Kuda Lumping Makan Beling
bukan kuda sembarang kuda
makannya beling minumnya kaca
itulah kuda lumping namanya
seni tradisi dari pulau jawa
Kuda Lumping, Jaran Kepang atau Jathilan adalah tarian tradisional Jawa yang menampilkan sekelompok prajurit naik kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu atau Kepang dalam bahasa Jawa. Karena itu disebut Kuda Kepang.
[iklan]
Tarian Kuda Lumping ini tidak hanya menampilkan adegan prajurit naik kuda saja, akan tetapi dalam penampilannya tari Kuda Lumping ini ditambahi suguhan atraksi-atraksi menarik lainnya yang memperlihatkan kekuatan magis pemainnya, seperti adegan makan beling, jalan di atas pecahan kaca, makan gabah, dan adegan magis lainnya yang pada umumnya diakukan oleh pemain dalam keadaan trance (kesurupan).
Meskipun tarian Kuda Lumping ini berasal dari Jawa, tarian ini juga diperkenalkan oleh orang Jawa yang menetap di Sumatera Utara dan di beberapa daerah di luar Indonesia, bahkan sampai ke Malaysia, Suriname, Hongkong, dan Jepang.
Sampai saat ini belum ada catatan sejarah yang mampu menjelaskan asal mula tarian ini. Hanya riwayat verbal saja, dari mulu ke mulut yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ada yang mengatakan kalau Tari Kuda Lumping itu menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah yang dibantu oleh Sunan Kalijaga. Ada juga yang mengatakan bahwa tari Kuda Lumping ini menceritakan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin oleh Raja Mataram untuk menghadapi pasukan tentara Belanda. Juga ada yang mengatakan kalau Tari Kuda Lumping ini ada hubungannya dengan tari Reog Ponorogo, dan Jaran Kepang dari Kediri dalam cerita Songgolangit. Versi yang lain lagi mengatakan bahwa tari Kuda Lumping ini menggambarkan kisah seorang pasukan pemuda cantik bergelar Jathil penunggang kuda putih berambut emas, berekor emas, serta memiliki sayap emas yang membantu pertempuran kerajaan Bantarangin melawan pasukan penunggang babi hutan dari kerajaan Lodaya pada serial Legenda Reog abad ke 8.
Sampai saat ini ada beberapa jenis Tari Kuda Lumping yang berkembang di beberapa daerah di Jawa, antara lain:
Jaranan Thek dari Ponorogo
Jaranan Kediri dari Kediri
Jaranan Sentherewe dari Tulungagung
Jaranan Turonggo Yakso dari Trenggalek
Jaranan Buto dari Banyuwangi
Jaranan Dor dari Jombang
Jaran Sang Hyang dari Bali
Jathilan Dipenogoro dari Yogya dan Jawa Tengah
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, terlepas dari riwayat yang menceritakan begini dan begitu, pertunjukan KudaLumping ini kalau kita amati adalah merupakan tari yang menggambarkan semangat kepahlawanan sebuah pasukan berkuda. Ada pun atraksi-atraksi yang memperlihatkan kekuatan magis seperti makan beling, berjalan di atas pecahan kaca, menyayat kulit dengan golok, membakar diri, dan lain sebagainya, adalah refleksi dari kekuatan supra natural yang pada jaman dahulu yang tumbuh dan berkembang di lingkungan kerajaan Jawa dan dipergunakan utntuk melawan penjajah Belanda.
Di Jawa Timur, seni tari Kuda Lumping ini cukup akrab dengan masyarakat. Tari Kuda Lumping biasanya ditampilkan pada hajat tertentu, seperti menyambut tamu kehormatan, dan sebagai ucapan syukur, atas hajat yang dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.
Dalam setiap pagelarannya, seni tari Kuda Lumping ini menghadirkan 4 fragmen tarian yang terdiri penampilan tari Buto Lawas 2 kali, tari Senterewe, dan tari Begon Putri. Pada fragmen Buto Lawas, biasanya ditarikan oleh para pria saja dan terdiri dari 4 sampai 6 orang penari.
Beberapa penari muda menunggangi kuda anyaman bambu dan menari mengikuti alunan musik. Pada bagian inilah, para penari Buto Lawas dapat mengalami kerasukan roh halus, dan uniknya, para penonton juga tidak luput dari fenomena kerasukan ini. Banyak warga sekitar yang menyaksikan pagelaran menjadi kesurupan dan ikut menari bersama para penari. Dalam keadaan tidak sadar, mereka terus menari dengan gerakan enerjik dan terlihat kompak dengan para penari lainnya.
Untuk menjaga ketertiban pagelaran, biasanya dalam setiap pagelaran Kuda Lumping ini selalu diawasi oleh para warok. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan supranatural untuk memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan roh halus (trance). Para Warok itu mudah dikenali kehadirannya. Ciri-cirinya adalah pakaian serba hitam bergaris merah dan berkumis tebal.
Setelah fragmen tari Buto Lawas selesai, pertunjukan dilanjutkan dengan fragmen selanjutnya, yaitu penari pria dan wanita bergabung menampilkan Tari Senterewe. Selanjutnya pada fragmen terakhir, pagelaran ditutup dengan sajian Tari Begon Putri. Tari dengan gerakan-gerakan santai dari 6 orang putri atau lebih. (AY)