Perempuan Yang Menjadi Kupu-Kupu

Nurhidayah Tanjung

Melilitkan handuknya, perempuan bertubuh mungil itu sesegera mungkin memasuki kamar mandi kos-kosan. Lima dibanding satu, lima kamar dengan satu kamar mandi. Bila ditanyakan apakah efektif? Tentu tidak, apalagi lelah hati untuk menunggu rekan satu kosan yang mandinya super lama.

Dalam beberapa hari ini, perempuan itu lebih sering memoles diri. Berlama-lama di kamar mandi, menyikat tubuhnya lebih semangat agar bersih. Tak lupa pula wewangian yang selalu disemprotkan setiap satu jam sekali. Biar harum, biar seperti bunga – elok dipandang.

Agak siang, ia beranjak dari kosan menuju suatu tempat. Sambil berjalan kaki, matanya tak pernah lepas dari spanduk di depan-depan toko. Akhir tahun begini, banyak toko yang menawarkan diskon besar-besaran. Ahh, matanya jadi sering melirik kantong belanja orang-orang yang baru saja keluar dari toko. Rasanya ia ingin melepaskan seluruh hasratnya di dalam sana pula.

[iklan]

***

Sepatunya tinggi sekitar lima senti, warnanya hitam mengkilap, ujungnya agak runcing. Langkah kaki yang ia jaga mengundang tatapan dari orang-orang sekitar. Tak perduli, ia terus mengumbar seluruh tubuhnya tanpa berniat membalas tatapan itu.

“Apa kabar sayang?”

Ia tak segera menjawab, namun senyum yang mengembang itu ia berikan dengan sepenuh hatinya. Bibirnya yang merah karena lipstik terbaru itu tak hentinya tertarik ke atas. Duduk sebentar, ia menaruh tas kulit berkilauan itu di atas meja.

“Aku baik, kau pula?”

“Tentu sayang, kau mau makan apa?”

“Ah, apa saja. Pilihanmu selalu bagus, jadi aku suka.”

Lelaki yang ia akui sebagai kekasihnya itu tersenyum bahagia, segeralah memesankan beberapa hidangan kepada pelayan restoran. Hingga beberapa menit, hidangan telah masak dan di antarkan ke meja mereka.

“Sari, apa kau sudah memikirkan saranku?”

Perempuan yang merasa namanya dipanggil itu menghentikan proses makannya. “Tentu saja, besok aku akan kembali mewarnai rambutku. Lalu membeli beberapa lipstik dengan warna yang cantik.”

“Kau benar-benar mirip kupu-kupu, cantik.”

“Karena kau yang meminta, aku akan menjadi kupu-kupu.”

“Ya, benar. Sudah seharusnya kekasihku ini menjadi cantik seperti kupu-kupu. Tetapi, meskipun kupu-kupu bebas terbang di alam liar, kau tak dapat didefinisikan seperti itu. Kau kupu-kupu yang ditakdirkan Tuhan untuk aku tangkap.” Bola mata hitam itu tak pernah lepas memandangi kupu-kupunya.

Sari tersenyum sumringah, ia merasa sangat spesial di mata kekasih yang baru ia pacari lima bulan itu. Setiap harinya, tak ada hinaan yang ia dapatkan – hanya seluruh pujian dari penjuru dunia yang di berikan oleh lelakinya itu. Merasa bangga, pilihannya dirasa  tepat ketika ia memutuskan untuk mengubah seluruh komponen tubuhnya, ia tak pernah menyesal sedikitpun. Karena, pandangan jatuh cinta itu tercetak dengan jelas di mata kekasihnya setiap mereka bertemu. Pujian-pujian yang terlontar adalah impiannya sedari dulu. Bahkan ketika ia ingin mengakhiri hidup meminum susu basi. Tetapi kekasihnya itu, datang padanya dengan membawa kabar bahagia. Ia akan menjadi kupu-kupu. Ia tidak akan menjadi Sari yang jelek, pendek, dan tak layak hidup. Kata kekasihnya, Tuhan membawa harapan untuk ia yang mau mengubah. Ejekan-ejekan mengenai tubuhnya yang gempal mirip drum air, wajahnya yang mirip kerikil, semuanya adalah masa lalu yang terus terkubur semakin dalam. Sari yang baru telah lahir, menjadi kupu-kupu cantik.

Dalam benak ia terus berpikir bagaimana akan membuat kekasihnya itu jatuh dalam pesona terus-menerus. Karena besok ia hanya akan mengganti warna rambutnya menjadi kuning kecoklatan, dan membeli lipstik dengan warna yang senada-mungkin. Lalu membuat orang-orang merasakan balas dendamnya. Mengepakkan sayap kupu-kupunya sambil berjalan dengan dagu yang terangkat.

***

“Ayo kita abadikan gambar sebentar, biar cantikmu terpancar di hadapan orang-orang.”

Sari menggeser tempat duduknya, ia mendekat ke arah kekasihnya yang tengah bersiap mengambil foto mereka berdua. Berpose dengan dua tangan menangkup pipinya, jepretan berhasil diambil. Lalu jepretan kedua dan seterusnya – hingga lima kali.

“Akan aku posting ke akunku, kau bisa lihat komentar orang-orang nantinya.”

“Baiklah, oh sudah hampir malam, apa kita punya tujuan lagi setelah ini?”

Kekasihnya menggeleng pelan, lalu menggenggam tangan Sari dengan lembut, mengelus dengan ibu jarinya secara perlahan. “Tidak ada, kita pulang saja – kau tampak kelelahan.”

“Aku? Tidak, kita bahkan hanya makan tanpa melakukan apapun.” Dengan tawa kecilnya, Sari tentu berharap kencannya hari ini tak berakhir hanya dengan makan.

“Hmm, tapi kau harus merawat diri kan? Udara malam tak bagus untuk kulit dan tubuhmu, kau juga baru makan daging. Sebaiknya pulang dan minum obat agar dagingnya tak membuatmu melar.”

Ah, iya. Sari baru ingat, ia harus menjaga bentuk tubuhnya dan kecantikannya pula. Ia tak mau bangun-bangun menjadi gempal lagi. “Baiklah, kau bisa antar aku pulang kan?”

“Tentu kupu-kupuku, ayo kita pulang.”

***

Udara semakin menyesakkan, rasa-rasanya berada di tempat ini menjadi menyiksa. Padahal ia telah meminum obat, dan mengindari udara malam yang menusuk kulit. Dengan langkah gontainya, ia membaringkan tubuh di atas kasur. Mencoba memejamkan mata, berharap ia akan merasa lebih baik setelah beristirahat sebentar.

***

Seseorang membuka pintu dengan paksa. Bau menyengat atau lebih tepatnya bau bangkai. Dua orang laki-laki dengan seragam turut bergabung dengan laki-laki pertama yang masuk. Menutupi hidung, mereka mendapati mayat perempuan yang dipenuhi kupu-kupu. Kepompong yang bergelantungan di setiap sudut rumah – atau bahkan lebih baik disebut sebagai sarang kupu-kupu. Dan bila melihatnya secara jelas, di sana – di punggung wanita itu ada sayap yang sudah rusak.

“Kupu-kupuku telah pergi.”

Kedua polisi saling tatap ketika laki-laki yang meminta pertolongan mereka mendengar kalimat super kecil itu. Dan laki-laki itu terus menangkapi kupu-kupu di dalam rumah dan memasukkannya ke dalam botol dengan perasaan yang sulit ditebak.

***

Nurhidayah Tanjung. Perempuan yang suka baca buku, beli buku baru lalu ditumpuk, dan  mencintai bakso. Tengah menempuh semester akhir yang melelahkan di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Bengkulu. Sudah menghentikan semua kegiatan organisasi semenjak semester lima, dan kini banyak menikmati waktu-waktu senggang di rumah sambil berimajinasi ria dan menyicil skripsi.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *