
Suatu cerita akan menjejak dalam ingatan pembaca tatkala cerita tersebut menyimpan berbagai hal unik yang dapat diingat, kisah yang menyentuh hati, dan tak pula ditemukan dalam cerita lain. Ketika hal yang tak biasa ditampilkan dalam sebuah cerita disajikan oleh seorang penulis, maka cerita tersebut tentu akan mendapatkan tempat khusus bagi para pembacanya. Selain itu, kisah yang menyentuh hati juga dapat diartikan bahwa cerita tersebut berhasil mencapai emosi batin para pembacanya. Cerita-cerita seperti inilah yang menurut saya merupakan sebuah cerita yang terbilang baik dan cukup menarik.
Sama halnya pada saat saya membaca beberapa cerita yang disajikan dalam sebuah antologi cerita pendek karya Azwim Zulliandri. Ia dalam antologi cerita pendeknya yang bertajuk Gadis Penjual Tangis (Azizah Publishing, 2020) menyajikan cerpen-cerpen yang memang terkesan ringan, namun cerita yang dibawakannya memiliki khas tersendiri yang menjadikan saya masih mengingat kisah-kisah yang membuat hati saya merasa tersentuh, terkejut, dan terhanyut dalam cerita yang dituliskannya. Dalam buku antologi cerpennya ini, terdapat 10 cerpen yang menceritakan kisah hidup yang beragam namun yang mendominasi adalah cerita-cerita yang berlatar belakang akan nasib para rakyat kecil yang terdampak akibat adanya pandemi virus covid-19.
Realita merosotnya perekonomian yang terjadi di masa pandemi dikemas dengan baik oleh Azwim Zulliandri dalam cerita-cerita pendeknya. Ia mengisahkan tokoh-tokoh yang mengalami dampak dari adanya pandemi dari berbagai sisi. Di antaranya adalah kisah Arman dalam cerpen Gadis Penjual Tangis, dan kisah tokoh Laila serta Wakidi dalam cerpen Aku, Ibu, dan Penjual Sate. Kisah dari ketiga tokoh tersebut adalah suatu representasi dari nasib para rakyat kecil yang terdampak pandemi covid-19.
Pandemi memberikan dampak yang cukup besar, terlebih lagi bagi rakyat kecil kaum menengah ke bawah dengan penghasilan yang tak seberapa. Seperti kisah tokoh Arman dalam cerpen yang berjudul Gadis Penjual Tangis karya Azwim Zulliandri ini. Kisah pilu yang dialami oleh tokoh Arman bermula dari tutupnya pabrik tempat ia bekerja sebagai buruh karena pandemi virus covid-19. Sewaktu ditutup, Arman pun di-PHK oleh tempat ia mencari nafkahnya tersebut. Selepas ia di PHK, ia ditawari untuk bekerja sebagai sopir pribadi oleh mandornya yang memiliki kenalan bernama Tuan Zoel. Tawaran tersebut tentunya sangat menggiurkan hati Arman, mengingat pandemi yang belum kunjung mereda dan kewajibannya untuk menafkahi ketiga putrinya. Sayangnya nasib berkata lain. Baru satu minggu ia bekerja dengan Tuan Zoel, ia menjadi korban bisnisnya yang ternyata adalah seorang pengedar narkoba. Alih-alih diperintah memberi derma pada gadis jalanan, ia justru tak tahu bahwa sabu-sabu lah yang ada di tangannya. Arman yang tidak tahu-menahu hanya bisa pasrah ketika dirinya diseret masuk dalam mobil polisi.
Brengsek Tuan Zoel! Aku bekerja pada orang yang salah. Ya Tuhan … bagaimana dengan nasibku ini? Bagaimana dengan nasib tiga gadis kecilku? Penjara telah menantiku. Akankah putri-putriku menjadi gadis penjual tangis? Tak terbendung air mataku menetes membasahi lantai ruang interogasi membayangkan nasib putri- putriku. (hlm. 64)
Kisah pilu yang tak kalah menarik adalah kisah tokoh Laila dan Wakidi, dalam cerpennya yang berjudul Aku, Ibu, dan Penjual Sate. Azwim Zulliandri menulis cerita pendek ini dari tiga sudut pandang tokoh, yaitu sudut pandang Aku si bayi, Laila si Ibu, dan Wakidi si penjual sate. Cerpen ini sebenarnya adalah kisah tentang anak yang ditelantarkan Laila dan kemudian ditemukan oleh Wakidi si penjual sate. Namun, yang menjadi perhatian sentral yang ingin saya soroti adalah kisah hidup Laila dan Wakidi si penjual sate yang terdampak pandemi covid-19.
Laila adalah seorang ibu yang memiliki 4 orang anak dan suami bernama Mirun. Dampak pandemi membuat suaminya Laila, Mirun, menjadi pengangguran dan sering kali berhutang ke sana ke mari. Lantaran suaminya pergi dan tak bertanggung jawab, Laila kini akhirnya menjadi ibu sekaligus kepala keluarga bagi 4 anaknya. Laila hanya bisa menjadi buruh cuci, dan setelahnya ia membawa 2 anaknya menjadi pengemis jalanan.
Maka untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari, sehabis bekerja sebagai buruh cuci di rumah gedong, Laila akan membawa 2 orang anaknya yang paling kecil ke perempatan jalan besar. Yang umur 4 tahun dibimbing, dan yang paling kecil usia 1 tahun dalam gendongannya. Di sana, dia dan anaknya yang dibimbing akan mengadahkan tangan dan memasang wajah memelas meminta receh demi receh kepada pengendara bermotor (hlm.78)
Sedikit beralih dari kisah Laila, kisah Wakidi sebagai penjual sate dalam cerpen Aku, Ibu, dan Penjual Sate juga menjadi salah satu tokoh yang terkena dampak dari kejamnya pandemi. Wakidi adalah seorang penjual sate yang memiliki istri bernama Indit. Mereka berdua ialah sepasang suami istri dengan ekonomi yang kurang berkecukupan. Meskipun adanya larangan untuk keluar rumah, namun Wakidi haruslah tetap mengais rezeki demi menyambung hidupnya bersama istri. Lantaran diberlakukannya PSBB di lingkungannya akibat pandemi, dagangan satenya tak kunjung habis dan bahkan ia pun sempat diusir oleh polisi.
Seperti yang dialami hari ini, dagangan satenya sepi. Perempatan jalan dekat kompleks perumahan biasa dia mangkal, sangat sepi lantaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan pemerintah. Dia diusir oleh petugas berseragam karena tidak boleh lagi mangkal di situ lantaran adanya wabah virus corona. “Tidak boleh jualan! Silakan di rumah saja untuk menghentikan mata rantai virus!” kata petugas itu dengan garang kepada Wakidi. (hlm.80)
Kisah-kisah dari tokoh Arman, Laila, dan Wakidi adalah sebagian kisah pilu dari rakyat kecil karena pandemi, yang dikisahkan oleh Azwim Zulliandri. Peristiwa-peristiwa yang dituliskan tak lain dan tak bukan berangkat dari peristiwa nyata yang terjadi di lingkungan masyarakat sekitar. Menurunnya perekonomian di era pandemi menjadi inspirasi bagi Azwim Zulliandri dalam menghadirkan tokoh dengan latar ekonomi kelas menengah ke bawah yang dituliskan dalam karyanya.
Azwim Zulliandri mampu membuat cerita menjadi berbeda, cerita yang pada awalnya seolah biasa saja, tetapi ia mampu menjadikan akhir ceritanya menjadi tidak biasa saja. Beberapa cerita yang disajikan olehnya membuat saya terkagum dengan cara ia menuliskan cerita pendeknya karena hampir di setiap cerita pendek yang disajikan, ia membuat semacam plot twist menarik yang membuat saya terkejut dengan bagian akhir dari cerita pendeknya itu. Akan tetapi, beberapa cerita pendek yang dituliskannya dalam antologi cerpen tersebut memiliki latar yang terkadang sama sehingga hal seperti ini membuat beberapa cerita jadi terkesan memiliki latar yang monoton. Namun bagaimana pun juga, kemampuannya dalam menulis cerita yang menarik dan akhir tak terduga membuat saya menyukai karya-karyanya.
*Penulis: Livia Arya Kinanti, seorang mahasiswi semester 6, Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto