Mak Ngah minggat, usai beradu mulut dengan ibu kandungnya sendiri. Sesungguhnya, hanya perihal yang amat sepele, yakni kapan perempuan berumur tiga puluh dua tahun itu menjadi lebih mandiri tanpa menggantungkan diri kepada kedua orang tuanya yang mulai sepuh. Begitulah, kalimat padat yang dilontarkan ibunya. Sebab, Nek Jum –nama si ibu– mulai lelah mesti mengasuh anak-anak Mak Ngah setiap saat. Sedang, Mak Ngah masih belum jelas kehidupannya. Suaminya –Pak Ngah– hanya pekerja serabutan yang doyan pilih-pilih pekerjaan. Tanpa memikirkan kehidupan keluarga kecilnya. Pun, tentu saja mana terpikirkan perihal Nek Jum yang masih harus mengurus anak-anaknya dan tentu… tentu saja mesti membiayai keperluan Mak Ngah dan anak-anaknya.

Maka jadilah kini Mak Ngah di terminal Habang. Ia sibuk mematut-matut diri pada kaca jendela bus. Perempuan beranak tiga itu menarik napas kencang, mengacak-acak rambutnya, lalu melangkah menjauhi bus, menuju pusat keramaian yang berada tak jauh darinya –tempat para supir dan kernetnya duduk-duduk sembari mengudut, ngopi, dan ngobrol ngalor-ngidul.

Dengan hati-hati Mak Ngah mendekati kawanan pria penggemar touring itu. Sedang waktu telah menunjukkan pukul 17.30 WIB dan sedikit lagi hendak magrib.

“Assalammualaikum, Abang-abang!” sapa Mak Ngah pelan. Sungguh, ia sedang menguat-nguatkan tekadnya dan menumbuhkan keberaniannya yang hampir padam. Jika saja ia tak ingat, bahwa ia hendak membikin sejarah baru di hidupnya. Ya, ia ingin mendapatkan peruntungan hidup yang lebih baik lagi di negeri seberang. Tentu saja, ia lakukan demi membungkam mulut ibunya, yang ia rasa sangat menghinanya. Ahh.

“Waalaikum salam!” jawab para supir dan kernet berbarengan.

“Ada apa, Yuk?” tanya salah satu dari mereka. Mendengar pertanyaan yang tak disangka-sangkanya itu, Mak Ngah mulai gelagapan dan sibuk mengatur kalimatnya.

“Anu, Bang. Aku mau ke Pulau Mengkudu. Apa masih ada bus yang akan jalan malam ini?” tanya Mak Ngah hati-hati. Sungguh, sebetulnya ia tak yakin. Mengingat sejenak lagi tahun 2014 akan segera berakhir, hanya tinggal menghitung jam. Biasanya, menjelang malam tahun baru sudah tak ada lagi para supir yang mau beroperasi. Masing-masing lebih memilih menghabiskan tahun baru bersama keluarga tercinta, atau jika tidak ya … berkumpul bersama teman-temannya.

Suasana hening sejenak, para supir dan kernet saling berpandangan. Mungkin mereka meragukan kewarasan perempuan yang berdiri takut-takut di hadapan mereka.

“Ada perlu apa, Yuk?” tanya seorang pria dengan tompel di wajahnya.

“Anu, saya butuh tumpangan ke sana,” Mak Ngah menjawab seadanya. Tentu saja, para supir menolak mengantar. Mereka sudah tentu punya janji masing-masing selepas ini.

“Tolong, lah, Bang!” pinta Mak Ngah. Matanya hendak menangis. Namun, ditahan-tahannya.

“Eh, Mul. Cobalah kau supiri dia. Sekalian lah kau pulang kampung ke rumah emakmu itu!” Tiba-tiba pria dengan tompel di wajahnya angkat suara. Rupanya ia senior di sana. Maka mau tak mau, yang namanya disebutkan menurut saja. Meski sebetulnya ia enggan pulang ke rumah emaknya. Ia masih ingin menghabiskan waktu dengan Yuk Mika –pacarnya yang bahenol–

“Tapi ongkosnya gimana, Bang?” Mul mulai bimbang. Ia ragu-ragu akan mendapatkan tumpangan di malam tahun baru ini, bila tetap nekad melanjutkan perjalanan. Ia tak mau rugi.

“Sudah, kau pakai motor sajalah. Itung-itung jalan-jalan malam, kau! Nih, kuberi ongkos bensin!” Laki-laki itu memberikan selembar uang merah ke tangan Mul. Mul tak bisa lagi mengelak. Ahh, ia akan gagal menikmati kemontokan pacarnya.

Maka selepas magrib berangkatlah keduanya dengan sangat hati-hati. Mereka meninggalkan kemeriahan malam tahun baru dan hangatnya kebersamaan bersama orang-orang terdekat. Adapun Mak Ngah tahu betul itu. Bahwa ia harus meninggalkan anak-anaknya, meski hatinya teriris. Sedang di kepalanya, diam-diam mulai bermukim tiga ekor biri-biri. Dan ia tak tahu itu. Ia hanya menatap kekosongan malam, yang sejenak lagi akan ramai kembang api.

Ahh, Mak Ngah memegang erat besi di belakang jok motor. Mul mulai mengebut. Pikiran laki-laki lajang itu entah ke mana. Namun, ia begitu pandai menguasai motor dan jalanan. Wajar saja, jalanan ialah rumah pertamanya, setelah kekasihnya. Diam-diam laki-laki lajang beraroma cerutu itu tersenyum. Mungkin mengenang ciuman kekasihnya di malam lalu.

Sedang di sana, tiga puluh menit jauhnya, tiga anak kecil merengek-rengek meminta ibunya, sembari menarik-narik baju Nek Jum. Membuat perempuan tua itu mengadu kepada suaminya.

“Bang, teleponlah Sari. Anak-anak e nangis terus!” Ahh, mungkin saja rengekan anak-anak Mak Ngah ialah isyarat, pertanda akan nasib ibunya –si Sari yang keras kepala dan mau menang sendiri.

Oh, akankah biri-biri di kepala Mak Ngah beralih menuju peternakan Paman Donald. Agar kenyang perutnya, agar tenang tidurnya. Tak seperti di kepala Mak Ngah, yang ramai doa makan.

Dian Chandra atawa Hardianti, S.Hum.,M.Hum, lahir di Bogor, lalu besar dan menetap di Toboali, Bangka Selatan. Bukunya yang sudah terbit Sapatha dari Negeri Seberang (novel, 2021), Jalan-jalan di Bangka (puisi, 2022), Kepun (kumcer, 2023), Diary para Hewan (fable dewasa, 2023), dll.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *