Sastra memiliki tempat penting dalam sejarah peradaban Islam. Sejarah sastra islam dan sastra islami tak lepas dari perkembangan sastra Arab, tampil dalam beragam bentuk prosa, fiksi, drama dan puisi. Peradaban sastra islam pun sampai ke bumi Nusantara, yang hampir karya sastranya bertemakan keagamaan dan nasihat-nasihat. Eksplorasi puisi-puisi di bawah ini tentu saja patut diacungkan jempol dalam menggali khasanah kesustraan islam di Indonesia. Selamat Membaca. (Redaksi).
[iklan]
Tarekat
Agama kami kertas terbakar
berisi puisi-puisi.
Asapnya rawat kerikil,
anak dari zamrud dan yakut.
Seratus tahun dari sekarang,
ia bara. Seperti nyala raba jiwa.
Seperti bunyi hadrah di jantung bayi.
Tiap tabuhannya darah,
di atas lembar suci kitab.
(2019)
Hakikat Hayat
Wallahi. Seperti pelangi ganda patah dua,
keluar kristal dari jarinya. Alhamdulillah.
Setelah hajat di luar martabat, sebentuk
alur tabiat ayat.
Wallahi. Seperti pelangi ganda patah dua,
keluar kristal dari jarinya. Alhamdulillah.
Sayap-sayapnya mekar
berkat bunga-bunga terbakar.
Dunianya hanya kaca.
Dadanya jendela surga.
Ruhnya meruak, bak ekor merak
penuh kristal.
Sejenak sinar terpantul, di kotak benak
kanaknya. Untuk kemudian— meledak:
.
Wallahu a’lam bishawab.
(2019-2020)
Halaik
“Sekembalinya kami, layak disembah.
Kami tak janji, seperti arloji; semurni doa
yang kalian lontar ke arah taji.
Memang sering kalian kaji ini, di muka
tameng anti api. Milik seorang haji.
Kami terbagi. Setengah putih,
setengahnya lagi agak putih.
Tunjukkanlah kusta kalian, perbanyaklah
dusta kalian. Demi lidah kami, yang halus
seluas ketujuh langit. Dan demi bukti, ada bakti.
Sekembalinya kami, layak disembah.
Sungguh, kami ada agar kalian tak ada.
Tapi diamlah, barang sebentar. Sekarang,
janji kami serupa gravitasi, di luar bumi.
Di luar area radar nalar, sebentuk magnet murni.
Maka tolong, diamlah, barang sebentar.
Beberapa detik lagi, galaksi kalian akan jadi.
Agar bergetah betah, gerah di bawah kubah ibadah.”
“Apakah sudah bicaranya? Kami telah lelah telaah.
Mana jubah, mana air bah. Tubuh kami terbuat dari
sisa-sisa bahtera. Di luar kesia-siaan lentera gunung
di puncak hati kami yang berpasak. Menyaksikan
samar meteor, membombardir atmosfer kami.”
“Jalan kami jalan lurus. Terus, tanpa putus, tembus ke arah iblis.”
(2019)
Bala Baka
Sepotong pohon kering duduk di kursi, terbungkuk, hendak terbang, setelah gosong terpanggang. Arangnya coreng segala muka. Muka yang tampak bak bala baka.
Ia kiai. Pengirim doa. Ia tahu siapa yang zalim. Saat seekor keledai datang, tak mampu sebut seseorang di seberang. Juga doa yang telah terkirim, tak kuasa ia renggut.
Di langit, doa rampung diantar. Tapi malaikat dengar lagi doa serupa, diralat, untuk si khianat. Tuhan tertawa, tapi ia mahaterima. Rencananya putih, penuh suara warna.
(2019)
Halaik lahir di Ampenan, Lombok, 29 Februari 1996. Mahasiswa semester akhir di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Mataram. Jamaah di Majelis Sholawat Wasilatul Musthofa Lombok. Serta bergiat di Komunitas Akarpohon Mataram, NTB.