Detik jam terus berjalan, waktu kan terus berputar, dan ku tahu bahwa dewasa tak semenyenangkan apa yang dibayangkan, tanpa disadari bahagia dan kesedihan kan slalu berdampingan, begitu juga tentang sebuah harapan dan kekecewaan yang kan dirasakan di masa yang tak pasti kapan akan datang.
Pagi itu hujan membungkus kota kami, membuatku semakin tak ingin berpaling dari pulau kapuk, rasanya sangat berat untuk meninggalkannya pergi, seperti ada medan magnet yang menariku kembali ketika aku beranjak darinya. Udara pagi itu cukup dingin ketika aku membuka pintu balkon, ku tarik selimut sembari membaca buku dan menikmati pemandangan indah di depan kamarku. Suara rintik hujan perlahan menghipnotisku, membuatku masuk kembali ke alam mimpi.
“Kak Reynaaa!” teriak adiku. Membawa secangkir kopi dan beberapa keping biskuit.
Lagi, mimpi-mimpiku dibuat rusak olehnya, namun entah mengapa ku tak pernah bisa marah padanya, dia sangat gemar mengusiliku, tetapi meskipun begitu dia adalah adik yang baik bagiku.
“Ayo Kak, seperti biasa,” ujarnya
Tanpa berkata, aku hanya mengangguk mengiyakan dengan mata yang masih belum terbuka sempurna. Dia mengajakku duduk dibalkon depan kamar, kami memang biasa menghabiskan waktu bersama di hari Minggu memandangi hujan sembari menikmati secangkir kopi buatannya dan tak lupa juga saling berbagi cerita. Kami memang cukup dekat, ketika Kak Maya telah menikah dan mengharuskannya pindah ke Jakarta bersama suaminya. Hal itu membuat kami mengerti dan semakin menghargai arti dari sebuah kebersamaan.
Aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara, menjadi anak tengah adalah sesuatu yang cukup menantang, karena tentunya aku memiliki dua peran, menjadi kakak sekaligus juga menjadi adik. Kami semua terlahir dari lingkungan yang penuh kasih sayang dan berkecukupan, orangtua kami selalu adil dalam mendidik dan membagi cinta kasihnya, membuat kami tumbuh menjadi saudara-saudara yang saling merangkul erat.
Kak Maya adalah seorang kaka yang hebat, dia adalah seorang bidan, disela kesibukannya dulu ketika masih di rumah, ia selalu meluangkan waktu untuk adik-adiknya, ia sangat sabar, penasehat yang baik dan tak pernah sekalipun marah padaku, meskipun terpaut umur yang cukup jauh dengannya yaitu 9 tahun, kami tetap sangat nyambung dalam membahas hal apa pun itu. Adinda Fallin ya dia adikku, aku terpaut umur 3 tahun dengannya, sekarang ia duduk di bangku SMP kelas IX, dan tentu saja aku berada di bangku SMA Kelas XII.
Senin telah tiba, yang berarti mengharuskan kami untuk kembali ke sekolah, aku selalu berangkat dan pulang bersama Dinda setiap harinya, meskipun sesekali ia izin untuk naik angkot saja karena akan pulang terlambat.
Hari demi hari yang ku rasakan, kedekatanku dengan Dinda semakin memudar, aku sendiri sama sekali tidak tahu apa sebabnya, yang ku tahu ia sekarang menjadi lebih tertutup, tidak mau berbagi cerita dan sering menghindar dariku. Tingkahnya yang seperti itu tentu saja membuatku semakin bertanya-tanya dan berkaca diri. Waktu terus berjalanan semua ku jalani seperti biasa, normal-normal saja dan kan slalu beriringan dengan adikku satu-satunya, rasanya hambar melihatnya sama sekali tidak ada keceriaan yang tertanam di wajahnya.
Hari itu selepas pulang sekolah, aku masih memiliki banyak waktu di sore hari, sehingga aku memilih untuk memutari kota sembari membeli satu cup greentea kesukaanku. Satu tegukan yang ku rasakan saat menikmati minuman favoritku, aku diherankan dengan sepasang kekasih berseragam putih biru yang berboncengan sangat erat, ya dia berperawakan sangat mirip dengan Dinda, aku langsung bergegas mengejarnya menggunakan sepeda motor, ia tampak kaget dan berusaha menghindariku dengan memasuki sebuah gang-gang kecil, dengan begitu tentu saja membuatku kehilangan arah untuk mengikutinya, aku semakin yakin bahwa itu adalah adikku, betapa kagetnya ketika ia sudah berani membohongiku, hari itu kami memang tidak pulang bersama, karena ia mengatakan akan menyelesaikan tugas kelompok bersama temannya.
Detik itu juga aku pulang ke rumah dan berusaha untuk menceritakan kejadian tersebut kepada Mama, tetapi sangat disayangkan respon Mama sangat berbeda jauh dengan apa yang ku bayangkan, Mama hanya berkata “Alahhh.. paling hanya teman biasa, Rey.”
Sesekali dua kali akan ku maklumi respon Mama, tetapi ketika sudah berkali-kali aku melihatnya berboncengan dan pulang terlambat ke rumah, aku sedikit kesal dengan respon Mama yang tidak menggubrisku dan seakan tidak percaya dengan apa yang ku katakan, yang bisa ku lakukan hanya berusaha mengajak Dinda bicara meskipun seperti biasa, ia sama sekali seperti tidak mendengarkanku. Detik itu juga berpikir: mungkin kami menjadi berjarak karena ia telah memiliki kekasih baru yang jauh lebih membuatnya senang.
Hingga hari yang tak pernah diinginkan pun terjadi. Hari itu Dinda jatuh sakit saat ujian praktek olahraga di sekolahnya, sehingga ia terpaksa diantar oleh pihak sekolah untuk pulang ke rumah. Mama dan Papa cukup cemas dengan keadaan Dinda yang pucat pasi tak berdaya, sehingga memutuskan untuk mengajak Dinda ke rumah sakit, kala itu Dinda ingin menolaknya tetapi ia pasrah dengan keadaan. Mama membantu Dinda untuk berganti baju di kamarnya, tetapi betapa kagetnya ketika Mama melihat perutnya yang membesar, Mama tak bisa berpikiran positif pada saat itu sehingga Mama pun menanyakan secara frontal kepada Dinda.
“Kenapa perutnya membesar? Kamu Hamil?” tanya Mama dengan nada yang bergetar
Dinda hanya menunduk tanpa menjawab pertanyaan Mama sedikit pun, Dinda terus kesakitan sambil memegang bagian perutnya hingga meneteskan air mata. Mama dan Papa semakin panik tanpa berlama-lama memutuskan untuk membawanya ke dokter kandungan, betapa kagetnya Mama dan Papa pada saat itu ketika ia tahu bahwa usia kandungannya sudah berjalan lima bulan.
Aku yang pada saat itu baru pulang ke rumah selepas Ujian Sekolah, jujur aku sangat bingung dengan suasana rumah, semuanya diam mematung dengan raut wajah seperti baru saja menangis, aku hanya mengernyutkan dahi berusaha tenang meski kebingungan, ku naiki tangga satu demi satu sembari memikirkan “Apa yang sebenarnya sudah terjadi?”.
Ketika selesai berganti pakaian, Mama menghampiriku ke kamar dengan isak tangis yang luar biasa, lagi-lagi aku dibuat bingung oleh orang-orang rumah. Aku diam memandanginya, meskipun tak tahu sebabnya aku tetap terpancing untuk menangis juga, karena jujur aku paling tidak bisa melihat ketika Mama menangis.
“Kak Rey, kamu harus sayang dan jaga adikmu ya, harus akur, ajak ia cerita kembali seperti dulu.” ujar Mama dengan tangis air matanya.
Aku semakin dibuat bingung dengan pesan Mama yang tiba-tiba seperti itu, aku hanya diam mengiyakan dan tersenyum padanya.
“Maafkan Mama mungkin dulu tidak pernah mendengarkan ucapanmu, kurang peduli dengan segala hal yang terjadi, hingga akhirnya hari ini ketakutan itu benar-benar terjadi. Dinda mengandung!!”
Mama dan Papa adalah orangtua yang memiliki kesabaran luar biasa, mungkin orangtua di luar sana akan marah besar jika mengalami seperti ini, tapi tidak dengan Mama dan Papa ia justru mengarahkan, mengayomi dan mengikhlaskan segala hal yang sudah terjadi, Mama juga terus menasehati dan terus mengingatkanku untuk tidak meremehkan Dinda atau bahkan menyakiti hatinya dengan kata-kata. Entah terbuat dari apa hati kedua orang tuaku.
Yang ku rasakan saat itu luar biasa tak karuan, pecah tangis kesedihan yang tak pernah ku alami seumur hidupku, tak pernah ku bayangkan selama ini, pikiranku semakin membuyar aku sama sekali tak terpikirkan untuk belajar ujian sekolah di hari esok, yang ku pikirkan hanya Dinda dan Dinda. Dengan kecewa yang luar biasa ku langkahkan kaki menghampiri Dinda, ku pijat kakinya sembari menatap dirinya yang berbaring memunggungiku.
“Dinda kamu sedang ingin makan apa?” tanyaku dengan berusaha menegarkan hati.
Ia sama sekali tak menjawabku, terus memunggungiku sambil menangis. Aku terus memijatnya, berusaha mendamaikan kembali diriku dengan Dinda. Hari-hari berikutnya suasana rumah berubah total, tidak ada lagi kebahagiaan yang terpampang nyata.
Kala itu Papa meniatkan diri untuk mengunjungi sekolah Dinda, untuk berjumpa dengan kepala sekolahnya menceritakan segala hal yang terjadi, dan dengan berat hati Papa memutuskan untuk mengundurkan Dinda dari sekolah tersebut tanpa pikir panjang, padahal seminggu kemudian ijazah Dinda akan turun. Seiring berjalanannya waktu beribu pertanyaan muncul dari teman-teman Dinda, menanyakan semua hal tentang Dinda kepadaku, kebetulan aku adalah alumni dari SMP Dinda, sehingga tak heran jika teman Dinda juga mengenalku.
Keesokan harinya Papa memutuskan untuk mengunjungi Kak Maya di Jakarta, Papa ingin memberi tahu kabar Dinda kepadanya secara langsung, karena Papa khawatir dengan kandungan kak Maya apabila memberi kabar melalui telepon, ka Maya saat itu juga sedang mengandung anak pertamanya, usia kandungannya baru memasuki tiga bulan. Papa menceritakan semuanya di sana, tanpa disadari pecah tangisan itu kembali terulang.
Hari demi hari berlalu, Papa dan Mama memutuskan untuk menikahkan mereka berdua secara agama terlebih dahulu karena mereka yang masih belum memiliki umur yang cukup, acara berlangsung sederhana dan hanya dihadiri oleh keluarga inti saja. Aku hanya melihat pemandangan itu dari balik pintu dekat tangga rumahku sambil menangis tersedu-sedu, tak pernah terbayangkan betapa hancurnya hatiku saat itu, terlebih hati Mama. Bagaimana bisa ku memandangi adik kecilku yang polos menikah diusia muda, tentu itu bukan hal yang mudah untuk dijalani.
Sampai dimana hari itu pun tiba, adik kecilku Dinda akan menjadi seorang ibu seutuhnya. Papa Mama mengantarnya ke rumah sakit, sedangkan aku bertugas menjaga rumah. Betapa kagetnya ketika dikejutkan bahwa teman-teman Dinda datang menghampiri, menanyakan keberadaan Dinda, aku hanya menjawab bahwa ia belum ada jadwal pulang dari pesantren, meskipun aku sudah yakin bahwa mereka sudah tahu kabarnya sendiri. Setelah teman-temannya pergi meninggalkan rumah, aku semakin bingung menunggu kabar adikku, yang ku lakukan hanya berputar kesana kemari sembari menggigit jari.
Kringggg….Kringgggg. Bunyi panggilan Masuk.
“Hallo Kaka, Alhamdulillah Dinda telah lancar persalinan normal, ponakanmu laki-laki Kak Rey, kamu sekarang menjadi aunty,” ujar mama dengan suara lemas.
Aku mengucap syukur tiada hentinya, terharu sekaligus bangga pada Dinda, dengan usianya yang masih sangat muda, ia mampu melahirkan normal, bagiku adalah suatu yang luar biasa. Aku berusaha mengalihkan ingatan mengenai kejadian buruk yang menimpa keluargaku saat itu akibat perbuatan Dinda. Rasanya semakin tak sabar bertemu ponakanku. Karena memang kondisi Dinda yang sangat memungkinkan untuk kembali ke rumah, sehingga ia diperbolehkan dokter untuk rawat jalan di rumah saja. Betapa terkejutnya aku pada saat itu melihat pemandangan yang baru ku temui selama hidupku, melihat adiku yang masih kecil menggendong buah hatinya, aku menghela nafas dengan langkah yang sedikit berat menyambutnya ke dalam rumah.
Ku kira kesedihan itu telah berakhir ketika Rafiq Pratama telah lahir ke dunia, ternyata semua salah. Kesedihan itu terus berlanjut menimpa Dinda, bukan hanya menimpa Dinda tetapi juga menimpa keluargaku, karena kebahagiaan Dinda adalah kebahagiaanku dan kesedihannya juga kesedihanku. Dinda dan Suaminya adalah teman yang sepantaran, suami Dinda juga adik kelasku dulu saat di SMP, sehingga tentu saja ia tak mampu memberikan nafkah yang cukup untuk Dinda dan juga Rafiq, kesedihan itu terus berlanjut ketika mengetahui bahwa mertua Dinda sama sekali tidak peduli terhadap cucunya. Sehingga fokus kali ini yang bisa dilakukan olehku dan kedua orangtuaku adalah fokus membesarkan Rafiq dengan sepenuh hati, dengan semua jerih payah keluargaku sendiri.
Dibalik kesedihan, dibalik sebuah kekecewaan tentu saja masih banyak harapan besar yang tersimpan pada Dinda dari kedua orangtua dan juga dariku dan ka Maya. Kami semua terus berharap agar Dinda melanjutkan sekolah paket, mengejar cita-citanya yang hampir tertunda, setinggi mungkin, kami semua ingin melihatnya bahagia, menggapai segala hal yang belum ia rasakan di masa mudanya, karena masa mudanya telah direnggut oleh kehancuran, tapi percayalah semua tidak ada yang terlambat, semua masih bisa diperbaiki selama kami saling menggandeng satu sama lain.
Kini Rafiq tumbuh menjadi anak laki-laki yang sehat dan pintar, sering kali tetangga mengira bahwa aku adalah ibunya, karena sedikit susah membedakan antara aku dengan Dinda yang berjarak tidak begitu jauh, tinggi Dinda pun hampir melewati tinggi badanku, tak mengapa, bagiku dipandang sebelah mata oleh tetangga bukanlah masalah yang besar, aku tidak peduli dengan apa yang orang-orang katakan terhadap keluargaku. Sekarang fokusku adalah membantu Dinda menjaga Rafiq ketika ditinggal berangkat sekolah paket di daerah tempatku tinggal.
Dinda, adikku tersayang, banyak hal yang ingin kaka katakan padamu, mungkin kau akan menganggap bahwa dunia ini sangat kejam atas segala hal yang menimpa kehidupanmu, tetapi percayalah banyak harapan besar yang menunggumu di depan sana, harapan dari orang-orang yang selalu berusaha menjadi rumah untukmu, teruslah berlari menggapai segala hal yang ingin kau gapai, kami akan terus selalu berada di sekelilingmu.
Ananda Fitria Ramadhanti, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto.