EPIGRAF SEMBILAN PARAGRAF
Sudah lama saya mengagumi cerpen The Bucket Rider karya Franz Kafka, sebuah cerita yang singkat, tetapi mampu menggambarkan sisi terdalam-terkelam manusia: bagaimana berjuang, menderita dan mati. Di dalam cerita tersebut ada kehendak untuk berkuasa atas diri sendiri, kehendak berkuasa atas hidup. Membuat saya bertanya dari mana asalnya hasrat, asalnya kejahatan dan mengapa manusia bisa begitu ingin memaknai kehidupan.
“Aku tidak mau membeku hingga ajalku,” begitu kata tokoh dalam cerpen The Bucket Rider, menjelaskan bahwa hidup layak dipertahankan. Pada mulanya memang mengeja, mengaji kata-kata dalam cerita. Cerpen karya Franz Kafka saya baca selama proses perjalanan saya menulis. Para tokoh cerita dan karakter mereka membekas di memori. Menjelma imajinasi. Menajamkan intuisi.
Menulis saja dulu, begitu kata saya pada diri sendiri. Kali pertama saya menulis cerita saat saya kelas enam Madrasah Ibtidaiyah. Waktu itu belum berpikir perihal teknik dasar menulis yang mesti saya kuasai. Belum mengenal betul tata kata, tata kalimat dan pola pengembangan paragraf. Membaca memang menajamkan intuisi saya. Sebelum menulis saya selalu berbaikan dengan diri sendiri dulu. Menulis saja dulu.
Cita-cita saya menjadi pujangga, kata saya ketika seorang guru di Madrasah Tsanawiyah bertanya mengenai cita-cita. Impian yang didukung kawan-kawan sekelas. Dengan cara memberi semangat, kadang meminta saya menulis puisi pada hari istimewa mereka. Topik yang saya tulis tidak jauh-jauh dari keseharian saya: sekolah dan keluarga.
Saat masih sekolah saya sangat terkesan dengan gaya bahasa dan cerita dalam novel Kerudung Merah Kirmizi serta Ca-Bau-Kan karya Remy Sylado. Dalam dua novel tersebut betapa terampil kemampuan bercerita dan luas wawasan penulisnya akan sejarah akan bahasa. Beruntung sekali beberapa tahun kemudian saya bisa berjumpa dengan sosok Remy Sylado saat ia mengisi acara di Cianjur. Tahun 2019 Remy Sylado menjadi dewan juri menulis puisi di UGM, dan saya berbahagia menjadi juara dua. Setidaknya menandakan bahwa puisi saya beliau baca.
Karena kebenaran justru terdapat di kedalaman, begitu ujar Schopenhauer, seorang filsuf Jerman yang lahir di Danzig tahun 1788. Karena kebenaran bisa tersembunyi di balik makna tersirat anekot dan aneka gaya bahasa, maka saya pun menulis. Mengucapkan apa yang tidak terucapkan oleh lisan. Itu alasan saya menulis. Cerita di lembar-lembar buku merekam berbagai hal, berbagai karakter dan keajaiban.
Saya mengawali menulis dengan cara berdamai dengan diri sendiri. Kemudian menyimak dan mengamati dunia. Mencatat dan menyusun apa saja yang hendak saya tulis-ucapkan. Menulis pun memerlukan keberanian. Keberanian mengembangkan kerangka cerita, mengembangkan kreativitas. Berani bersikap.
Setelah saya menulis tentu saya harus menyunting tulisannya. Dalam bahasa, sebagaimana saya menikmati cerita yang saya baca, saya menikmati juga gaya bahasa, unsur psikologis dan pemikiran di dalamnya. Aspek editing menjadi penting, sama penting dengan pertanyaan mengapa tokoh dalam cerita memiliki tujuan. Motif, karakter yang sering menjadi faktor penggerak kisah.
“Aku tidak mau membeku hingga ajalku,” ujar seorang tokoh dalam cerita Franz Kafka, penulis asal Praha dan lahir tahun 1883 itu. Sebelum tokoh tersebut pergi ke puncak gunung es, dan barangkali mati beku. Saya menulis maka saya merasa bahwa saya ada.
Buku Melati Kosta berisi enam belas cerpen yang saya tulis sejak tahun 2009 hingga 2020. Perlu waktu sekitar sebelas tahun untuk terbit. Dari enam belas cerpen, tiga belas di antaranya bercerita mengenai anak-anak kecil dengan latar belakang keluarga disfungsional. Anak-anak kecil yang coba saya maknai sebagai alegori orang-orang kecil: belum atau tidak memiliki kekuatan secara ekonomi dan politik.
Sebagaimana teriakan dan tangisan anak kecil, teriakan dan tangisan orang kecil seringkali tidak dianggap. Berbeda dengan orang-orang yang memiliki hak istimewa sosial, privilese. Ketika mereka berbisik pun biasanya banyak yang ingin mendengar.
Ketika peristiwa-peristiwa sejarah digerakkan oleh orang-orang besar—sebagaimana dikutip dari pernyataan penulis asal Skotlandia Thomas Carlyes—lantas di mana suara orang-orang biasa, lalu ada berapa orang yang berkenan mencatatnya?
Adapun bagaimana saya menulis, semua bermula dari intuisi. Seperti pada proses kreatif penulisan cerpen Melati Kosta. Dua kata ini memikat saya: Melati Kosta. Frasa itu lebih dulu hadir, kemudian saya maknai. Mirip-mirip ungkapan Jean Paul Sartre: “Eksistensi mendahului esensi.”
Akan halnya pada tiga cerpen terakhir di buku Melati Kosta, yang terlebih dulu eksis adalah premis cerita. Orang-orang kecil hadir sebagai dirinya sendiri, tidak lagi sebagai alegori. Seperti pada cerpen Ningsih Tidak Jadi Pentas. Cerpen itu berkisah tentang penyanyi dangdut di kampung yang tidak jadi tampil sebab kecemburuan sang suami. Sementara pada cerpen Maratua, saya menulis romansa dengan latar belakang budaya, pandemi dan maraknya alih fungsi lahan. Sedangkan pada cerpen Hikayat, premisnya yaitu perihal seseorang yang bingung hendak memberi kado apa untuk adiknya yang akan menikah.
Jika diibaratkan tempat, cerpen merupakan tempat menyenangkan untuk berbisik: aku mencintaimu sekaligus aku membencimu.
Buku ini dapat di dapat dengan menghubungi akun instagram @hyangpustaka atau kunjungi akun resmi penerbit hyangpustaka.com