Legenda Sangkuriang

Diceritakan kembali oleh Abah Yoyok

Bermula kisah ini dari negeri Khayangan ada sepasang dewa dewi melakukan kesalahan. Mereka berdua dengan sengaja telah melanggar kode etik Tata Gaul Warga Khayangan. Khawatir kalau perbuatan sepasang dewa dewi itu bisa mendatangkan bencana bagi istana Khayangan, Sang Hyang Tunggal menjatuhkan hukuman. Keduanya dibuang ke bumi. Sang Dewi dikutuk menjadi seekor babi hutan bernama Celeng Wayung Hyang (Wayungyang), sang Dewa dikutuk menjadi seekor anjing bernama Tumang.

Ketika sang Dewi yang sudah berubah menjadi seekor babi hutan di lempar kebumi, ia jatuh di semak-semak pinggir hutan yang banyak ditumbuhi keladi hutan. Ia lalu bertapa, semedi, di tempat itu untuk mohon pengampunan agar wujudnya bisa kembali menjadi seorang Dewi.

Diceritakan bahwa pada suatu ketika Raja Sungging Perbangkara pergi berburu ke hutan. Ketika sampai di pinggir hutan dekat semak-semak di mana Wayungyang bertapa, sang Raja kebelet pipis. Ia lalu mengambil batok kelapa dari pelana kudanya. Pipis di batok, lalu melemparkan batok yang berisi pipisnya itu ke semak-semak. Pada saat itu, Wayungyang yang sedang bertapa merasa kehausan. Ia bangun dari semedinya dan menemukan batok kelapa yang berisi air kencing di hadapannya. Ia lalu meminumnya, tapi rasa hausnya belum juga hilang. Maka iapun menjilati daun-daun talas hutan yang dibasahi oleh air kencing Raja Sungging Perbangkara.

Beberapa saat kemudian, setelah terobati rasa hausnya dan Wayungyang hendak melanjutkan semedinya, tiba-tiba terjadi keajaiban, Wayungyang hamil. Beberapa bulan kemudian, Wayungyang pun melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik jelita. Setelah membersihkan tubuh bayi itu dengan menjilatnya, Wayungyang menaruh bayinya itu di atas batu besar di balik semak-semak, dengan harapan siapapun dia yang menjadi ayahnya bayi ini akan menemukannya.

Alhamdulillah, harapan Wayungyang menjadi kenyataan. Tak lama setelah meninggalkan banyinya, Prabu Sungging Perbangkara lewat di tempat itu. Ia mendengar suara tangisan bayi dari arah semak-semak. Ia turun dari kudanya dan dengan hati-hati berjalan mendekati kea rah sumber suara. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati seorang bayi perempuan yang mungil dan cantik terbaring di atas batu besar. Tanpa piker panjang lagi, bayi itu ia angkat dan dibawa pulang ke istana. Bayi itu diberi nama Dayang Sumbi. Sang Prabu merawat putrinya itu dengan penuh kasih sayang.

[iklan]

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti. Dan waktu terus berjalan. Dayang Sumbi tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik jelita. Selain cantic, ia juga pandai menenun dan memasak. Tak keran jika banyak para raja dan pangeran yang datang untuk meminangnya, tetapi tak seorang pun yang diterima.   Dayang Sumbi khawatir, jika ia terima salah satu pinangan dari para raja dan pangeran itu akan menimbulkan iri pada yang lain sehingga bisa saja timbul pertumpahan darah di atara mereka yang telah datang meminangnya. Karena itu Dayang Sumbi mohon restu ayahandanya untuk mengasungkan dirinya ke sebuah hutan yang jauh dari istana. Sang Prabu memberi restu dan membuatkan sebuah pondok kecil di pinggir hutan dan menyiapkan alat-alat tenun kesukaannnya. Di pondok itulah, Dayang Sumbi menghabiskan waktunya sambil menenun kain.

Pada suatu malam, ketika Dayang Sumbi sedang asyik menenun kain, tiba-tiba gulungan benangnya terjatuh ke luar pondoknya. Karena malam sudah larut, ia tak berani untuk mengambil gulungan benangnya itu. Tanpa disadarinya tiba-tiba terucap perkataan dari dari mulutnya. “Oh, siapapun dia orangnya yang mau mengambilkan benang itu untukku, jika dia perempuan akan kujadikan dia saudaraku, dan jika dia laki-laki akan kujadikan dia sebagai suamiku.” Begitulah ucapannya.

Begitu ucapan selesai, tiba-tiba muncul seekor anjing jantan berwarna hitam datang menghampirinya sambil membawa gulungan benang miliknya. Dayang Sumbi kaget dan bingung. Tapi, mau ngomong apa lagi. Tak mungkin menarik kembali ucapannya. Ia sudah terlanjur berucap. Ia tak mau menjilat ludahnya sendiri. Ia harus menepati janjinya. Karena itu berakatalah ia kepada anjing jantan berwarna hitam itu.

“Jangan khawatir, wahai Anjing. Aku tak akan ingkar janji. Walaupun kamu hanya seekor anjing, aku tetap bersedia menjadi istrimu,” kata Dayang Sumbi.

Mendengar perkataan Dayang Sumbi, anjing hitam itu tiba-tiba menjelma menjadi seorang pemuda yang sangat tampan. Dayang Sumbi sangat terkejut dan heran menyaksikan kejadian itu.

“Hei, kamu ini siapa, dan dari mana asal-asulmu?” tanya Dayang Sumbi dengan hati penasaran.

“Maaf, Tuan Putri! Saya adalah titisan Dewa,” jawab pemuda itu.

Singkat cerita, Dayang Sumbi dan pemuda tampan itu saling jatuh cinta dan menikah. Keduanya bersepakat untuk merahasiakan hubungan mereka kepada siapa pun, termasuk kepada Prabu Sungging Perbangkara, ayahanda Dayang Sumbi. Sejak saat itu, ke mana pun Dayang Sumbi pergi, ia selalu ditemani oleh suaminya. Dayang Sumbi memanggilnya dengan si Tumang.

Setelah setahun menikah, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan yang diberi nama Sangkuriang. Beberapa tahun kemudian, Sangkuriang tumbuh menjadi anak yang rajin dan pandai. Setiap hari, ia ditemani si Tumang pergi ke hutan untuk berburu rusa dan mencari ikan di sungai. Sangkurian sama sekali tidak mengetahui bahwa  anjing yang selalu menenaminya itu adalah ayah kandungnya sendiri.

Pada suatu hari, Sangkuriang pergi berburu rusa ke tengah hutan. Entah mengapa, pada hari itu ia sangat berharap bisa mendapatkan hati seekor rusa untuk dipersembahkan kepada ibunya. Sudah hampir seharian ia berburu, tapi tak seekor binatang buruan pun yang menampakkan diri. Sangkuriang mulai kesal hatinya dan memutuskan untuk pulang saja. Dalam perjalanan pulang menuju ke pondoknya, tiba-tiba seekor rusa berlari melintas di depannya. Ia segera memerintahkan si Tumang untuk mengejarnya.

“Tumang,  ayo kejar rusa itu!” seru Sangkuriang.

Sampai beberapa kali Sangkuriang berteriak, si Tumang tetap tidak perduli. Melihat kelakukan si Tumang yang tiba-tiba tak perduli pada perintahnya tentu saja sngkuriang jadi gregetan dan kesal hatinya.

“Hei, Tumang! Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kamu tidak mau menuruti perintahku?” bentak Sangkuriang sambil mengancam si Tumang dengan panahnya. Tanpa disadarinya, tiba-tiba anak panahnya terlepas dari busurnya dan tepat mengenai kepala si Tumang. Anjing itu pun tewas seketika. Sangkuriang kemudian mengambil hati si Tumang. Sesampainya di pondok, ia menyerahkan hati itu kepada ibunya untuk dimasak. Setelah menyantap hati itu, tiba-tiba Dayang Sumbi teringat pada si Tumang. Ia pun menanyakan keberadaan si Tumang.

“Eh, si Tumang mana? Koq tidak ikut pulang bersamamu? Kemana dia?” tanya Dayang Sumbi dengan cemas.

“Maaf, Bu! Tanpa sengaja saya telah membunuhnya. Hati yang baru saja ibu makan itu adalah hati si Tumang,” jawab Sangkuriang dengan tenang, tanpa merasa bersalah sedikit pun.

Seketika itu pula Dayang Sumbi gemetar menahan marah yang amat sangat karena Sangkuriang telah membunuh ayah kandungnya sendiri.

“Oh, jagat dewa betara. Jadi kamu telah membunuh si Tumang? Dasar anak tidak tahu diri!” seru Dayang Sumbi sembari memukul kepala Sangkuriang dengan sendok nasi hingga terluka dan mengeluarkan darah.

Sambil menangis tersedu-sedu, Sangkuriang membela diri. Ia merasa kalau dirinya tidak bersalah. Apa yang ia lakukan itu semata-mata hanya untuk menyenangkan hati ibunya. Dayang Sumbi tak bisa menerima alasan anaknya. Ia menganggap anaknya telah melakukan kesalahan besar, karena telah membunuh ayah kandungnya sendiri. Akan tetapi Dayang Sumbi tidak mau menceritakan hal itu kepada anaknya, karena takut rahasianya terbongkar.

Merasa kalau ibunya sudah tidak lagi sayang kepada dirinya, Sangkuriang pun pergi mengembara, turun gunung naik gunung, menyusuri hutan belantara. Sejak itu, Dayang Sumbi sering duduk termenung. Ia merasa sangat menyesal telah memukul dan membiarkan putranya pergi meninggalkannya. Setiap malam ia berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar ia dapat bertemu kembali dengan putranya.

Berkat ketekunannya, doanya dikabulkan. Tuhan memberinya kecantikan yang abadi agar wajahnya tidak berubah walau usia terus bertambah, dan di kemudian hari sang anak masih bisa mengenalinya.

***

Dalam pada itu, di tengah hutan belantara, Sangkuriang berjalan sempoyongan sambari memegang kepalanya yang terluka. Karena tak kuat lagi menahan rasa sakit, akhirnya ia jatuh pingsan dalam waktu yang cukup lama. Ketika kemudian tersadar dari pingsannya, Sangkuriang terkejut. Ia telah berada di suatu tempat yang asing dan seorang tua duduk disampingnya.

“Ka… kakek ini siapa? A…aku ada di mana?” tanya Sangkuriang heran dan sedikit rasa takut terselip di hatinya.

“Tenanglah, anak Muda. Aku adalah seorang pertama tua. Namaku Ki Ageng. Aku menemukanmu pingsan di tengah hutan dengan luka parah di kepalamu. Kamu sekarang berada di dalam gua tempatku bertapa,” jawab orang tua itu.

Sangkuriang hanya manggut-manggut mendengar jawaban pertapa tua. Ki Ageng lalu menanyakan asal-usul Sangkuriang. Tapi sayang, Sangkuriang tidak bisa lagi mengingat masa lalunya. Bahkan siapa namanya sendiri ia lupa. Akhirnya, Ki Ageng memanggilnya Jaka.  Jaka Sona.

Ki Ageng merawat Jaka Sona sampai lukanya sembuh dan mengajarinya berbagai macam ilmu bela diri dan kesaktian. Setelah beberapa tahun berguru kepada Ki Ageng, Sangkuriang pun tumbuh menjadi pemuda tampan yang sakti mandraguna. Dengan kesaktiannya, ia dapat memanggil serta memerintahkan makhluk-makhluk halus.

Pada suatu hari, Jaka Sona meminta izin kepada gurunya untuk pergi mencari tahu tentang masa lalunya. Setelah mendapat restu dari Ki Ageng, berangkatlah ia menyurusi hutan. Berjalan mengikuti ke mana arah angin bertiup dan kakinya melangkah, hingga akhirnya ia menemukan sebuah gubuk di tepi hutan. Karena merasa sangat haus, ia pun mampir di pondok itu untuk meminta air minum. Rupanya, penghuni pondok itu adalah seorang wanita yang cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi.

Ketika pertama kali melihat wajah wanita itu, tiba-tiba Jaka teringat kepada ibunya. Namun, ia tidak yakin kalau wanita itu adalah ibunya, karena sudah sekian lama mereka berpisah tentu wajahnya tidak akan secantik itu. Demikian pula Dayang Sumbi, ia tidak pernah mengira kalau pemuda itu adalah putranya. Pada akhirnya, keduanya saling berkenalan, jatuh cinta dan bersepakat untuk menikah.

Keesokan harinya, ketika akan berangkat berburu ke hutan, Jaka meminta calon istrinya untuk merapihkan ikat kepalanya. Betapa kagetnya Dayang Sumbi ketika sedang merapikan ikat kepala Jaka Sona. Ia melihat ada bekas luka di kepala. Bekas luka itu mirip dengan bekas luka yang ada di kepala putranya yang terkena pukulannya dua puluh tahun yang lalu. Dayang Sumbi lalu menanyakan tentang bekas lukadi kepala itu kepada Jaka..

“Kenapa ada bekas luka di kepalamu, Jaka?” tanya Dayang Sumbi.

Jaka Sona tidak bisa menjawab. Ia sudah tak ingat lagi mengenai bekas luka yang ada di kepalanya. Ia hanya bisa menceritakan kepada Dayang Sumbi bahwa ada seorang pertapa tua yang menemukan dirinya sedang pingsan dan terluka parah di tengah hutan. Mendengar cerita itu, Dayang Sumbi merasa yakin bahwa calon suaminya itu adalah putranya sendiri, Sangkuriang.

Dayang Sumbi jadi bingung. Ia tidak mungkin menikah dengan putranya sendiri. Ia pun berusaha untuk meyakinkan Sangkuriang bahwa dia adalah putranya. Karena itu , ia meminta kepada Jaka Sona agar membatalkan rencana pernikahan mereka. Namun, Sangkuriang tidak percaya pada kata-kata ibunya. Hatinya sudah terbakar oleh api asmara, dan tetap bersikeras ingin menikahi Dayang Sumbi.

Menghadapi sikap putranya yang keras kepala itu, Dayang Sumbi semakin bingung dan ketakutan. Setiap hari ia berpikir untuk mencari jalan keluar, gimana caranya supaya pernikahan mereka bisa dibatalkan. Setelah berpikir keras siang dan malam, akhirnya ia menemukan sebuah cara. Pada suatu malam, Dayang Sumbi menyampaikan kedua syarat itu kepada Sangkuriang.

“Jaka, jika kamu bersikeras ingin menikahiku, kamu harus memenuhi dua syarat,” kata Dayang Sumbi.

“Apakah syaratmu itu, Dayang Sumbi? Katakanlah!” desak Sangkuriang.

“Kamu harus membuatkan aku sebuah danau dan sebuah perahu. Tapi, danau dan perahu itu harus selesai sebelum fajar menyingsing,” ucap Dayang Sumbi.

Setelah diam sejenak, Jaka Sona manggut-manggut sambal berkata: “Baiklah, Dayang Sumbi. Aku siap untuk memenuhi persyaratanmu,” jawab Sangkuriang dengan penuh keyakinan.

Dengan gelora cinta yang menggebu dan kesaktiannya, Sangkuriang segera pergi ke tepian sungai Citarum. Ia lalu memanggil dan mengerahkan seluruh pasukannya yang berupa makhluk-makhluk halus untuk membantu menyelesaikan tugasnya. Setelah pasukannya siap, mereka segera menggali tanah dan mengumpulkan serta menyusun batu-batu besar untuk membendung aliran air sungai Citarum sehingga membentuk sebuah danau. Kemudian mereka menebang kayu-kayu besar untuk dijadikan perahu. Saat tengah malam, Dayang Sumbi secara diam-diam mengawasi pekerjaan Sangkuriang dan pasukannya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat mereka hampir menyelesaikan semua permintaannya.

Dayang Sumbi gelisah dan gusar hatinya. Ia segera berlari ke desa terdekat untuk meminta bantuan kepada masyarakat agar menggelar kain sutra berwarna merah di arah sebelah timur tempat Sangkuriang dan pasukannya bekerja. Tak berapa lama setelah kain sutra hasil tenunan Dayang Sumbi digelar, cahaya berwarna kemerahan membayang di langit sebelah timur, seolah-olah hari sudah mulai pagi. Ayam jantan mulai berkokok bersahut-sahutan. Para mahluk halus yang bekerja ketika melihat cahaya merah di langit timur dan mendengan suara ayam berkuruyuk menyangka hari sudah pagi. Mereka segera berlari meninggalkan perahu yang belum rampung mereka kerjakan.

Sangkuriang tak bisa lagi memerintahkan pasukan mahluk halusnya untuk menyelesaikan pembuatan perahu. Mereka sudah lari terbirit-birit ketakutan  karena mengira kalau sebentarlagi matahari akan terbit.  Sangkuriang menghela nafas dengan hati kesal menahan amarah. Ketika ia memandang ke arah langit sebelah timur yang tak lagi bercahaya kemerahan, ia sadar kalau Dayang Sumbi sudah menipunya.

Kecewa, marah dan galau bercampur aduk dalam hati Sangkuriang, lalu meledak menjadi amarah. Dengan kesaktiannya, ia menjebol bendungan yang sudah dibuat bersama pasukannya. Air mengalir kemana-mana, maka terjadilah banjir besar. Perahu besar yang belum rampung itu ia tendang sekeras-kerasnya. Perahu terbang melayang jauh dan jatuh menelungkup di suatu tempat, dan menjelma menjadi sebuah gunung yang sampai saat ini dikenal sebagai gunung Tangkuban Perahu.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *