
HAMZAH FANSURI:
DARI ACEH UNTUK DUNIA
Mohd. Harun al Rasyid
Hai muda, kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiadalah berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
Empat larik puisi dari Syair Perahu, karya Hamzah Fansuri ini menyimpan sekelumit keindahan bahasa dalam segumpalan simbol keagungan sebuah karya yang berlandaskan nilai-nilai kehidupan yang luhur dan kamal. Isinya mengingatkan manusia kepada persiapan menghadapi kehidupan yang kekal; kehidupan akhirat.
Banyak puisi Hamzah Fansuri, seperti Syair Perahu, Burung Pingai, dan Bismillahir Rahmanir Rahim sudah diulas oleh para pakar sastra dunia. Mereka antara lain adalah Professor A. Teeuw, Professor Drewes, dan Professor Syed Muhammad Naguib al-Attas. Di Indonesa, karyanya juga diperkenalkan kepada pembaca oleh A. Hasjmy dan Abdul Hadi W.M. Dan, tidak sedikit penulis lain membicarakan karya penyair sufi terbesar Nusantara ini. Akan tetapi hampir tidak ada pakar yang menulis sepak terjangnya sejak dia kecil hingga dia meninggal.
Kapan dan di mana Hamzah Fansuri dilahirkan belum ada yang berani memastikannya. Menurut dugaan Teeuw, penyair ini hidup dalam bagian kedua abad ke-16, dan meninggal sekitar tahun 1590. Dalam kaitan ini, Hasjmy memperkirakan bahwa Hamzah hidup semasa Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Alaiddin Riayat Syah Saiyidil Mukammil (997-1011 H atau 1589-1604 M). Artinya, Hamzah mungkin meninggal setelah tahun 1604 atau dia masih hidup di awal abad ke-17. Namun, sampai sejauh ini tidak seorang pun yang memastikan di mana dia dikuburkan.
[iklan]
Berkaitan dengan pembicaraan tempat lahir Hamzah Fansuri, patut dicatat bahwa hampir semua ulama besar di Aceh selalu menulis nama kampung di belakang namanya. Bahkan nama kampung tersebut akan menjadi nama panggilannya sehari-hari, seperti Teungku Chik Direubee, Teungku Chik Ditiro, dan Teungku Tanoh Mirah. Oleh karena itulah kata Fansuri di belakang nama Hamzah Fansuri dijadikan alasan oleh para ahli untuk menyatakan bahwa dia berasal dari Fansuri. Namun, kata Fansuri itu sendiri masih menjadi misteri bagi para ahli. Ada yang mengatakan dia lahir di Samudra/Pasai, di Singkil, dan ada pula yang menyebutkan di Barus (Sumatera Utara sekarang). Yang menduga dia lahir di Barus dibuktikan dengan sebait syairnya, yaitu
Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Shahrnawi
Beroleh Khilafat ilmu yang ‘ali
Daripada Abdulkadir Saiyid Jailani
Kata Fansur yang terdapat dalam bait puisi tersebut disamakan dengan Barus. Saya berpendapat bahwa bila Hamzah mau menulis nama tanah kelahirannya, tentu dia akan menulisnya dengan benar atau diusahakan sebenarnya. Katakanlah dia lahir di Barus, besar kemungkinan dia akan menulis kata Barus. Sebab kata Barus sangat memungkinkan ditulis dengan huruf Arab. Semua huruf itu ada abjad Arab, yaitu huruf /b =ب /, /r =ر /, dan /s = س /. Artinya, baik itu ditulis dengan abjad Arab maupun dengan abjad Latin, bacanya tetap akan sama.
Tidak sama dengan ramalan banyak ahli, saya menduga bahwa Hamzah Fansuri lahir di sebuah kawasan di seputar ibukota Bandar Aceh Darussalam. Nama wilayah tersebut adalah Pancu, dekat Ulee Lheue (ingat Ujong Pancu) yang sekarang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Peukan Banda, Aceh Besar. Kata Pancu mengandung konsonan /p/, /n/ dan /c/. Akan tetapi, dalam tulisan Arab atau abjad Arab, tidak dikenal konsonan /p/ dan /c/ tersebut. Oleh karena itu, untuk menulis huruf /p/ digantilah dengan / ف / dan /c/ dengan /ص /. Selebihnya Hamzah Fansuri menambah huruf /r/ atau /ر /. Inilah yang kemudian menjadi kata Fansur. Sedangkan bacaan Fansuri dibaca dengan /ri/ karena huruf /r/ atau /ra/ tidak dimatikan. Perlu pula dicatat, pada lidah orang Aceh umumnya, huruf /r/ tidak dibunyikan, meskipun kata tersebut tetap ditulis secara benar dengan menggunakan huruf /r/. Beberapa contoh, kata bandar dibunyikan banda, kubur dibunyikan kubu, dan atur dibunyikan ato.
Selain itu, terdapat satu contoh lain. Di Kabupaten Aceh Timur sekarang ada sebuah kawasan yang bernama Julok. Kata Julok ini dicatat oleh para penulis Arab dengan kata Jala’a ( جلع ). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi perbedaan (perubahan) penulisan antara tulisan Arab dengan tulisan Latin.
Merujuk ke pembicaraan di atas, muncul pertanyaan, dapatkah Hamzah Fansuri disebut sebagai sastrawan bangsa Aceh pada masanya? Mengapa dia tidak menggunakan bahasa Aceh dalam karangannya? Bukankah bahasa Aceh adalah bahasa yang dipakai oleh mayoritas bangsa Aceh pada waktu itu? Mengapa dia menggunakan bahasa Melayu? Bahkan bahasa Melayu itu pun sebagiannya terinferensi dengan bahasa Arab?
Untuk menjawab tanyaan tersebut, perlu dicatat bahwa di masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam digunakan tiga bahasa sebagai bahasa resmi, yaitu bahasa Aceh, bahasa Arab, dan bahasa Melayu. Bahasa Melayu kemudian dipilih sebagai bahasa ilmu pengetahuan, pendidikan, dan seni budaya. Sebab, bahasa Melayu dinilai lebih simpel dibanding dengan bahasa Aceh dan lebih cepat merakyat dibanding dengan bahasa Arab. Akibatnya, hampir semua sastrawan dan ilmuwan bangsa Aceh pada waktu itu menulis karyanya dengan bahasa Melayu. Sebut saja, misalnya, Nuruddin Ar-Raniry, Syamsuddin As-Sumatrani, dan Abdurrauf As-Singkili. Di sisi lain, karena pada saat itu belum populer abjad Latin, untuk menuliskan bahasa Melayu digunakanlah abjad Arab. Tulisan ini kemudian terkenal dengan nama tulisan Arab-Melayu atau tulisan jawi atau huruf jawoe dalam bahasa Aceh.
Simpulannya adalah bahwa Hamzah Fansuri dilahirkan di Pancu, di pinggiran ibukota Bandar Aceh Darussalam, dibesarkan di negeri Aceh, dan menulis karya-karyanya di Aceh. Oleh karena itu, dia layak disebut sebagai penyair Aceh, sastrawan Aceh, atau pujangga Aceh. Dia termasuk salah seorang yang memperkenalkan keharuman Aceh di seantero dunia, dari dulu hingga sekarang. Tidaklah salah kalau Hamzah Fansuri disebut sebagai penyair sufi agung dari Aceh untuk dunia.
Mengapa Karya Hamzah Dibakar?
Banyak yang menyayangkan tindakan keliru seorang Sultan Aceh karena memerintahkan membakar karya-karya Hamzah Fansuri. Alasannya karena Hamzah Fansuri adalah penganut paham atau filsafat ketuhanan wihdatul wujud, suatu paham yang mempercayai bahwa Tuhan dan manusia adalah satu kesatuan. Sementara Hamzah Fansuri, melalui puisi-puisi sufinya memang terkadang menamsilkan antara dia dengan Tuhan sudah saling menyatu. Menurutnya, setelah bersusah payah mencari Tuhan, akhirnya ditemukan dalam dirinya. Hal ini sejalan dengan sebuah hadits: Barangsiapa mengenal dirinya, dia akan mengenal Tuhannya. Atau sebuah ayat al-Quran: Dia lebih dekat dari pembuluh darah kita. Artinya, Tuhan itu tidaklah jauh dari manusia, hanya mencarinya yang sangat sulit. Karena itu perlu usaha keras.
Keyakinan Hamzah Fansuri ditentang keras oleh seorang ulama besar Aceh pada waktu itu, yaitu Nuruddin Ar-Raniry. Menurut ulama dari Ranir, India ini, Hamzah telah menempuh jalan yang sesat. Nuruddin bertambah tidak senang dengan Fansuri, karena Fansuri yang dikenal sebagai sufi besar itu, banyak mengecam sufi-sufi palsu yang menyelewengkan ajaran tasauf. Menurut Hamzah Fansuri, menyendiri ke hutan-hutan, menyiksa badan, dan menjauh dari masyarakat, bukanlah kerja seorang sufi. Ia bersyair:
Segala muda dan sopan
Segala tuan berhuban
Uzlatnya berbulan-bulan
Mencari Tuhan ke dalam hutan.
Segala menjadi sufi
Segala menjadi sawqi
Segala menjadi ruhi
Gusar dan masam di atas bumi.
Pada hakikatnya, dibakarnya karya Hamzah Fansuri adalah karena perseteruan pribadi Hamzah dengan Nuruddin Ar-Raniry. Sebab, paham atau aliran Nuruddin sangat bertentangan dengannya. Paham Nuruddin adalah filsafat ketuhanan isnaniyatul wujud, suatu paham yang secara tegas menolak persamaan Tuhan dengan manusia. Namun, patut disyukuri bahwa banyak karya Hamzah Fansuri masih bisa diselamatkan dan dapat dibaca sampai hari ini. Drewes mencatat 33 buah syair Hamzah Fansuri. Karya yang agung memang sulit dilenyapkan.