Maafkan Aku, Papa Sayang

Diah Hastorini

Menikah karena paksaan orang tua membuat aku membenci suamiku sendiri hampir sepanjang kebersamaan kami. Aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Hanya karena kewajiban sebagai istri saja maka aku tetap melayaninya. Aku terpaksa melakukannya karena memang tak ada pilihan. Beberapa kali muncul keinginan untuk meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan apa-apa. Aku menyadari bahwa aku tak punya kemampuan finansial, juga dukungan keluarga. Orang tuaku yang sangat menyayanginya.

Aku memang amat dimanjakan dan sangat bergantung padanya. Bahkan ketika aku memutuskan untuk tidak mau punya anak, suamiku mendukung keinginaku walaupun hatinya sangatlah kecewa. Sampai suatu ketika aku tak menyadari bahwa ternyata aku telah hamil empat bulan. Hal itulah yang membuat aku sangat marah kepadanya.

Seiring waktu berlalu, delapan tahun sudah usia anakku. Seperti biasanya, pagi itu aku bangun paling akhir. Suami dan anakku sudah menunggu di meja makan untuk sarapan bersama. Usai sarapan, seperti biasa pula, ia memeluk dan mengecup keningku, lalu aku menghantarkan mereka sampai ke mobil. Di depan pintu mobil ia memandangku teramat lekat serasa berat untuk berangkat. Sejenak aku tertegun dengan tatapan mata suamiku. Tak biasanya ia menatapku seperti itu.

[iklan]

Setelah mereka berangkat aku memutuskan untuk pergi ke tempat butik langgananku. Hujan turun amat deras ketika aku sampai. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Hmm… ada apa dengan suamiku. Tidak biasanya dia menghubungi seperti ini. Ketika aku angkat terdengar suara asing di seberang sana. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara itu memperkenalkan diri.

“Selamat siang, bisa bicara dengan Ibu Angga?”

“Benar, saya sendiri. Ini dari siapa ya?”

Suara lelaki asing itu ternyata seorang polisi yang mengabarkan kalau suamiku mengalami kecelakaan lalulintas dan saat ini sudah berada di rumah sakit. Sejenak aku terpana. Badanku gemetar, kepala terasa pening. Seperti ada sesuatu membebani tubuhku yang tiba-tiba limbung. Aku bingung. Hatiku hampa.

Semakin hampa kurasa ketika kemudian aku tiba di rumah sakit. Aku terlambat. Suamiku telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Air mata jatuh menetes, dadaku terasa sesak, teringat akan apa yang telah ia berikan padaku selama ini. Kali ini aku merasa kehilangan.

Oh, mengapa disaat seperti ini aku baru bisa menyadari, betapa sesungguhnya selama ini betapa dia dengan ikhlas menyayangiku walaupun aku selalu membencinya. Air mataku merebak mengaburkan pandanganku. Aku usap air mataku agar tak menghalangi tatapan terakhirku. Aku ingin menatapnya selama mungkin.

Aku ingin mengingat kembali semua kenangan yang selama ini kulakukan hanya untuk menyakiti hatinya. Aku ingin minta maaf kalau selama ini aku tak pernah memperhatikannya. Aku begitu terluka dengan kepergiannya.

Hari-hari pun berlalu. Sejak kepergian suamiku itu yang kurasakan dalam hidupku ternyata bukanlah kebebasan seperti apa yang selama ini kuinginkan. Aku justru terjebak dalam keinginan untuk bersamanya. Hari-hariku jadi penuh dengan penyesalan karena tak sempat menunjukkan cintaku padanya. Selama ini aku menghabiskan waktu hanya untuk membencinya. Maafkan aku, Papa sayang.

Diah Hastorini, panggilan akrabnya Rini atau Mbak Di. Lahir di Jakarta. Dia senang menulis puisi dan cerita pendek. Beberapa karyanya tergabung dalam antologi puisi Kado Sang Terdakwa (2011), dan juga kumpulan ceritanya tergabung dalam Gadis dalam Cermin (2012).

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *