Puisi kadang bisa memberi informasi atau semacam tanda seperti apa karakter Penyair pengguritnya. Dapat diduga dari cara penyusunan kata, kalimat, dan tata letak baris demi baris. Demikian juga tiga puisi besutan Penyair Ngadi Nugroho, yang memperkenalkan diri lahir di semarang.

Tiga puisi ini seolah menjadi etalase bagi para pihak yang membaca puisi puisi tersebut untuk menjangkau mata air perasaan dan logika yang tersembunyi, meski tidak harus persis sama dengan pembacaan karakter Si Penyair, minimal bisa menduga bagaimana pikiran, sikap, dan tindakan hari hari Sang Penyair.

Penelusuran karakter ini kadang bisa bermanfaat untuk menelaah lanjut apa makna dan maunya kata demi kata yang ada di bait-bait Puisi. Benar kata orang bahwa Puisi kadang bisa menjadi persembunyian bagi penggurit dan atau pembacanya sekali pun. Selamat menikmati. (redaksi)

KUPANGGIL NAMAMU; SENYAP

Melewati celah di daun jendela kamarku. Dingin berlarian berkelindan bersama namamu. Mengarungi segala usia yang telah renta. Mengangguk burung kutilang di luar jendela. Adakah resah kau nyanyikan di pagi ini?

Pukul enam pagi beranjak ku singkap selimut. Menuju ke kamar mandi, basuh lukaku di bekas malam-malam kemarin. Ada kau di setiap cidukan gayung lumutan. Kau tersenyum di antara buih dan daki yang larut menuju saluran pembuangan.

Sungguh, kau selalu mengintipku di sela luka. Di antara jendela yang mereyot dimakan rayap. Ataukah karena terlalu lama kubiarkan? Seolah mengharap datangnya senyap.

Kaliwungu, 2022

DEE

Dee, ingatkah kau pada sebuah gitar yang tergeletak di rumah ibumu dulu? Denting hilang, tak ada lagi nyanyian lagu-lagu lama. Masih ingat dengan lagu Duri dan Cinta atau lagu Kembali ke Jakarta?

Dee, gitar telah kau jual, menjadi kenangan, melindap bersama usia. Menjelma menjadi huruf-huruf. Beterbangan membentuk goresan lanskap di angkasa.

Dee, andai kau bersamaku kini. Lihatlah di ujung jalan gang rumahmu. Seorang bocah kecil memandang gitarnya; diam. Di tangan kiri dia menggenggam uang tak seberapa. Mata nanar, memandang langit, wajahnya kuyu pucat menahan lapar. Hari mulai beranjak magrib sedangkan uang yang didapat hanya sedikit.

Dee, orang-orang mulai bergegas pergi ke masjid. Melewati bocah kecil itu tanpa hirau. Sedangkan di luar masjid, bocah kecil itu sedang berdoa, untuk adiknya yang ditinggal di rumah, belum makan dan hidup sendirian.

Dee, gitarnya mengingatkanku padamu. Tentang kau dan sebuah lagu. Yang sekarang jari-jarimu telah kaubiarkan memetik sepi. Dawainya kaubiarkan mengusut dan karatan. Menjadi huruf-huruf yang beterbangan. Kau tangkap menjadi bait-bait puisi. Tentang sebuah perjalanan. Kau, aku dan mereka.

Kaliwungu, 2022

BILA SURGA ADA DI BENING DUA MATAMU

Bila di bening dua matamu ada surga. Bolehkah aku sejenak menatapnya. Sebelum mata ini pejam selamanya. Dan surga yang dijanjikan Tuhan tak mampu aku merengkuhnya.

Terlalu gaduh dosa ini bersemayam. Terpendam dalam. Menjadi nisan-nisan maut.

Mungkin dengan menatap dua matamu yang bening itu. Surga tak lagi temaram seakan berkabut.

Kaliwungu, 2022

Ngadi Nugroho, lahir di semarang 28 juni 1978, lulusan sarjana teknologi pertanian USM, memiliki nama pena Dimaz Nunug. Karyanya dimuat dalam Buku Antologi Puisi Pujangga Facebook Indonesia, Prasasti, Antologi Untaian Sastrawan dalam Cerita Khasanah Daerah, dll.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *