Pemprov DKI ingin mengubah Taman Ismail Marzuki menjadi Hotel Luxury Bintang 5 yang menimbulkan Reaksi keras dari seniman Lintas Generasi yang sudah aktif di TIM sejak era Gubernur Ali Sadikin, bahkan Ahok berencana untuk memperbaiki TIM bukan mengubahnya jadi Hotel Bintang 5. Diskusi yang digelar pada 20 November 2019 di PDS HB Jassin pun berakhir dengan ketidakpuasan dari para seniman yang hadir.
“Taman Ismail Marzuki ini adalah rumah kita. Kita harus pertahankan! Bagaimana hubungannya, membangun kebudayaan dengan membangun hotel bintang lima di TIM ini. Itu kebudayaan! Sedangkal itukah pemahaman tentang kesenian dan kebudayaan? Yang terjadi sekarang adalah assanisasi terhadap kebudayaan. Terhadap ruang kesenian kita. Ya. Kalau begini, jangankan Gubernur, Presiden pun kita lawan! TIM dibangun untuk para seniman mengeluarkan kreasinya bukan buat rencana pemugaran berujung dibangunnya Hotel bintang Lima! Ini keterlaluan!” ujar Radhar Panca Dahana lantang, menyambut protes keras yang disuarakan para seniman pada pertemuan siang semalam, di PDS HB Jassin.
[iklan]
Pertemuan dengan pembicara Radhar Panca Dahana, Taufiq Ismail, Abdul Hadi WM, Taufik Azhar, anggota Komisi B DPRD DKI yang membidangi urusan ekonomi dan Dadang Solihin, Deputi Gubernur Jakarta bidang Budaya dan Pariwisata itu berlangsung panas.
“Ini perampokan!” seseorang berteriak.
Kemarahan para seniman tak terbendung. “Kami tidak butuh hotel apa pun di sini!”
Apalagi, Dadang Solihin yang dikirim mewakili Gubernur Anies Baswedan, yang baru dua bulan diangkat sebagai Deputi itu, ternyata belum memahami tentang persoalan yang merundung TIM. Belum memahami suasana batin para seniman yang sudah berbulan-bulan memendam rasa.
”Saudara-saudara, pembangunan itu adalah perubahan dari suatu keadaan.” Kata Dadang.
”Mana Pak Anies! Seharus dia yang bicara di sini!” seseorang menyergah.
Diskusi berlangsung tidak komunikatif, kedua belah pihak antara para Seniman dan perwakilan dari DKI belum menemukan titik cerah.
Taufiq Ismail yang hadir ikut bercerita sejarah Taman Ismail Marzuki: Memasuki TIM dan melihat pagar-pagar putih di mana-mana, saya luarbiasa terkejut!” ujar Taufiq Ismail, dengan nada suara menahan emosi, mengawali kesaksiannya tentang sejarah berdirinya TIM. Pada beberapa bagian, ia berkisah dengan suara tercekat, dan menangis.
Saya berterima kasih diundang dalam acara ini. Saya diundang oleh Fatin Hamama. Ketika tadi, melihat pagar-pagar putih di mana-mana, saya luar biasa terkejut!
Saya terkenang apa yang terjadi 60 tahun yang lalu. Masa itu baru terjadi pergolakan luar biasa di negeri ini. Kita semua tahu itu. Dan alhamdulillah, pemberontakan itu gagal. Kami semua, para seniman merasa sangat lega. Lalu, selanjutnya kami bertanya, bagaimana mengisi ibukota Republik ini. Dan kami berdiskusi tentang apa yang akan dibuat. Suatu ketika, kami melintas di jalan Cikini, di depan sana. Kami melihat binatang-binatang yang sedang dipindah dan diangkut ke Ragunan. Melihat itu, kami berseru: Naah, ini tempat kita! Ini tempat kita berkesenian!
Buru-buru kami menemui Gubernur Ali Sadikin. Waktu itu, masih ada kandang-kandang binatang di tempat ini, kandang singa, kandang beruang, dan lain-lain.
Kami katakan, di Jakarta ini perlu sebuah pusat kesenian. Dulu kalau mau berpameran tempatnya di Balai Budaya, mau berpentas teater di di tempat lain. Dan sebagainya. Terpisah-pisah. Jadi, diperlukan sebuah tempat dengan macam-macam acara kesenian bisa diselenggarakan.
Gubernur Ali Sadikin menyambutnya dengan baik. Kata Bang Ali: Usulan itu saya minta dituliskan. Lalu segeralah saat itu juga kami tuliskan di kertas folio, satu setengah folio panjangnya.
“Setuju!”, kata Bang Ali.
Taufiq Ismail melanjutkan ceritanya: Teater Terbuka, Teater Tertutup, ramaiiii. Berjalan dua tahun, ee, devisit. Tekor. Kenapa? Padahal tiket-tiket sudah habis dijual. Tapi rupanya tidak cukup untuk membiayai kegiatan. Marah Ali Sadikin. Kami dipanggil. Nah. Kebetulan, waktu itu, saya membaca sepotong berita di koran New York Times. Diberitakan, Pusat Kesenian di New York melaporkan kegiatannya yang juga defisit, sampai sekitar 40%. Gubernur New York bilang, tidak apa-apa defisit. Memang begitu untuk urusan kesenian.
Saya bawa koran itu. Saya tunjukkan koran itu kepada Gubernur Ali. Ia baca satu kali. Dia baca dua kali. Akhirnya dia putuskan: “Ya. Sudah. TIM disubsidi!” Oo, luar biasa! Senang sekali hati kami. Alhamdulillah.
Itulah asal-usul mengapa Taman Ismail Marzuki ini ada. Saya beruntung, dikurniai usia lanjut oleh Allah. Kawan-kawan seniman yang bergiat waktu itu, 99 orang telah meninggal.
Saya merasa titik air mata saya..
Taufiq Ismail terisak-isak.
Ruangan pertemuan di PDS HB Jassin hening. Semua terdiam. Saya segera teringat Catatan Kebudayaan bertajuk “Penguasa, Politik, dan Seniman”, yang ditulis oleh Taufiq Ismail dalam majalah Horison edisi Juli Tahun 1968:
Kemudian Taufiq Ismail melanjutkan: Gubernur Ali Sadikin di depan budayawan-budayawan Jakarta, 9 Mei 1968, menekankan bahwa dalam pembinaan kehidupan kebudayaan di ibukota yang akan datang ini, melalui Pusat Kebudayaan, politik tidak boleh lagi intervensi semacam dimasa pra-Gestapu. Dengan demikian sesungguhnya Gubernur Jakarta Raya telah memperjelas tersingkapnya sebuah priode baru yang menyegarkan dalam kehidupan kulturil di ibukota kita ini.
Sebagai seorang penguasa Ali Sadikin mengetahui di mana letak dia plus aparatnya dalam pembinaan sektor kebudayaan kota jutaan ini. Tugasnya, sebagaimana diucapkannya sendiri, adalah menyediakan infra-struktur bagi kegiatan2 itu. Konkritnya ialah mempersiapkan sebuah gugusan bangunan bernama Pusat Kesenian di kompleks bekas Garden Hall dan Kebun Binatang di jalan Cikini.
Tetapi selanjutnya, bagaimana menghidupkan dan berkreasi di dalamnya, itu adalah urusan saudara-saudara sendiri. Ali Sadikin tidak punya pretensi penguasa yang paling tahu segalanya dan menekankan kemauan seleranya. Bahkan di dalam penyusunan Dewan Kesenian, Gubernur tidak setuju menempatkan Dinas Kebudayaan D.C.I. yang adalah aparatnya sendiri. Biarlah saudara-saudara yang betul-betul seniman kreatif mengisinya, saudara-saudara yang berkecimpung dalam hal ini tanpa makan gaji pemerintah, saudara-saudara yang benar-benar berkarya di bidang ini. Kami sebagai pamong bertugas mengadakan infra-strukturnya.
Yang menjadi persoalan ialah seperti pertanyaan yang diajukan oleh Abdul Hadi WM, salah seorang anggota Akademi Jakarta: Apakah nasi sudah jadi bubur? Kalau sudah jadi bubur, sekarang mau dibikin apa? Dulu ada Teater Arena, ada Wisma Seni, dan sebagainya. Ruang-ruang tempat para seniman akrab berdiskusi. Sebaiknya, kembalikanlah suasana seperti dulu.
Kuatir pertemuan itu, hanya menjadi formalitas tak bermakna, dan hotel berbintang lima akan tegak mengangkang di sana, dengan Poppy dan Sandra mendesah di sana, dan TIM dikelola dengan gaya hitung dagang bisnis ala Jakarta Propertindo atawa Jakpro.
Setelah diskusi dicetuskanlah “Pernyataan Cikini” yang ditandatangani oleh Radhar Panca Dahana dan seluruh seniman yang hadir dalam pertemuan itu. Pernyataan keras, semacam peringatan, yang dititipkan untuk disampaikan kepada Sang Gubernur.
Pernyataan Cikini
Bersama ini,
Kami seluruh seniman dan seniwati Taman Ismail Marzuki menyatakan dengan tegas
MENOLAK:
- Pelibatan Jakpro dalam mengurus atau mengembangkan seluruh fasilitas/isi kompleks Taman Ismail Marzuki.
- Jika revitalisasi dalam bentuk apa pun tidak melibatkan secara langsung pendapat dan atau kerja para seniman dan seniwati yang ada di dalamnya.
- Upaya pembangunan dalam ruang kebudayaan yang luas, termasuk membangun manusia unggul, tanpa pemahaman komprehensif dan sosialisasi di kalangan yang adekuat makna kebudayaan yang sebenarnya.
Jakarta, 20 Nopember 2019
Mewakili seluruh aktivis Taman Ismail Marzuki
Radhar Panca Dahana,
(beserta seluruh seniman yang hadir di ruang PDS HB Jassin, al. Mogan Pasaribu, dkk. berikut tanda tangan masing-masing).