KARYA SASTRA DAN PENDIDIKAN

Nana Sastrawan

Pernahkah mendengar pernyataan “Karya sastra jarang diminati oleh pelajar.” Ada yang perlu dicermati dari pernyataan ini. Yakni, karya sastra yang mana? Dalam bentuk apa? mengapa harus ada pertanyaan itu, karena dalam kenyataannya ada beberapa sekolah yang mengadakan bazar buku dan diskusi karya sastra bersama sastrawan-sastrawan terkemuka di indonesia bisa mendatangkan keramaian dan minat untuk menyaksikan pertunjukan-pertunjukan yang bersifat kesustraan. Lalu benarkah karya sastra benar-benar mati dikalangan remaja?

Dari situlah bisa dipahami, bahwa karya sastra bisa diminati oleh kalangan remaja jika siapa sastrawannya. Kebanyakan pendidik di sekolah memiliki keterbatasan informasi tentang penulis puisi, cerpen, drama dan novel sehingga hanya tertuju kepada sastrawan-sastrawan yang telah dilegalkan. Apakah penulis lainnya ilegal? Gejala-gejala ini telah berkembang sejak dulu hanya belum ada penjelasan lebih lanjut di bagian mana salahnya. Kemungkinan ini disebabkan oleh ketidak sadarnya kalangan pendidik untuk memelihara budaya membaca di diri sendiri, siswa atau pun lingkungan sekolah. Seberapa banyak buku sastra di perpustakaan sekolah, atau ada berapa sekolah yang memiliki perpustakaan?

Dalam dunia membaca kesustraan memiliki dua orientasi sikap (stance) dan keduanya memiliki tujuan dan aturan bagi si pembacanya. Yang pertama sering ditemukan di buku teori bidang literasi adalah efferent stance, di sinilah pembacaan karya sastra dimaksudkan mengambil atau mempelajari dari karya sastra itu, misalnya : mempelajari isi pesan, idiom, gaya bahasa. Yang kedua adalah aesthetic stance, dimana tujuan pembaca diarahkan kepada kebebasan untuk menikmati sebuah karya sastra dengan melibatkan emosi, imajinasi tanpa harus menghiraukan aturan. Pada titik ini adanya hubungan kuat antara penulis karya sastra dan pembacanya.

[iklan]

Dari penjelasan di atas, apakah pembelajaran sastra di sekolah melakukan dua aspek itu? Belum adanya penelitian yang mendapatkan hasil dari dari pertanyaan itu. Tapi marilah kita melihat gejala-gejala yang timbul pada sebagian pelajar sekolah khususnya sekolah menengah atas. Mereka bergaya hidup berlebihan, maraknya pergaulan bebas bahkan ada yang tidak lulus dalam mata pelajaran bahasa ketika ujian nasional. Ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya pembelajaran bathin oleh sebuah karya sastra atau lemahnya daya serap tentang pengetahuan bahasa yang memang jarang diperkenalkan melalui media karya sastra.

Sebagai pendidik tentunya mengetahui hasil dari kegiatan membaca, dan kegiataan membaca didapat dari buku teks. Dalam hal ini karya sastra seperti puisi, cerpen, naskah drama, novel berperan penting sebagai media dan pendidik mengarahkan dan memberikan ilmu pengetahuan tentang kesustraan. Karya sastra ini memang jarang akrab di kalangan sekolah, akan tetapi apakah itu salah satu alasan mengapa pendidik jarang menggunakan media ini? jika memang karya sastra sulit ditelaah itu pun bukan alasan. Mengapa demikian? dalam kegiatan membaca pendidik tentunya mengenal dua aspek membaca seperti: Membaca sebagai transmisi dan membaca sebagai transaksi.

Akan dijelaskan di sini apa itu dua aspek yang menunjang hasil dari kegiatan membaca. Membaca sebagai transmisi adalah usaha si pembaca untuk menemukan makna teks yang berada dalam kata-kata. dengan kata lain pendidik menuntun peserta didik untuk memahami dan menemukan unsur-unsur bahasa dalam teks yang sudah dibakukan. Kegiatan ini terkesan pasif, karena peserta didik terbentur oleh aturan bahasa dan terkesan satu arah. Membaca sebagai transaksi adalah kebalikannya, dalam pendekatan teori dalam bidang psikolinguistik dan sosiolinguistik menunjukan bahwa makna tidak hanya dalam kata-kata melainkan bisa diciptakan oleh si pembaca. Kegiatan ini melibatkan latar belakang dalam sebuah topik, selain itu penciptaan itu pun dipengaruhi oleh maksud, harapan, tujuan, nilai dan kepercayaan si pembaca. Bisa dikatakan bahwa terjadinya transaksi antara pikiran pembaca dan bahasa dalam teks.

Perlu disadari bahwa kegiatan membaca dari dua aspek di atas bisa mempengaruhi perkembangan kognitif, afektif, psikomotorik pada peserta didik. Mereka mendapatkan ilmu pengetahuan tentang bahasa, dan mengetahui makna sehingga bisa menimbulkan perubahan prilaku. Ini yang tengah hilang dalam lingkungan pendidikan formal. Sehingga mereka hanya bisa menikmati karya sastra dari sastrawan atau hanya menonton pementasan karya sastra. Lalu apakah benar karya sastra jarang diminati oleh pelajar? Boleh jadi, karya sastra bukan tidak diminati oleh pelajar melainkan oleh pendidik, instansi pemerintah di bidang pendidikan lainnya, karena di Indonesia sendiri sudah bermunculan ratusan karya sastra yang bisa di uji keabsahannya. Akibatnya terkikisnya kepekaan pelajar terhadap diri sendiri, lingkungan dan peristiwa-peristiwa yang bersifat mengglobal.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *