Malam Midodareni

Bagi mereka yang masih memegang teguh budaya warisan leluhur, sebuah perkawinan  biasanya  harus dilaksanakan dengan rangkaian ritual tertentu sesuai dengan tuntunan leluhur. Dalam pernikahan secara adat Jawa, misalnya. Midodareni adalah proses atau ritual menjelang akad nikah  yang akan diselenggarakan pada keesokan harinya.

Midodareni  biasanya diselenggarakan pada malam hari, karena itu dikenal juga dengan istilah Malam Midodareni. Ritual ini konon kabarnya berasal dari legenda Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan. Diceritakan kalau Dewi Nawangwulan adalah seorang Bidadari yang turun ke bumi dari kayangan untuk  menjenguk putrinya, Dewi Nawangsih, yang akan menikah.  Nawangsih adalah anak dari perkawinan Jaka Tarub dengan bidadari Nawangwulan. Ketika Dewi Nawangsih masih bayi, sang ibu, Dewi Nawangwulan, meninggalkan putrinya kembali ke kayangan. Sekali-kali ia turun ke bumi untuk melihat dan merawat anaknya, sampai si anak remaja dan akan menikah. Berangkat dari legenda inilah masyarakat Jawa tradisional mulai mengenal Malam Midodareni. Malam di mana para bidadari akan turun ke bumi memberikan wahyu yang dapat menyempurnakan kecantikan calon pengantin wanita.

[iklan]

Malam Midodareni bisa juga diartikan sebagai pingitan untuk Calon Pengantin Wanita (CPW), sebelum prosesi pernikahan dilaksanakan pada esok harinya.  Pada malam midodareni itu CPW harus berdiam diri dalam kamar dengan busana yang biasa dan tata rias sederhana, setelah sebelumnya melakukan siraman. Di dalam kamarnya, CPW ditemani oleh sesepuh yang memberikan wejangan-wejangan dalam hidup berumah tangga. Berikut ini adalah rangkaian acara dalam prosesi malam midodareni dalam adat Jawa.

1. Jonggolan
Calon Pengantin Lelaki (CPL) bersama keluarga besarnya berkunjung ke rumah CPW. Maksud dan tujuan kunjungan tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa CPL dalam keadaan sehat dan telah mantap hatinya untuk menikahi putri dari tuan rumah. CPL datang bersama para pendampingnya dengan membawa macam-macam bingkisan sebagai Seserahan. Bingkisan tersebut biasanya jumlahnya ganjil. Selama berada di rumah CPW, si CPL menunggu di beranda dan hanya disuguhi air putih oleh calon ibu mertuanya.

2. Tantingan
Setelah kedatangan CPL beserta para pendampingnya menunjukkan kemantapan hati, Selanjutnya kedua orang tua calon pengantin perempuan menemui putri mereka yang sedang menjalani masa pingitan di dalam kamar pengantin. Sang putri, CPW ditanya kembali, apakah dirinya sudah siap dan hatinya sudah mantap untuk menerima pinangan dari sang kekasih. Setelah sang putri menyatakan keikhlasan hatinya untuk dipinang oleh sang kekasih hati dan menyerahkan sepenuhnya kepada bapak ibunya, maka kedua orang tua kembali menemui menemui tamunya (rombongan CPL) untuk menyerahkan Catur Weda.

3. Penyerahan Catur Weda
Catur Wedha adalah wejangan dari ayah pihak CPW, khusus kepada CPL. Catur Wedha berisi 4 pedoman hidup berumah tangga sebagai bekal untuk kedua calon pengantin yang nantinya akan mengarungi bahtera Rumah Tangga. Keempat pedoman tersebut adalah:

a. Hangayomi
Dalam bahasa Jawa, hangayomi berarti mengayomi atau melindungi. Maknanya adalah bahwa suami harus siap melindungi istri dan anakk-anaknya dengan sepenuh hati, tanpa pamrih. Sehingga dengan demikian, kelak di kemudian hari, kehidupan rumah tangga akan menjadi aman, tentram dan damai.

b. Hangayani
Hangayani berarti mensejahterakan. Maknanya adalah, bahwa sebagai kepala keluarga, seorang suami harus bisa mencukupi segala kebutuhan istri dan anak-anaknya. Sebuah rumah tangga hanya akan bisa kekal apabila kepala keluarga bisa mencukupi kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya..

c. Hangayemi
Hangayemi berarti memberi kenyamanan, rasa yang diinginkan oleh pasangan suami istri. Nasehat ini harus benar-benar dipegang teguh oleh calon pengantin lelaki, karena rasa nyamanlah yang bisa membuat pasangan memiliki rasa cinta selamanya.

d. Hanganthi
Hanganthi dalam bahasa Jawa berarti menuntun atau memimpin. Dalam kehidupan sebuah rumah tangga, seorang suami harus bisa menjadi pemimpin bagi istri dan anak-anaknya. Suami adalah nahkoda dalam perjalanan bahtera rumah tangga bersama istri dan anak-anaknya.

4. Wilujengan Majemukan
Setelah pembacaan Catur Weda berikut nasehat perkawinan selesai acara dilanjutkan dengan ramah tamah atau biasa disebut sebagai Wilujengan Majemukan. Pada acara ramah tamah ini kedua belah pihak membicarakan seputar persiapan acara resepsi akad nikah nantinya. Sebelum pamit pulang, pihak keluarga CPL mendapatkan angsul-angsul atau oleh-oleh berupa makanan. Sementara itu CPL memberikan sebuah Kancing Gelung yang berupa seperangkat busana yang akan dikenakan CPW nantinya, serta sebuah keris sebagai simbol yang maknanya adalah menjadi alat pelindung bagi keluarga kelak di kemudian hari.

Demikianlah, apabila kita cermati dengan hati bersih, pada tahap demi tahap dari prosesi acara midodareni itu tersembunyi hikmah yang yang cukup positip sebagai persiapan untuk memasuki kehidupan berumah tangga bagi calon pengantin lelaki dan wanita. (AY)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *