Cikeu Bidadewi

Aku ditinggal ibu kandung sebelum berusia sepuluh. Pagi itu minggu ke tiga di bulan desember. Salju yang tak berhenti turun sejak kemarin sore. Pemandangan putih adalah hal biasa dan ditunggu- tunggu sebetulnya. Akhir tahun tentu identik dengan liburan dan pohon natal. Aku bisa leyeh-leyeh dengan santai di pagi hari. Minum segelas coklat dan biskuit lalu kembali membenamkan diri masuk ke dalam selimut tanpa perlu bersiap ke sekolah. Momen-momen yang membahagiakan seharusnya. Namun, suara sirene meraung-raung membangunkanku dan Brian kakak sulungku. Kami yang selalu tidur sekamar sempoyongan menuju jendela. Nampak satu mobil Ambulance berusaha menembus jalan yang tertutup salju. Suara sirene pada pagi hari bukanlah sesuatu yang bagus.

Bulan desember di mana salju yang turun bisa mencapai satu meter. Dan itu adalah sebatas leherku. Pertengahan desember sudah masuk waktu libur akhir tahun. Tetapi pagi itu aku tak bisa melompat kembali ke atas tempat tidur. Masuk dalam selimut hangat untuk menikmati momen jelang libur panjang karena suasana mendadak tak karuan. Suara sirine pada pagi hari bukanlah sesuatu yang bagus. Apalagi ketika kemudian mobil ambulance itu berhenti tepat di depan rumah kami.

Ayahku tetiba masuk kamar dengan membawa dua adikku Jacob dan Michael. Ayahku membaringkan mereka di kasur begitu saja. Dengan wajah tegang, melarang kami turun ke bawah. “You stay here!” ujarnya sambil keluar kamar.

Jacob menangis. Lampinnya berat dan bocor. Urinnya menetes membasahi Kasur. Dia belum berusia 2 tahun. Dia menangis lebih keras lagi. Kali ini bahkan diikuti Michael yang berusia 4 tahun yang juga mulai memanggil-manggil Ibuku. “Mommy… Mommy! I want Mommy!”. Suasana pagi yang begitu membingungkan. Aku tak berani bertanya kepada ayah tentang hal apa yang terjadi di bawah? Brian kakak sulungku dengan segera menenangkan Jacob dan Michael. Dari Jendela aku melihat beberapa petugas polisi dan seorang berpakaian medis. Tak lama kemudian mereka keluar sambil menggotong Strecher. Aku lihat seseorang apakah itu ibuku? Aku hapal pakaian yang dikenakannya. Terikat dalam Kasur tandu itu. Ibuku dimasukan ke dalam ambulance. Kemudian ambulance melaju dengan sirine yang kembali berbunyi ngeri. Membawa Ibuku. Ibuku ada di dalamnya.

Ibuku tak pulang hari itu. Tetangga datang ke rumah. Satu dua orang bermunculan. Membantu kami dan mencoba menenangkan Jacob dan Michael. Sebelum makan siang ayahku pulang. Aku ingat, saat itu kami hanya makan sereal dan segelas susu dingin. Padahal itu sudah waktunya makan siang. Tak ada omelet jamur atau pan cake blue berry dengan kucuran madu buatan ibu. Tak ada pizza mozzarella gurih dan menu-menu istimewa lain yang biasa ibu hidangkan saat-saat waktunya libur tiba. Pagi menjelang siang yang membiru. Tak ada pembicaraan apalagi kehangatan seperti biasa. Kami diam satu sama lain. Ayahku murung.

Seminggu kemudian aku diajak ke rumah duka. Tanpa diperintah siapapun saat itu kami sekandung semua mendadak tenang. Keheningan terasa sejak saat kami masuk ruangan. Beberapa tetangga dan seorang pastor seperti sudah menunggu kami dengan sudah lebih dulu hadir. Lilin dan beberapa karangan Bunga. Dengan nama ibuku tertulis. Sarah Wilson.

Peti jenazah dengan jasad ibundaku di dalamnya. Ibuku jatuh di kamar mandi. Pendarahan merengut nyawanya di usia 35. Tak ada yang paham almarhum ternyata sedang mengandung.

Aku tak mau mendekat peti jenazah apalagi melihat wajah ibu. Kata para pelayat, wajah ibuku seperti tersenyum padahal sudah menjadi mayat. Aku tak mau mendekat apalagi melihat wajah ibu.

Aku hanya takut dan tak mengerti. Kematian dan kehidupan belum jelas konsepnya. Padahal semalamnya aku bahkan masih bermimpi dipeluk ibu.

Hari-hari dilalui dengan memori yang tak ingin kuingat. Tak ada lagi pelukan hangat dan cerita sebelum tidur. Tak ada lagi ciuman dikening sebangun tidur. Tak ada lagi keceriaan dan teriakan ibu ketika kami tak juga keluar dari kamar mandi karena sudah satu jam bermain busa di bathtub. Tak ada lagi yang mengingatkan bekal sekolah dan lambaian tangan sebelum kami masuk ke dalam bis sekolah. Tak ada lagi rumah yang rapih dan perasaan homey kala pulang sekolah. Tak kulihat lagi lemari laundry yang rapi dengan harus lavender kesukaannya. Tak ada lagi makanan lezat buatannya terhidang. Ada lobang menganga dalam hati ini yang berisi kehampaan.

Pada satu minggu ayahku menabrak orang hingga mati. Perempuan yang sedang berjalan dengan anjingnya. Perempuan yang ternyata sedang hamil itu meninggal di tempat. Ayahku mabuk padahal baru pukul 9 pagi. Ayahku masuk penjara dan kami diurus negara.

Berpisah dengan tiga saudara sekandungku sejak itu. Aku diadopsi pasangan yang tinggal di Ney Jersey, Kenneth dan Megan.

Pasangan muda yang mandul tapi baik sekali. Mereka tulus. Mereka adalah pasangan berhati emas yang mencukupkan semua kebutuhan jasmaniku. Ragaku. Tetapi tidak dengan rohaniku. Jiwaku.

Malam yang mendung dan kelabu seolah menjadi teman. Aku pura-pura tertawa padahal hati pedih tak berdaya. Mengigau dan bermimpi berkumpul bersama sering kualami.

Rasa perih dalam hati yang tak boleh dialami keturunanku.

Aku merindukan ayah dan saudara sekandungku. Mereka semua adalah lelaki yang tak lagi kuketahui keberadaannya. Perasaan hampa yang jika diingat betapa merasa sendiri adalah ngeri. Perasaan rindu itu pilu. Aku mencoba tabah dan melawan semua asa padahal tak berdaya.

Ada malam tertentu aku bicara pada langit yang luas membentang. Seolah rembulan dan bintang-bintang akan sampaikan itu semua pada orang-orang yang aku sayang. Tak sulit membuat mata ini tergenang lelehan hangat. Menangis kala sendirian seringkali terjadi. Ketika bulan desember kembali tiba dan salju kembali turun? Itu adalah saat-saat yang menyiksa. Aku sesenggukan bahkan di malam natal. Hadiah-hadiah dan pohon natal yang dihias semarak serta hidangan-hidangan lezat tak pernah membelokan hati ini dari kerinduan.

Waktu kemudian seperti menyembuhkan luka. Orang tua angkatku mendaftarkanku ke banyak les-les tambahan. Fasilitas lain pun mereka berikan yang terbaik. Mereka tak segan mengeluarkan budget untuk gadget keluaran terbaru agar aku mahir dalam teknologi canggih yang serba online ini.

Aku menamatkan sekolah dan kuliah dengan nilai-nilai membanggakan. Bahkan bisa dikatakan terbaik. Dan lewat usia 23 tahun aku sudah jadi manusia mandiri. Aku mendengar berita ayahku mati dalam penjara. Kanker paru dan menyebar ke otak menjadi penyebab. Beruntung aku bertemu kembali dengan semua saudara kandung. Brian akan segera menikah. Alina adalah tunangannya yang selain cantik juga ramah. Jacob masuk militer dan memilih berkarier di sana yang ternyata adalah imipiannya sejak kecil. Michael hampir lulus dari fakultas antropogi. Dia sudah pergi ke negara-negara eksotik seperti Marocco, Egypt dan beberapa negara mediteranian lain karena jurusan yang dipilihnya itu. Sementara aku? Aku suka dengan arsitektur dan landsacape. Aku belajar otodidak. Jika kemudian aku direkrut oleh oleh pemerintah sebagai Cybersecurity Analist? Itu karena aku memang mengambil jurusan ilmu komputer dan teknologi informasi.

Dunia seolah dalam genggaman. Aku bertemu perempuan cantik. Charlota Smith. Design Interior lulusan New York University. Ayahnya, Dennis Smith adalah seorang ahli bedah. Ibunya Prisilla Smith adalah keturunan Spanish yang seorang dokter anak. Tak perlu dijelaskan bagaimana kecantikan wajah Cahrlota. Aku menikahinya. Aku menikahi perempuan kaya dan anak tunggal. Istriku dibesarkan Mansion mewah dengan pemandangan central park dari kamar tidurnya. Yup, mereka tinggal tak jauh dari Rumah sakit Mount Sinai Manhatan New York, tempat kedua orang tuanya berpraktek. Setelah menikah kami bahkan tak boleh tinggal jauh dari mereka. Mertuaku membelikan kami unit lain yang bahkan masih satu lantai di Mansion yang lumayan bergengsi itu. Dinner pada weekend kami usahakan bersama. Mertua yang baik dan menganggap aku lebih dari sebagai menantu.

Aku dan Charlota menikmati semua kemewahan hidup. Kami pergi ke tempat-tempat eksotik ketika liburan. Hawai. Barbados. Maksiko bahkan Chile. Uang tak pernah menjadi masalah. Waktu libur yang kurang pas dan kesulitan mencocokan jadwal liburan lah yang sering menjadi kendala. Barang-barang mewah semisal perabot rumah tangga? Kami tak perlu melihat harga. Sofa dan karpet terbaik. Lampu hias yang tergantung di beberapa titik bahkan lukisan pun? Semua yang terbaik. Fashion yang kami kenakan tentu saja merk-merk berkelas. Aku dan Charlota memiliki kendaraan berbeda. Demikian juga dengan mertuaku. Mobil kami berkategori mewah. Berderet atau berjajar tak masalah. Kami punya area parkir dengan slot khusus. Charlota istriku hamil 3 tahun kemudian. Anak lelaki kami, Marion, lahir ketika usia pernikahan kami genap 5 tahun. Aku pikir semua akan semakin indah. Hidup ini ibarat roller coaster. Aku mengalami masa kecil dan remaja dengan penuh kepahitan. Namun ketika dewasa dan berumah tangga semuanya begitu manis. Aku pikir semua akan baik-baik saja. Ternyata itu semua juga awal dari derita.

Istriku mengajukan gugatan cerai dengan permohonan hak asuh anak mutlak . Proses panjang yang melelahkan? Tidak. Semua serba singkat. Tak ada uang elemony yang dibebankan. Pun dengan harta gono gini. Tempat tinggal kami adalah hibah pemberian orang tuanya. Tunjangan anak? It’s nothing. Charlota tidak meminta nominal besar bagi anak kami. Sepertinya bukan ekonomi yang menjadi faktor utama. Aku sama bingungnya. Tak ada hujan tak ada angin dia mengajukan proses cerai. Kadang aku merasa bahwa dia hanya ingin mengambil zat semen dariku. Dia memanfaatku untuk punya keturunan. Apakah aku tampan? Smart? Persetan dengan itu semua jika akhirnya dia pergi dengan mengambil darah dagingku pada akhirnya.

Aku ditinggalkan orang tua kandung ketika usia sepuluh? Namun tak bisa bertemu buah hati membuat aku hancur. Dunia seperti runtuh dan kewarasanku di ambang batas

Aku lewati hari demi hari ke minggu dan bulan dengan linglung. Kemurungan dan tak percaya diri kembali merajai. Terkurung dalam flat kecil satu kamar di New York  Kota yang kata orang adalah Impian kebahagiaan? Tentu membuat mentalmu akan terganggu.

Penderitaan belum selesai. Ibu angkatku Megan, didiagnosa dengan penyakit kanker darah. Setelah serangkaian proses kemotherapy yang melelahkan? Semua ternyata percuma. Semuanya tak mampu menyembuhkan penyakitnya. Bergantian aku dan ayah angkatku menunggu dan menjaganya. Ayah angkatku yang hebat seolah terlihat rapuh dan menjadi renta dalam semalam. Setelah semua hal yang panjang itu, Ibu angkatku meninggal pada dini hari dengan bibir seolah tersenyum.

Ayah angkatku menyusul tak sampai setahun kemudian. Meninggalkan dunia ini dengan surat menyurat yang sudah rapi ditandatangi. Akulah pewaris tunggal kekayaan mereka. Jutaan dolar masuk ke rekeningku dalam proses yang tak terlalu lama. Rumah dan apartemen saham dan deposito. Semua menjadi atas namaku. Beberapa jam tangan mewah milik ayah angkatku dan kalung berlian milik Ibu angkatku. Aku bingung dengan semua benda-benda itu. Aku menyimpan itu semua bersama surat-surat berharga lain di safe deposit di bank. Namun yang paling berharga bagiku adalah cincin kawin mereka. Aku akan membawanya kemanapun.

Aku sudah dengan keputusan kala melihat peta dunia. Aku mengadakan pertemuan kecil dengan saudara sekandungku. Rencanaku sudah bulat. Aku akan jelajahi dunia. Hal memilukan terjadi sebelum keberangkatan. Anakku diijinkan ibunya untuk tinggal bersamaku beberapa hari. Paling perih adalah ketika hari keberangkatan tiba. Aku antarkan anakku dengan uber pulang ke rumah ibunya. Aku turunkan anakku depan pintu. Aku memeluknya. Aku ingin menciumnya namun tidak demikian perpisahan antar lelaki. Aku ucapkan selamat tinggal. Sambil mengatakan bahwa dia bisa menjaga diri baik-baik. “Kita akan bertemu kembali,” ujarku dengan air mata yang hampir jatuh. Mantan istriku tak muncul bahkan hingga aku membuka pintu mobil untuk masuk ke dalam uber. Aku tak mau melihat lagi apakah anak lelakiku masih menunggu di depan pintu? Aku tidak menoleh lagi hingga taksi yang kutumpangi menghilang? Hatiku terasa hampa dan hancur saat itu.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *