Kisah Putri Ular

Dahulukala, di Simalungun, Sumatera Utara, ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang Raja yang arif bijaksana. Sang raja punya seorang putri yang sangat cantik jelita. Berita tentang kecantikan sang putri itu telah tersebar ke segala penjuru negeri. Seorang Raja Muda dari sebuah kerajaan yang tak jauh dari kerajaan ayah sang Putri mendengar berita mengenai kecantikan sang putri. Ia berniat untuk melamar sang Putri.

[iklan]

Raja Muda itu lalu mengumpulkan para penasehat kerajaan untuk mengutarakan maksudnya. Katanya: “Wahai, para Penasehatku. Apakah kalian semua sudah mendengar kabar berita tentang kecantikan Putri dari negara tetangga kita?”

“Sudah, paduka,”  jawab para Penasehat hampir berbarengan.

“Bagaimana pendapat kalian seandainya sang Putri itu aku jadikan permaisuri?” tanya sang Raja Muda.

“Hamba setuju, paduka!” jawab salah seorang Penasehat.

“Hamba juga setuju, baginda. Pendapat hamba, Tuan Putri yang cantik jelita itu adalah pasangan yang serasi. Paduka Tuan adalah seorang raja muda yang tampan, sedangkan Sang Putri adalah seorang gadis yang cantik jelita,” tambah seorang penasehat.

“Baiklah kalau begitu. Segera persiapkan segala keperluan untuk meminang Sang Putri,” perintah Sang Raja.

“Siap melaksakan perintah, Baginda!” jawab seluruh penasehat.

Keesokan harinya, rombongan utusan Raja Muda meninggalkan istana menuju negeri tempat tinggal Sang Putri. Sesampainya di sana, mereka disambut dan dijamu dengan baik oleh ayah Sang Putri. Selesai perjamuan, utusan Sang Raja Muda menyampaikan maksud kedatangan mereka.

“Ampun, Baginda. Adapun maksud kedatangan kami ke sini adalah hendak menyampaikan pinangan Raja kami,” ucap salah seorang utusan yang bertindak sebagai juru bicara.

“Dengan senang hati, kami menerima pinangan Raja kalian,” balas Sang Raja, “hal ini akan mewujudkan persatuan dan mewujudkan masyarakat yang makmur, damai dan sejahtera,” lanjut Sang Raja.

“Terima kasih, Baginda! Berita gembira ini segera kami sampaikan kepada Raja kami. Akan tetapi…, Raja kami berpesan bahwa jika pinangan ini diterima,  pernikahan  akan dilangsungkan dua bulan lagi,” kata sang utusan Raja Muda.

“Mengapa begitu lama?” tanya Sang Raja penasaran.

“Raja kami ingin pernikahannya dilangsungkan secara besar-besaran,” jawab utusan.

“Baiklah kalau begitu, kami siap menunggu,” sahut Sang Raja, lalu menarik nafas lega sembari manggut-manggut.

Setelah perundingan selesai, utusan Raja Muda mohon diri kepada Sang Raja untuk kembali ke negeri mereka. Setibanya di istana, mereka langsung melaporkan berita gembira kepada Raja mereka, bahwa pinangannya diterima. Sang Raja Muda sangat gembira mendengar berita itu. Ia lalu berkata : “Kalau begitu, mulai saat ini kita harus mempersiapkan segala keperluan untuk upacara pernikahan nanti,” katanya.

“Siap, Baginda. Perintah segera kami laksanakan,” jawab utusan.

Sementara itu, setelah para utusan Raja Muda kembali ke negeri mereka, ayah Sang Putri menemui putrinya dan menyampaikan berita pinangan dari Raja Muda.

“Wahai, putriku, ingin kusampaikan kabar gembira untukmu. Ketahuilah olehmu, bahwa kedatangan tamu kita tadi adalah untuk menyampaikan pinangan raja mereka yang masih muda. Bagaimana menurutmu?” tanya sang Ayah.

“Jika ayah senang menerimanya, Putri bersedia,” jawab Sang Putri malu-malu.

“Ayah bangga memiliki putri yang cantik dan penurut sepertimu, wahai putriku!” sanjung Sang Raja. “Putriku, jaga dirimu baik-baik. Jangan sampai terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahanmu,” lanjut Sang Raja.

“Baik, ayah,” jawab Sang Putri.

Menjelang hari pernikahannya, sebagaimana biasa, setiap pagi Sang Putri pergi mandi dengan ditemani beberapa orang dayangnya di sebuah kolam yang berada di belakang istana. Di pinggir kolam telah disiapkan sebuah batu besar sebagai tempat duduk Sang Putri. Setelah berganti pakaian, Sang Putri segera masuk ke dalam kolam, berendam sejenak untuk menyejukkan sekujur tubuhnya.

Setelah beberapa lama berendam, Sang Putri duduk di atas batu di tepi kolam. Sambil menjuntaikan kakinya ke dalam air, Sang Putri membayangkan betapa bahagianya saat pernikahan nanti. Duduk bersanding di pelaminan bersama sang suami, seorang Raja Muda yang gagah dan tampan.

Ketika Sang Putri asyik dengan imaginasinya dan menikmati kesejukan air kolam, tiba-tiba angin bertiup kencang. Tanpa diduga, sebuah ranting kering jatuh tepat mengenahi ujung hidung Sang Putri.

“Aduh, hidungku!” jerit Sang Putri sambil memegang hidungnya yang terluka.

Dalam waktu sebentar saja, tangan Sang Putri penuh dengan darah. Sambil menahan rasa sakit, Sang Putri menyuruh dayang-dayangnya untuk diambilkan cermin. Betapa terkejut Sang Putri ketika melihat wajahnya di cermin. Hidungnya yang semula mancung itu tiba-tiba menjadi somplak,  hilang sebagian terkena ranting kering yang tajam ujungnya. Wajahnya jadi tak secantik seperti semula. Ia merasa sedih dan kecewa. Air matanya jatuh bercucuran, keluar dari kelopak matanya.

“Aduh… bagaimana ini! Pernikahanku dengan Raja Muda bisa gagal. Ia pasti akan mencari putri lain yang tidak memiliki cacat. Jika aku gagal menikah dengan Raja Muda, ayah dan ibu pasti kecewa dan malu di hadapan rakyatnya,” pikir Sang Putri.

Sang Putri jadi sangat tertekan. Pikiran-pikiran buruk terus berkecamuk di kepalanya. Hatinya semakin bingung. Ia tidak ingin membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Namun, ia tidak mampu mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain menyesali nasibnya yang malang itu.

Sang Putri jadi putus asa. Sambil bercucuran air mata, ia menengadahkan kedua tangannya ke atas, lalu berdoa: “Ya, Tuhan! Hukumlah hambamu ini yang telah membuat malu dan kecewa orang tuanya!”

Begitu doa terucap dari mulut Sang Putri, tiba-tiba petir menyambar-nyambar sebagai tanda doa Sang Putri didengar oleh Tuhan. Beberapa saat kemudian, tubuh Sang Putri mengalami perubahan yang sangat mengejutkan. Kakinya yang putih mulus tiba-tiba mengeluarkan sisik. Perlahan-lahan, sisik-sisik tersebut merambat ke atas. Para dayang tersentak kaget ketika menyaksikan peristiwa yang aneh itu. Ketika sisik-sisik itu mencapai dada, Sang Putri segera memerintahkan salah seorang dayangnya untuk memberi tahu ayah dan ibunya di dalam istana.

“Ampun, Baginda!” hormat sang dayang kepada Raja.

“Ada apa, dayang?” tanya Sang Raja.

“Ampun, Baginda. Kulit tuan Putri mengeluarkan sisik seperti ular,” lapor Dayang.

“Apa…? Anakku mengeluarkan sisik!” tanya Sang Raja tersentak kaget.

“Benar, Baginda! Hamba sendiri tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi,” jawab Dayang.

Sang Raja dan Permaisuri segera menuju ke kolam permandian. Sesampainya di kolam, mereka sudah tidak melihat tubuh Sang Putri. Yang tampak hanya seekor ular besar yang bergelung di atas batu yang biasa dipakai Sang Putri untuk duduk.

“Putriku!” seru Sang Raja kepada ular itu.

Ular itu hanya bisa menggerakan kepala dan menjulurkan lidahnya dengan tatapan mata sayu. Ia seperti hendak berbicara, namun tak satu kata pun yang terucap dari mulutnya.

“Putriku! Apa yang terjadi denganmu?” tanya Permaisuri dengan cemas.

Walaupun Permaisuri sudah berteriak memanggilnya, namun ular itu tetap saja tidak bisa berkata apa-apa. Tak lama kemudian, ular besar penjelmaan sang putri itu pergi meninggalkan mereka dan masuk ke dalam semak belukar. Sang raja dan Permaisuri beserta dayang-dayang tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka sangat sedih dan menangis atas nasib malang yang menimpa Sang Putri.

Peristiwa penjelmaan Sang Putri menjadi seekor ular adalah hukuman dari Yang Kuasa atas permintaannya sendiri, karena rasa putus asanya. Ia putus asa karena telah membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Ia tidak berhasil menjaga amanah ayahnya untuk selalu menjaga diri agar tidak terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahannya dengan Raja Muda yang tampan itu. (AY)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *