Piek Ardijanto sebagai penggembala para penyair di masanya yang telah melahirkan para penyair yang masih eksis sampai sekarang. Puisi-puisinya memiliki kekuatan dalam menyampaikan kehidupan sosial lokal. Hubungan antara keluarga, manusia dan alam menjadi ciri khasnya dalam karyanya yang naratif. Satu di antaranya yang belum sempat diterbitkan, dikumpulkan oleh Bu Piek, istri tercintanya yang kemudian diberi judul ‘Baladaria’ atas bantuan Dewan Kesenian Tegal. Buku ini diberikan kepada orang-orang tercinta sebagai cenderamata. (Redaksi)
[iklan]
Puisi Piek Ardijanto Soeprijadi
Bintang dan Bintang
1
anakku lanang pulang petang
dari ibukota membawa bintang
indah tersemat di dada bidang
tanda jasa dalam juang
kujemput dia dengan tetangga
berduyunduyun di pagar desa
pipi mandi airmata
kuyupnya karena gembira
betapa hangat pelukan rindu
kami lama tak bersua
betapa padat otak anakku
sudah lama di ibukota
2
malam pertama kembali ke desa
anakku melamun di beranda muka
dering jengkerik membentur dada
menyadarkan dia atas napas desa
di bulan muncul tetangga kumpul
omong-omong di halaman
di unggung api asap mengepul
ketela bakaran pengisi kekosongan
mereka berebut menanya anakku
tiap orang dijawab terang
hingga larut malam belum juga jemu
sebab di langit masih ada bintang
3
deras-deras embun jantan turun
bumi damai mandi embun
di malam sepi di dini hari
anakku lanang kutanya sendiri
anakku lanang anakku sayang
di ibukota apa yang kau alami
bisakah hidup senang
karena doa cuma kami membekali
anakku lanang anakku sayang
di ibukota siapa yang kautemui
bersuakah dengan orang-orang
yang dulu gerilya dan mengungsi di sini
4
duhai ramanda tua ramanda renta
tanya ramanda amat manis
menceritakan ibukota
sehari semalam takkan habis
ibukota sejuta warna berseri
tiap jengkal bangunan baru
pembagian rejeki tiap hari
sepanjang jalan oto melulu
yang dulu di sini kini goyang kaki
bersiul lega di gedung indah
jangan ingat tempat mengungsi
menyebut desa pun tak pernah
ibukota banyak pembangunan
orangnya seperti rayap
daerah kita belum ada perubahan
hilang matahari desa pun gelap
janganlah ramanda luka meliang
dengar berita dari ibukota
banyak yang dapat mereguk uang
ada yang menerima tanda jasa
5.
anakku lanang anakku sayang
aku tahu sejarah dunia
tiap bangsa menang perang
banyak berita lupa segala
dalam dada aku bangga
sebab tanah air sudah merdeka
engkau turut berjasa
mendapat bintang gerilya
kini tinggal satu tanya
pilih satu antara dua
kembali ke ibukota
atau tetap tinggal di desa
bila kembali ke ibukota
bintang gerilya sematkan di dada
pekikkan tiap bangun di pagi hari
seluruh tanah air merdeka abadi
kuharap segera kau berangkat
bersama tentara dan sukarelawan
merebut irian barat
demi kemerdekaan
bila tetap tinggal di desa
bintang gerilya simpanlah segera
sebab yang petani tahu
hanya bintang weluku
kuharap segera kau panggul bajak
tiap bangun sebelum subuh
menggarap tanah pusaka sepetak
mumpung kini musim labuh
6
anakku lanang pernah berperang
merebut tanah pusaka dari belanda
anakku lanang turut berjuang
di dadanya bintang gerilya
anakku sayang kembali terharu
di desa damai di malam sepi
tenang memandang bintang weluku
pedoman hidup para petani
anakku lanang memilih tepat
menyemat di dada bintang gerilya
mau merebut irian barat
kembali lagi memanggul senjata
bintang weluku yang dipandang malam-malam
disematkan di desa sepi
bila seluruh tanah air sudah merdeka tenteram
barulah dia kembali jadi petani
Piek Ardijanto Soeprijadi, lahir di Magetan, Hindia Belanda, 12 Agustus 1929 – meninggal di Kota Tegal, Jawa Tengah, 22 Mei 2001 pada umur 71 tahun adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Piek merupakan salah satu sastrawan angkatan 1966. Sejak tahun 1970, puisi-puisinya telah dimuat di berbagai media massa di Indonesia. Selain itu dia juga menulis esai sastra, mengulas karya-karya para penyair muda saat itu. Piek juga salah satu pelopor perintis Komunitas Negeri Poci (tahun 1993).