tokoh-tokoh selain Tuhan ataupun nama Nabi, seperti Karuhun atau Leluhur lainnya, adalah sebagai penghormatan kepada nenek moyang. Ketentraman hati pun tercipta manakala dirasakan adanya suasana keakraban non fisik dengan leluhurnya. Hal ini merupakan kondisi yang menguntungkan bagi terciptanya konsentrasi penuh dalam  memohon kepada Allah agar mengabulkan permintaannya. (bersambung)

baca di sini untuk sambungannya, klik https://mbludus.com/mantra-dalam-kebudayaan-sunda-3/

Catatan:
Tulisan ini diunggah ulang dari majalah Kebudayaan JAWARA edisi perdana tahun 2016, atas seijin penulisnya yang notabene adalah Redaktur Pelaksana dari majalah tersebut.

Hardi Rahman, mantan Redaktur Pelaksana majalah JAWARA  ini tinggal di Balaraja, Tangerang. Mantan kekasihnya (sekarang  istrinya) seorang ahli gizi. Bapaknya buruh dan Mamanya ibu rumah tangga. Aktif di kelompok diskusi Hitam Putih Abu-abu dan sesekali magang di Dapoer Sastra Tjisaoek.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *