Oleh Atik Bintoro

Sekilas Tentang Penyair Acep Zamzam Noor

Satu diantara Penyair yang dibesarkan di Pesantren kemudian kuliah di jalur non-pesantren adalah Penyair Acep Zamzam Noor. Riwayat singkatnya sebagai berikut [1]: Selepas dibesarkan di Pesantren Cipasung, kemudian kuliah di Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, lalu ke Universitá Italiana per Stranieri, Perugia, Italia. Beberapa buku karyanya antara lain: Tamparlah Mukaku! (Kumpulan sajak, 1982), The Poets Chant (Antologi, 1995),  Dongeng dari Negeri Sembako (Kumpulan puisi, 2001).

Adapun berbagai penghargaan yang telah diterima, antara lain:  Penghargaan Penulisan Karya Sastra Depdiknas (2000), South East Asian (SEA), Write Award dari Kerajaan Thailand (2005), Khatulistiwa Literary Award (2007), Anugerah sastra Rancage dari Yayasan Rancage (2012).

Pada kesempatan ini Penulis sebagai penikmat puisi akan menikmati Puisi besutan Penyair Acep Zamzam Noor yang tayang di laman NU Online [1].

Adapun puisinya seperti di bawah ini.

Angin dan Batu

1
Kenapa harus batu yang diam
Dan bukan angin? Ia padat dan dingin
Tapi bergolak bagai api
Di perutnya sungai mengalir dan keheningan
Sembahyang. Ia diam dan bisu
Sekaligus menderu

2
Kenapa bukan angin
Dan harus batu? Ia tersepuh waktu
Matang oleh rindu

Penikimatan puisi tersebut akan dilakukan dengan memanfaatkan deskripsi terkait material fisik yang ditulis di puisi, dugaan adanya metafora, logika, makna dan rasa dari beberapa diksi yang dipandang penting sebagai kata kunci yang ditayangkan di puisi /Angin dan Batu/ besutan penyair Acep Zamzam Noor, di samping itu juga akan mempertimbangkan analisis dari bantuan kecerdasan buatan, semisal aplikasi Meta AI.

Menyeruput Batu Memindai Angin

Judul Puisi /Angin dan Batu/ seolah memberi isyarat pada pembaca bahwa batang tubuh Puisi akan beraroma penuh dengan nuansa jalur jalur pembacaan yang terkesan seperti /batu/ yang diam terpancang kuat, dan kemudian bergerak lembut sampai membadai laksana /angin/.

Sebagai pengantar untuk sekadar mendapatkan informasi penjelasan tentang diksi /batu/ dan atau /angin/ ini, akan dipaparkan narasi terkait hal tersebut. Dimulai dari deskripsi tentang batu, berikut ini [2]: Batu merupakan material yang berasal dari alam yang berbentuk padatan. Batu dapat dijumpai tersebar dari mulai daratan rendah seperti di: sungai, pantai, lautan sampai dataran tingi di puncak gunung, bahkan ada di antariksa. Batu yang berada di bumi, biasanya dalam bentuk: kerikil kecil kecil, batu kali sebesar telur cicak, telur ayam, sampai batu gelondongan sebesar gajah, bahkan berbukit bukit batu bagai gunung. Sedangkan yang di antariksa ada jenis batuan semisal batu meteor.

Material Batu alam di dalamnya terkandung satu atau beberapa jenis mineral, dan bermanfaat bagi berbagai keperluan: mulai dari kelestarian lingkungan sebagai penahan laju aliran sungai, peruntukan bidang pertanian terutama bagi batuan yang sudah lapuk, bahan asesori taman dan tanaman, seni patung sampai pemanfaatan untuk peralatan dapur rumah tangga, bahan konstruksi bangunan, dan batu mulia untuk perhiasan yang berharga mahal, seperti batu akik, atau pun batu intan permata.

Dari uraian singkat di atas, dapatlah dibayangkan betapa luas tentang karakteristik batu, meliputi karakter fisik sampai pemanfaatan bagi alam dan manusia. Mungkin dari latar belakang itulah Penyair Acep Zamzam Noor memilih kata /Batu/ sebagai judul satu diantara puisinya yang bersanding dengan kata /Angin/, serta disambungkan dengan kata konjungsi koordinatif /dan/, bukan kata konjungsi jenis yang lain.

Sebagai konsekwensi dari kata konjungsi /dan/ ini, maka posisi diksi /Batu/ maupun /Angin/ mempunyai peringkat yang setara [3].

Benarkah demikan? Mari terlebih dulu memasuki pada deskripsi tentang Angin.

Angin adalah [4]: udara bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Pergerakan ini pada umumnya karena adanya perbedaan tekanan dari lokasi udara bertekanan tinggi ke tempat yang bertekanan rendah. Disamping itu juga karena perbedaan temperatur, yakni dari lokasi udara bertemperatur rendah dan bertekanan tinggi ke tempat bersuhu  tinggi bertekanan rendah. Misal adanya fenomena Angin Laut dan Angin Darat.

  • Angin Darat

Pada malam hari, udara di daratan lebih cepat dingin dalam arti bertemperatur rendah dengan tekanan lebih tinggi dari pada di lautan, sehinggga udara mengalir dari darat ke laut, yakni mengalir dari tekanan tinggi ke lokasi yang bertekanan lebih rendah. Fenomena pergerakan angin ini dikenal sebagai Angin Darat.

Nelayan biasanya memanfaatkan Angin Darat untuk pergi melaut, agar perahu layarnya terbantu lebih mudah berlayar menuju laut lepas ke tempat menangkap ikan. Karena adanya pergerakan angin dari Daratan ke Lautan.

  • Angin Laut

Pada siang hari, terjadi fenomena Angin Laut yaitu angin bergerak dari Lautan ke Daratan. Daratan cenderung lebih cepat memanas pada siang hari dari pada lautan. Tekanan udara di daratan menurun dan menjadi lebih rendah dari pada di lautan. Sehingga terjadi pergerakan udara alias angin dari Lautan ke Daratan. Nelayan memanfaatkan Angin Laut untuk perjalanan berlayar kembali pulang, dan mendarat di pantai, yakni ketika arah angin sedang bergerak dari Lautan menuju ke Daratan.

Dari uraian di atas dapat memantik penikmat puisi untuk segera mencari informasi tentang bagaimana, hubungan antara diksi /Angin/ dan /Batu/ bisa menjadi judul puisi, dan apa makna bagi Penyair? Untuk menjawab pertanyaan ini, dirasa perlu menengok batang tubuh puisi.

Sebagai langkah untuk memudahkan menikmati Puisi berjudul /Angin dan Batu/  besutan Penyair Acep Zamzam Noor, puisi tersebut disusun ulang seperti di bawah ini, yakni dengan memberi nomor urut pada bait dan baris puisinya, seperti di bawah ini.

/Angin dan Batu/

1
Kenapa harus batu yang diam (1)
Dan bukan
angin? (2)
Ia
padat dan dingin (3)
Tapi
bergolak bagai api (4)
Di perutnya
sungai mengalir dan (5)

Keheningan Sembahyang.(6)
Ia
diam dan bisu (7)
Sekaligus
menderu (8)

2
Kenapa bukan angin (1)
Dan harus
batu? Ia tersepuh waktu (2)
Matang
oleh rindu (3)

Puisi berjudul /Angin dan Batu/  besutan Penyair Acep Zamzam Noor di atas, batang tubuhnya terdiri dari  2 bait, yaitu: bait 1 terdiri dari 8 baris, dan bait 2 terdiri dari 3 baris. Sebagai pembuka pintu gerbang batang tubuh puisi adalah baris (1) dan (2) melalui kalimat Tanya: /Kenapa harus batu yang diam (1) Dan bukan angin? (2).

Tentunya pertanyaan ini akan menimbulkan spekulasi berbagai macam pertanyaan turunan, yang kira kira seperti: “Kenapa Penyair mengajukan pertanyaan tersebut?”

Jawaban pastinya sangat sulit diterka, tetapi bukan berarti tidak bisa ditelusuri, kira kira bagaimana jawabannya, dan mengapa hal seperti itu terjadi.

Bait 1 baris (1) seolah memberikan kebebasan pada pembaca terlebih pada sang penikmat puisi untuk memberikan pernyataan yang sedikit mengandung komponen Tanya tetapi tidak perlu Jawaban, atau justru Pertanyaannya adalah Jawaban itu sendiri [5], karena akan muncul keheranan, misalnya: “Iya ya, Kenapa ya?”

Bait 1, baris (1) tertulis /Kenapa harus batu yang diam/. Kenapa pertanyaan ini muncul di baris (1), padahal hampir semua orang berakal sehat, bisa dipastikan mengerti bahwa sifat asli batu memang diam, apalagi jika batu besar, sudah pasti diam, kecuali jika ada gangguan yang menyebabkan batu menjadi tidak diam. Pertanyaan ini bisa jadi mengandung semacam gugatan pada hukum alam yang memang secara alami, sifat batu adalah diam, tidak bergerak. Demikian juga kalimat sajak di baris (2) yang menjadi kelanjutan dari baris (1). Sajak di baris ke (2) adalah /Dan bukan angin? (2)/. Kemudian bisa timbul Tanya kembali: “Iya ya, Kenapa ya, bukan angin?”

Apabila baris (1) dan (2) ini diurutkan menjadi susunan kalimat: /Kenapa harus batu yang diam, dan bukan angin?/. Maka dapat dimaklumi apabila penikmat puisi memandang bahwa kalimat semacam ini, memang mengandung komponen gugatan bahwa tokoh lirik /angin/ sebagai tokoh yang dipandang lebih pantas menggantikan tokoh lirik /batu/ untuk menjadi subyek yang /diam/, sedangkan tokoh lirik /batu/ sebagai tokoh lirik yang bergerak.

Kalimat gugatan ini ditujukan pada siapa, tidak jelas benar, demikian juga tokoh siapa yang mengajukan gugatan, juga sulit diindra. Oleh karena itu penikmat puisi mencoba berusaha memiliki sedikit punya kebebasan dugaan, bahwa jangan jangan gugatan itu disampaikan oleh Penyair sendiri, atau bisa jadi Penyair hanya mengabadikan kisah gugatan yang dilakukan oleh orang lain ke dalam wujud beberapa bait dan baris puisi.

Gugatan tersebut berlanjut dengan argumentasi sebagai nilai tawar gugatan, dengan menyambungkan pada baris (3) sampai dengan (8), dengan asumsi bahwa yang dimaksud sebagai tokoh /Ia/ lirik dan /nya/ lirik mengacu sebagai kata ganti orang ke tiga tunggal [6] dari tokoh lirik /batu/, seperti yang disampaikan pada baris baris puisi, yaitu: /Ia padat dan dingin (3), Tapi bergolak bagai api (4), Di perutnya sungai mengalir dan (5), Keheningan Sembahyang.(6), Ia diam dan bisu (7), Sekaligus menderu (8)/.

Gugatan beserta argumentasi semacam ini mengingatkan pada kisah masa kecil di jaman dahulu, tentang gugatan akan keadilan Tuhan. Isi ceritanya sebagai berikut [7]:  Ada seseorang yang bertanya : “Mengapa Pohon Beringin buahnya kecil kecil,

padahal Beringin berpohon besar dan gagah. Sudah selayaknya Pohon Beringin berbuah besar besar seperti buah Semangka. Sedangkan tanaman Semangka berpohon kecil, merapat ke tanah, tetapi buahnya besar besar.

Sudah semestinya tanaman Semangka berbuah kecil kecil. Pohon Beringin berbuah besar besar. Mungkin ini bertukar takdir, Apakah Tuhan tidak adil?”

Ketika orang itu lelap berpikir di bawah pohon Beringin, tiba-tiba banyak buah pohon beringin jatuh di kepalanya. Orang itu pun tersadar, kemudian berucap: “Alhamdulillah, seandainya semua mengikuti pikiranku, bagaimana rasanya kepalaku tertimpa banyak buah beringin, yang besar besar”.

Cerita masa kecil tersebut, serasa sudah terkenal di beberapa kalangan, termasuk di kalangan pesantren. Ada nuansa yang berpotensi semangatnya mirip antara pertanyaan di Cerita masa kecil dengan pertanyaan di Puisi /Angin dan Batu/ besutan Penyair Acep Zamzam Noor. Apakah Sang Penyair terinspirasi oleh isi Cerita Semangka dan bijih Beringin atau bagaimana, masih memerlukan telaah intertekstual  di antara keduanya [8]. Namun pada kesempatan ini, Penikmat Puisi tak hendak melakukan hal tersebut. Cukuplah menikmati puisinya saja.

Kembali pada isi bait 1, seandainya gugatan itu disetujui menjadi kenyataan, maka apa jadinya bila batu batu, dari kerikil sampai batu gunung, dan batu permata bergerak bagai angin terbang ke segala arah; membawa serta: padatan yang dingin, sungai yang mengalir, serta bergolak bagai api. Tentu hal ini akan membawa kekacauan luar biasa: gedung gedung hancur ditabrak oleh kerikil dan batu batu yang bergerak bebas. Sepertinya tiada obyek di bumi ini yang tidak berpotensi tertabrak dan dihancurkan oleh kerikil bersama batu besar yang bergerak bebas tersebut. Di sisi lain, sebagai konsekwensi juga, jika gugatan terkabul, maka Angin pun akan diam membisu, tiada mampu bergerak ke mana pun. Dari uraian sebelumnya, dapat diketahui bahwa angin berisi udara. Karena anginnya diam, maka udara pun diam, tidak bisa bergerak ke mana pun. Padahal udara mempunyai kandungan yang terdiri dari unsur [9]: 78% Nitrogen, 21% Oksigen, 0,93 Argon, dan 0,038% Karbon dioksida, dan gas lain yang jumlah persentasinya sangat amat kecil.

Terutama Oksigen berguna untuk mahluk hidup, khususnya bagi kebutuhan pernafasan manusia. Bisa dibayangkan jika udaranya diam, maka oksigen pun tidak bisa bergerak leluasa dan tidak bisa secara bebas mampir ke hidung manusia. Mungkin manusia memerlukan peralatan dan teknologi khusus untuk membuat pergerakan udara, agar bisa mampir ke hidung untuk keperluan berlangsungnya pernafasan. Sungguh sangat merepotkan, hatta itu bagi orang yang sehat wal ‘afiat lahir batin sekali pun.

Pertanyaan berikutnya:” Bagaimana kelanjutan dari gugatan tersebut, berlanjutkah?” Apakah si pihak penggugat masih terus mengajukan pertanyaan dan argumentasi pembelaan di sidang pikiran dan perasaan?

Rupanya ada nuansa aroma yang bisa berpotensi menjadi semacam adanya anugerah pencerahan bagi si penggugat. Hal ini jika menilik pada sajak di baris (5) sampai dengan (8), yaitu: Di perutnya sungai mengalir dan (5) Keheningan Sembahyang.(6),Ia diam dan bisu (7), Sekaligus menderu (8).

Tokoh /nya/ lirik di sajak di baris (5) yaitu /Di perutnya sungai mengalir dan / berpotensi mengacu pada baris sebelumnya, dalam hal ini adalah pada tokoh /batu/ lirik. Kemudian dihubungkan dengan baris ke (6) yaitu: Keheningan Sembahyang (6), menggunakan kata konjungsi koordinatif /dan/ di akhir baris ke (5). Dari semangat deduksi induksi, antara isi baris (5), dan (6), Hal ini tidak terkesan memiliki hubungan sebab akibat, justru terasa keduanya saling lepas berdiri sendiri sendiri.

Sehingga tokoh lirik /nya/ bisa bermakna mewakili kata ganti orang ketiga dari tokoh lirik /batu/, atau bisa juga tokoh lain yang bersembunyi di tokoh /lirik/ nya, sekaligus menyamar dalam wujud gaya metafora, agar disangka oleh pembaca sebagai wujud tokoh /batu/, padahal bukan. Sehingga diksi /nya/ akan mempunyai efek sebagai diksi yang mempunyai makna ganda atau lebih, serta akan memunculkan makna yang berbeda. Efek seperti ini biasa dikenal sebagai efek polisemi dalam kata [10].

Disamping itu juga ada pemahaman bahwa persepsi penikmat puisi bisa punya kebebasan bukan tanpa batas terhadap puisi yang dinikmatinya, serta tidak selalu harus sesuai dengan maunya Penyair[11].

Berbekal efek polisemi dan kebebasan persepsi penikmat puisi, maka  tokoh /nya/ lirik berpotensi dapat dipersepsikan sebagai kata ganti dari tokoh /batu/ lirik, ataupun tokoh lain yang bersembunyi, yakni si pengugat itu sendiri. Jika persepsi ini bisa menjadi acuan, maka si penggugat seolah mendapatkan pencerahan, bahwa gugatannya relatif tidak berlaku, dan penggugat pun langsung memasuki mode /Keheningan Sembahyang, diam dan bisu, Sekaligus menderu, tercerahkan bahwa isi gugatannya keliru. Ternyata batu tetap saja batu, dan angin pun tetap angin, meskipun dilipat rapi dalam diksi semetafora apa pun!, Tidak perlu dipertukarkan dengan segala argumentasi yang diajukan..

Demikian juga Bait 2, dari baris (1) sampai dengan baris ke (3), yakni /Kenapa bukan angin (1), Dan harus batu? Ia tersepuh waktu (2), Matang oleh rindu (3)/; sang penikmat puisi bisa menikmati dengan: logika, rasa, dan makna; yang mirip dengan sajak di Bait 1, bahwa Bait 1, dan Bait 2 mempunyai pola adanya komponen gugatan yang mirip, dan berujung pada pencerahan juga, karena anugerah tersepuh waktu, dan akhirnya pun matang oleh rindu didapatkan Sang Penggugat.

Menikmati Visualisasi Puisi Lewat Kecerdasan Buatan

Untuk menikmati lanjut Puisi /Angin dan Batu/ karya Penyair Acep Zamzam Noor, dapat juga melalui visualisasi puisi tersebut dengan memanfaatkan bantuan aplikasi kecerdasan buatan Meta AI. Hasil visualisasinya seperti tiga gambar di bawah ini [12].

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pemanfaatan deskripsi fisik, analisis menyangkut: metafora, logika, makna, dan rasa, serta bantuan aplikasi kecerdasan buatan; dapat relatif digunakan untuk menikmati puisi /Angin dan Batu/ besutan Penyair Acep Zamzam Noor, sampai ke visualisasi tentang Puisi tersebut.

Kiranya bagi penikmat Puisi yang berminat lanjut, bisa juga bereksperimen sesuai gaya penikmatan masing masing penikmat. Kata sebagian pepatah: “Iya kalau gagal, kalau berhasil, bagaimana?”

Selamat berpuisi, dan teruslah berpuisi!

Daftar Pustaka

  1. —, Puisi-Puisi Acep Zamzam Noor, Ahad, 13 Mei 2012 | 04:16 WIB, NU Online
       https://nu.or.id/puisi/puisi-puisi-acep-zamzam-noor-A9qUy
  2. –, Batu, Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Batu#/story/24990
  3. Kanya Anindita Mutiarasari, 2023, “Pengertian Konjungsi, Jenis-jenis, dan Contoh Kalimatnya”, Kamis, 12 Jan 2023, 22:26 WIB, detikNews https://news.detik.com/berita/d-6512542/pengertian-konjungsi-jenis-jenis-dan-contoh-     kalimatnya.
  4. Fitriyani Puspa Samodra, 2023, Angin adalah Udara yang Bergerak, Ini Faktor yang Memengaruhi dan Jenisnya, Liputan 6 https://www.liputan6.com/hot/read/5336410/angin-adalah-udara-yang-bergerak-ini-faktor-yang-memengaruhi-dan-jenisnya?page=4
  5. Allan Pease, Questions Are the Answer (edisi terjemahan: Pertanyaan Merupakan Jawaban), 2002, Network Tweenty One Indonesia
  6. Liputan6, 2025, Memahami Kata Ganti Orang Ketiga: Penggunaan dan Contoh, Liputan6 https://www.liputan6.com/feeds/read/5852642/memahami-kata-ganti-orang-ketiga-penggunaan-dan-contoh?page=3
  7. —, Teguran Allah SWT, WAKAF MANDIRI https://wakafmandiri.org/literasi/wakaf-untuk-pelestarian-lingkungan
  8. Hayya Meilina Eka Hastuti, Hana Jihan Fadhila, Yosi Wulandar, 2024, Perbandingan Puisi “Hanya” Karya Sapardi Djoko Damono Dan “Mata Hitam” Karya W.S Rendra: Kajian Intertekstualitas, LITERASI, Volume 8|Nomor 1|April 2024
  9. Riley Black, 2010, The History of Air, Paleontologists are looking to the fossil record to decipher what the earth’s atmosphere was like hundreds of millions of years ago, Smith Sonian Magazine https://www.smithsonianmag.com/science-nature/the-history-of-air-21082166
  10. Regina Riamoriska Kolin, I Putu Dewa Wijana, 2025, Polisemi Leksem Heart: Kajian Semantik, Jurnal Pendidikan Indonesia, p-ISSN : 2745-7141 e-ISSN : 2746-1920 Vol. 6 No. 4 April 2025
  11. Fadhil Rafi’ Uddin, 2019, Rahim Ayat, Sebagai Umat Saya Menggugat, Genta FKIP , Universitas Jambi, 22 November 2019. https://genta.fkip.unja.ac.id/2019/11/22/rahim-ayat-sebagai-umat-saya-menggugat/
  12. —, 2025, Meta AI – Visualisasi Puisi

Penulis: Atik Bintoro atau sering dikenal sebagai Kek Atek.
Penikmat Puisi tinggal di Rumpin, Kab. Bogor, Jawa Barat, Indonesia.
Pegiat Komunitas Dapoer Sastra Tjisaoek.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *