Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    Mbludus.com
    • Beranda
    • Berita
    • Humaniora
      • Sosial Politik
      • Sosialita
      • Pendidikan
      • Tradisi
      • Lingkungan
    • Sains
    • Sastra
      • Cerbung
      • Cerpen
      • Dongeng
      • Drama
      • Kritik Sastra
      • Puisi
    • Kreasi
      • Bisnis
      • Musik
      • Sinematografi
    • Merchandise
      • Buku
      • Baju
      • Kerajinan Tangan
    • Lainnya
      • Profil Redaksi
      • Penerimaan Naskah Mbludus.com
    Mbludus.com
    You are at:Home » Kritik Sastra » Ekologi dan Metafora Penyair : Puisi – Puisi Ni Made Purnamasari
    Kritik Sastra

    Ekologi dan Metafora Penyair : Puisi – Puisi Ni Made Purnamasari

    14 September 2019Updated:27 November 2019Tidak ada komentar20 Mins Read456 Views
    Facebook Twitter Telegram WhatsApp
    Share
    Facebook Twitter Telegram WhatsApp

    Ekologi dan Metafora Penyair

    Nana Sastrawan

    Manusia memiliki perjalanannya sendiri dalam kehidupan ini. Terekam, menjadi ingatan. Catatan-catatan dalam ingatan itu bisa saja berupa gambar peristiwa atau potret anatomi tubuh sendiri, atau catatan-catatan kecil berupa cerita. Seiring waktu, ingatan itu dapat diolah menjadi ide dan pemikiran, tinggal bagaimana manusia itu mengolahnya untuk disampaikan. Salah satu media penyampaianya adalah karya sastra. Jika kita cermati setiap karya sastra yang diciptakan oleh para penulis Indonesia tidak lepas dari perjalanan panjang penulisnya atau berupa kesaksian atas satu, serangkaian peristiwa yang terjadi pada zaman tertentu. Misalnya (Sekadar merujuk satu nama) Pada puisi Chairil Anwar ‘Karawang Bekasi’. Itulah sebabnya, dari karya sastra kerap ditemukan berbagai hal; tersirat atau tersurat.

    Jejak-jejak penulis karya sastra Indonesia rupanya tidak terhapus atau tidak akan pernah bisa dihapus. Jejak itu selalu dapat ditemukan oleh orang lain pada zaman yang berbeda. Satu di antaranya Ni Made Purnama Sari, perempuan yang lahir di Klungkung, 22 Maret 1989 memiliki rekam jejak karya di media yang mesti diperhitungkan. Tidak hanya itu, sebagai perempuan dia tidak membatasi diri dalam pergaulan. Dia sering melibatkan diri pada kegiatan sosial, sastra dan pendidikan. Misalnya, mengikuti Program Penulisan Majelis Asia Tenggara (MASTERA): Esai yang diselenggarakan oleh pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI (2009), Mentor Program Penulisan Esai dan Workshop Kepemimpinan Tempo-Institue (2010), Temu Sastra Mitra Praja Utama (2010), Festival Sastra Internasional Ubud Writers and Readers Festival (2010), program Penulisan Writers Journey bersama para penulis Australia (2012) dan banyak lagi kegiatan sastra yang diikutinya hingga saat ini. Tidak hanya aktivitas kegiatan sastranya yang padat, karya sastranya berupa antologi puisi ‘Bali Borneo’ masuk pada lima buku puisi pilihan Sayembara Hari Puisi Indonesia tahun 2014.

    Buku antologi puisi ‘Bali Borneo’ yang terbit Mei 2014 menjadi daya tarik untuk didalami. Usia Ni Made tergolong muda, lalu apakah karya-karyanya bisa dikatakan serius atau hanya semacam curhatan kegalauan pribadi dalam menjalani kehidupannya. Puisi memang seperti jalan alternatif, membuka ruang ekspresi dan menyuguhkan suara hati. Akan tetapi di sisi lain sebagai pergulatan estetis dan tarik-menarik gelombang rasa yang melimpah. Gejolak perasaan itu harus dikendalikan dan mesti diintegrasikan dengan pemikiran, dengan kualitas intelek. Lalu, apakah Ni Made mencapai pada titik itu melalui puisi-puisinya di dalam buku ‘Bali Borneo’?

    Ni Made Purnama Sari

    Secara keseluruhan, ke-42 puisi yang terhimpun dalam buku ‘Bali Borneo’ lebih  merupakan refleksi penyair dalam menjalani kehidupan. Pengembaraannya di negeri ini sebagai orang urban yang berpergian ke berbagai daerah dan kota tersusun rapi dalam larik puisinya. Kita dihadapkan pada kenyataan yang dialami penyair, membacanya seolah berada di dalam situasi yang disampaikannya; marah, kesal, rindu, cinta dan menderita. Perasaan-perasaan yang biasa hadir pada diri manusia dalam kehidupan sehari-hari. Puisi-puisinya juga merangsang kualitas penalaran untuk dipahami, penyair menciptakannya dengan balutan diksi dan metafora sehingga perpaduan bahasa dengan rasa menyatu, kental, kenyal dan elastis. Asosiasi pembaca diajak menelusuri pemaknaan sehingga menimbulkan tafsir-tafsir baru. Akan tetapi, kefokusan penyair pada gejolak perasaannya menimbulkan masalah, ada beberapa puisi-puisi yang gagal dimaknai sebagai ide dan pemikiran. Puisi-puisi itu hanya menggambarkan suasana batin seperti rasa kagum kepada seseorang atau tempat tertentu yang pada akhirnya mengabaikan sesuatu yang penting pada peristiwa di dalamnya.

    Sutardji Calzoum Bahcri mengatakan kepada publik dalam bukunya ‘Siasat’ bahwa puisi sebagaimana halnya imajinasi adalah upaya pembebasan dari realitas, karena itu ia membutuhkan realitas. Eksistensi imajinasi hanya mungkin bila terpaut dengan realitas.[1] Ya, puisi-puisi Ni Made tampaknya tercipta dengan suatu realitas yang dihidupkan kembali oleh imajinasi.

    Mari kita simak puisi berjudul ‘Borneo’ (hal 1).

    Pada sebuah majalah wisata
    Di ketinggian langit pesawat
    Kupandangi wajah murung seekor orangutan
    Dan hijaunya tumbuhan kantong semar
    Di mana lebah terbujuk maut yang kesekian kalinya
     
    Aku menelusup ke dalam matanya
                            Berada di rimba raya
    Terasa sekali, aku bukan lagi siapa-siapa
    Entah muasal, atau hendak ke mana
     
    Dari gemerlap kunang-kunang pada anganku
    Aku buat satu sekoci dan kuarungi sungai-sungai
    Menembus lahan gambut, menembus sepi kabut
    Menembus waktu yang menyesatkanku jauh kemari
     
    Suara-suara menggema dalam rimba tak bernama
    Alir sungai, bening sungai, membayangkan pandangku
    Melamunkan wajah siapapun
    Yang entah pernah kukenal
                            atau tak pernah kukenal :
    Wajah para pelaut yang sunyi ditikam karam
    Wajah para ibu yang tak henti menatap maut
    Bila kusentuh bayang air itu
    Kembali ia memantulkan malam semata
    Hingga muncul lagi wajah orangutan
    Penuh kasihan pada diriku
    Dituntunnya aku pada lembar-lembar yang lain
    Pada lembah, pesisir pantai, dan gua-gua rahasia
    Menuju dunia yang lagi-lagi tak bisa kuingat
    Gelap dalam penyap
     
    Di ujung halaman, orangutan lain telah menanti
    Menyeru kesekian kali, menunjukan hijau dahan-dahan
    Juga biru langit dingin kabut
     
    Di ketinggian langit pesawat
    Sambil memandang wajah murung orangutan
    Betapa inginnya aku kembali pulang
     

    Puisi itu hadir dalam renung imajinasi namun mengurai realitas pada larik-lariknya. Realitas yang teraktualisasi mengalir dalam kenyataan sehari-hari. Puisi di atas berhasil menggiring pikiran pembaca untuk masuk kepada pengungkapan penyair yang serupa kritik terhadap kelangsungan hidup makhluk lain selain manusia. Misalnya wajah murung seekor orangutan, lebah terbujuk maut yang mempresentasikan bahwa kehancuran hidup mereka adalah awal dari kesengsaraan hidup orang sekitarnya. Ya, hubungan alam dengan manusia tidak bisa dipisahkan. Alam tanpa manusia akan membusuk, begitu pun dengan manusia tanpa alam akan mati kelaparan.

    Simbol-simbol lain yang dbisa ditafsirmaknai sebagai peristiwa perubahan kehidupan manusia di peradaban sekarang. Pada larik, Wajah para pelaut yang sunyi ditikam karam/ Wajah para ibu yang tak henti menatap maut. Kritik yang lembut namun menusuk tajam, di satu sisi digambarkan begitu hijaunya pulau Borneo di sisi lain kesengsaraan terjadi di tengah-tengah kesuburan.

    Sepertinya, Ni Made memang ingin menjadikan alam sebagai kata kunci yang penting pada puisi-puisinya. Alam sebagai sumber metafora yang menyatu pada dirinya, atau memang pada proses penciptaan puisi, Ni Made selalu dihadapkan pada peristiwa yang dekat dengan alam dan kesunyian sehingga dirinya tersedot dan melarut.

    Puisi selanjutnya berjudul ‘Sajak Agustus’ (hal 12) lagi-lagi alam menjadi balutan metafora.

    Ada batu di sungai
    Sendiri di air
    Siapakah ia
    Pertapa atau cuma
    seekor ikan durhaka?
     
    Sebuah ranting terjatuh
    terbawa arus
    adakah ia
                untuk kita?
    Sebuah sampan nelayan
    tak pergi ke hulu
    atau ke tepian yang teduh
    mengayuh menempuh buih
     
    Kita tak punya sampan
    atau kata-kata
    Cuma punya tanya
    sungai mengalir, entah ke muara
    atau ke laut yang sia-sia.
     
    Ada batu di sungai
    dan ranting kayu
    menolak terbawa arus

    Metafora batu, sungai, air, ranting kayu dan peristiwa yang terjadi pada puisi di atas seperti sedang menampilkan misteri kehidupan sehari-hari atau menggabungkan kata-kata dengan misteri kehidupan yang terjadi di bulan Agustus. Dengan kata lain Ni Made seolah sedang berhadapan atau menghayati suatu situasi kemanusiaan atau alam tertentu atau suasana kehidupan manusia. Namun, perjalanan meraih kebebasan makna pada puisi tersebut terasa tumpul. Misalnya pada larik Ada batu di sungai/ Sendiri di air / Siapakah ia/ Pertapa atau Cuma / seekor ikan durhaka? Terasa begitu gelap, bagaimana mungkin di sungai ada batu sendiri, dan bagaimana mungkin ikan durhaka, terhadap siapa ikan itu durhaka? Jelas terbaca puisi ini mengalami problem logika. Sehingga makna yang terkandung di dalamya tidak dapat dimaknai secara jernih atau terasa begitu gelap.

    [iklan]

    Hans Bertens, penulis buku Literary Theory the Basics (2008) mengatakan bahwa peran alam, bagaimanapun, tidak terbatas pada barometer moral. alam dapat muncul dalam peran estetika, dikagumi karena keagungannya, keindahannya yang tidak terlalu menakjubkan atau bahkan untuk kelembutan yang sepenuhnya tidak mengintimidasi. itu mungkin dipuji karena keasliannya dan kualitasnya yang murni mungkin sangat berbeda dengan pemandangan alam yang diciptakan manusia.[2] Penempatan ikan durhaka sejujurnya tidak tepat dan mengganggu pada makna keseluruhan puisi yang telah dibangun dengan kehidupan estetika alam.

    Akan tetapi, pada puisi ‘Rumah Kaca’ (hal 27) bisa dikatakan berhasil menggabungkan antara kehadiran lingkungan atau alam sebagai sarana pembingkai dengan kehidupan sosial manusia.

    Rumah kacaku
    menunggu di akhir halaman.
     
    Di dekatnya sebatang pohon,
    perdu limau, semak kayu manis:
    kelopak bunga
                gugur
    dalam tangkainya
     
    Di seberang dinding
                Kuhibur riang
    Bagai murung memanggil pulang
     
    Di ujung pilu,
                Kehilangan datang
    dengan senyum roti-roti masa lalu
     
    Aku menulismu kini
    karena hujan hari tiada lagi:
    Hujan hari
    yang melambungkan angan
                            ke ranting
    hujan hari dengan cermin
                bayangan semua orang
    hujan hari dengan lari kecil
                            burung pagi
                lari samar yang enggan bulan
     
    Pohon nangka makin tinggi,
                helai cempaka gugur pergi
    halaman kini
    hanya ada dalam sajakku.   

    Persitiwa alam pada puisi di atas diibaratkan budaya yang natural terjadi dengan keindahannya. Sementara rumah kaca dapat disimbolkan sebagai peradaban yang diciptakan manusia. Mereka berdampingan dan menawarkan pemaknaan yang lain. Dua kebudayaan ini bersanding, bagaimana alam hadir dengan segala isinya dapat memberikan kesejukan dan kedamaian, akan tetapi manusia hadir menjadi senjata untuk merusak kedamaian itu. Fenomena kerusakan dan kehancuran dipresentasikan dengan satu kalimat hanya ada dalam sajakku, kalimat itu menegaskan bahwa peristiwa alam yang sejuk dan indah itu hanya rekaan yang belum tentu terjadi pada dunia nyata, atau bisa jadi telah menghilang dari dunia sebenarnya.

    Hal senada diutarakan pada puisi ‘Rumah Jean’ (hal 28) dunia fantasi tentang alam sebagai potret keindahan dimunculkan sebagai bingkai puisi. Misalnya pada larik Di antara akar beringin/ ada sebuah kancing kelabu/ kemilau di bawah bulan/ Serupa cermin, kulihat wajahku/ bagai gelombang sungai yang hijau/ mengalirkan tawa riang/ dua saudara kutilang/ yang mempertengkarkan hampa. Kedalaman makna puisi tidaklah mesti dibangun oleh kerumitan. Tidak pula menghadirkan metafora yang dikaitkan pada teks dan konteksnya berada jauh. Juga tidak harus berusaha memasukkan pesan ke dalam peti besi. Penyair yang baik adalah yang jelas melihat peristiwa dan jujur dalam pengungkapannya.

    Puisi-puisi Ni Made juga mengisyaratkan tidak hanya kepentingan manusia yang dipahami sebagai satu-satunya kepentingan. Tempat yang memiliki peristiwa penting pun dibidiknya sebagai catatan puitik. Pengalaman dirinya seolah tidak ingin menguap dan hilang diterbangkan angin. Ada beberapa puisi yang menceritakan perjalanan dan peristiwa penting yang pernah dialami olehnya. Seperti Lantai Atas Stasiun Gambir, Jalan Veteran 1, Juanda, Depan Art Café, Karet dan lainnya.

    Sitor Situmorang dalam esainya tentang Angkatan 45 yang berjudul ‘Konsepsi Seni Anggkatan 45’ mengatakan bahwa “Kegelisahan tanda Hidup’. Substansi tulisan Sitor itu hendak menegaskan perbedaan semangat Angkatan 45 dengan angkatan sebelumnya. Selain faktor momentum, dalam diri sastrawan Angkatan 45 juga ada gejolak elan vital, ada semangat hidup untuk mencipta, ada kegelisahan untuk berkarya. Maman S Mahayana mengelaborasi pernyataan Sitor dan mengatakannya dalam buku Jalan Puisi dari Nusantara ke Negeri Poci (2016) bahwa Kegelisahan tanda hidup itulah yang memaksa manusia terus memelihara dinamika dan berkembang dengan berbagai kreativitasnya. Itulah yang menyebabkan para penulis—sastrawan, terus berkarya sepanjang usia. Tak ada kata pensiun bagi penulis selama nyawanya belum melayang. Dan kegelisahan itu lahir dari sebuah elan yang datang bukan sekadar fanta rei, segalanya mengalir dinamis, melainkan juga mengalir dengan semangat membangun sesuatu yang baru, mencipta dan menegakkan monumen.[3] Boleh jadi, Ni Made berada pada posisi gelisah sepanjang perjalanannya ketika menyusurui berbagai tempat, atau sekadar singgah.

    Selain puisi-puisi yang disebutkan di atas berkategori nama tempat, ada beberapa di antara puisinya yang membuka kesadaran bahwa kegelisahan penyair menjadi pengalaman batin yang estetik.

    Simaklah puisi berjudul ‘Jembatan Kota’ (hal 35).

    Sehelai sakura menyentuh langit biru.
     
    Ada riak kecil, sesaat menghilang
    ditiup gelombang angin
    Siapakah yang memberi nama
    untuk semua burung camar
    yang melayang hampa?
     
    Barangkali payung seorang gadis
    yang menunggu di jembatan
    atau ilusi yang menyamar ranting pohon
     
    Seandainya semua bisu
    sebelum langit menjelma biru
    bisakah lonceng bergema tiga kali
    dan ribuan sakura berjatuhan?
     
    Tapi hanya sehelai sakura
    Yang menyentuh bayang langit biru
    dan payung tertutup
    Langkah kaki yang lincah
    Bergegas di jembatan
     
    Bukan ia
    yang memberi nama untuk semua hampa
     

    Sepertinya Ni Made konsisten mengungkapkan kegelisahan dirinya dengan unsur alam, seolah-olah alam memang telah menyatu dalam dirinya. Namun peristiwa dalam puisi itu pada akhirnya hanya sebagai bingkai yang imajinatif. Tidak bisa dihidupkan sebagai puisi yang mengungkap fakta-fakta kegelisahan yang erat kaitannya dengan jembatan kota, misalnya suatu peristiwa sejarah yang berada di lokasi tersebut. Ni Made hanya menangkap peristiwa keindahaan lingkungan sebagai sarana penyejuk jiwa. Dia seolah ingin mengabarkan bahwa perjalanannya ke berbagai tempat hanyalah pengembaraan untuk mencari kententraman jiwa, dia tidak ingin terlibat lebih jauh pada sejarah.

    Seperti puisi lainnya ‘Jalan Gajah Mada’ (hal 53).

    Lebarkan jalan dan tanam pohon perindang
    Tapi itu tak cukup kembalikan semua kayu
                                        ke hutan dan lautan
     
    Tebing yang makin curam
    jalan berliku tanpa tujuan
    di sinilah kita tersesat dalam diri
    dalam lambai daun-daun
    yang melambungkan kita
    ke ranting dan sarang burung
     
    Bacalah papan iklan
    dan kau akan tahu
    betapa jauhnya kita dari rumah
     
    Atau jauhkan tanganmu dari gerak
    maka kau akan menyadari
    waktu tak bisa mengubah ini.
     
    Katakan saja jalan ini makin lebar
    semua kota adalah jalan-jalan besar
    dan semua orang kini tak punya rumah
    kita akan melambang, bersarang
                                        di pohon perindang
    serupa hutan serupa rumah
     
    Jalan ini adalah kasih sayang yang lepas
    di bulan tinggi
    atau letih yang menunggu
                            setelah hujan
    tak menghampakan siapa-siapa
    maka mungkin kita akan tahu :
    kini kehilangan esok yang tiada
     

    Puisi ini sedikit banyaknya mengungkap keadaan suatu jalan yang bernama Gajah Mada. Awalnya ada kecurigaan untuk mengungkapkan fakta sejarah tentang Gajah Mada, atau mungkin saja penyair akan menghubungkan tokoh Gajah Mada dengan jalan di suatu kota. Namun ternyata penyair tidak mengolah sudut pandang tersebut pada proses penciptaan puisinya. Pada larik awal, Ni Made sudah memberikan pernyataan keras, kritik terhadap keadaan yang terjadi di Jalan Gajah Mada.

    Bisa jadi Ni Made sedang berada di jalan tersebut dan menyaksian keadaan sekitar yang menggugah hatinya untuk berbicara melalui puisi. Atau, dia memang sedang merindukan rumahnya dan merasa terasing berada di suatu tempat yang jauh. Pada larik di sinilah kita tersesat dalam diri/ dalam lambai daun-daun. Dipertegas lagi dengan larik berikutnya Bacalah papan iklan/ dan kau akan tahu/ betapa jauhnya kita dari rumah. Ketika perasaan seorang penyair tersentuh, maka wilayah kepekaannya akan tajam. Dia bisa saja menjadi orang yang sangat tersakiti, atau orang yang merasa bersalah dan menyesal. Kolaborasi perasaan penyair dengan peristiwa sekitar dapat menghasilkan karya yang menyentuh.

    Latar pada puisi tersebut adalah kota yang padat, sesak. Kendaraan yang berada di kota semakin banyak sehingga jalan-jalan yang tadinya sempit harus diperlebar mengorbankan rumah-rumah di sepanjang jalan. Bahkan, mungkin saja rumah-rumah sekitar beralih fungsi menjadi kantor-kantor. Pada puisi ini, Ni Made menggunakan simbol-simbol alam tidak sekadar menjadi alat permainan semata, melainkan suatu peristiwa yang sebenarnya terjadi untuk mengajak semua pihak mencintai makhluk alam.

    Ni Made sadar bahwa menjadi penyair semestinya menyatu dengan lingkungan, alam dan lainnya. Kepekaan hatinya jika berada di tempat-tempat tertentu selalu menghasilkan bait-bait puisi dengan diksi dan metafora yang sederhana namun menyatu dan seimbang dengan pikiran. Mungkin, dia memang jujur mengungkapkan perasaannya pada puisi. Seperti pada puisi ‘Kuil Taman’ (63).

    Sebatang pohon ara, empat pina
                            tiga pohon abu
    Inilah kuil taman puingmu
     
    Segala yang silam, dirimu yang lalu
    terperangkap dalam liang gua
    pada sebuah buku yang terbuka
                            di perpustakaanmu
     
    Dulu pernah ada semak buah beri
    di mana seekor musang menyelinap
    bersembunyi dari tangan mungil sang waktu
                            tubuhnya ringan menyelusup
    jauh hingga ke pucuk bayang sehelai daun
    Dan pada pukul enam sore
    semuanya lindap bagai kata-katamu
    bagai cahaya di belantara raya
    tersamar pekik liar burung-burung malam
     
    Sebelum dini hari di bawah mimpi pohon kastanye
    siapa dari kalian yang menyamar bajak laut arabia
    menghunus belati kayu, membuka semua pintu
    mencari jalan rahasia menuju dongeng yang lain:
     
    Kisah tentang sebuah kota di mana benda-benda
    selalu bercerita darimana muasal mereka
    sebelum agama melenakan mereka
    bahkan sebelum tuhan ada
     
    Atau tentang benua yang perlahan tenggelam
    dan orangorang terlambat menuliskan namanya di sana
     
    Tapi seekor kucing yang lelap di teras rumah
    sekilas tampak terjaga, memandang kalian
    mengeong seakan tengah mengigau
    Cakarnya yang tumpul
    tadinya membias cahaya bulan yang entah
     
    Kini tak ada ayunan di kuil tampan puingmu
    tak ada sarang burung yang terjatuh
    menyimpan telur-telur yang sebentar akan menetas
     
    Dan pada buku ini, di perpustakaan ini
    gambar-gambar masa lalu
    telah kabur warnanya

    Satire yang dibangun pada puisi itu sungguh halus, dia tidak ingin puisinya berubah menjadi kebencian, seperti alam raya yang tak menyimpan dendam kepada manusia yang merusaknya. Alam raya selalu bergerak sesuai hukumnya. Ni Made menggabungkan dunia khayal dengan dunia nyata, sehingga puisinya bergerak di awang-awang. Personifikasi yang dibangun dari benda-benda alam seolah ingin menunjukan bahwa puisi yang diciptakannya memiliki makna lain dari kehadirannya di tempat tersebut.

    Berbeda dengan puisi berjudul ‘Sebuah Jalan di Klungkung’ (hal 51). Ni Made menghadirkan ‘aku lirik’ seorang tokoh kartun yang dihidupakan. Seolah-olah dia ingin mengisyaratkan bahwa puisinya tidak selalu berbicara tentang kegelisahan dirinya atau hanya ungkapan kegalauan semata yang dibungkus dengan metafora, imaji, simbol, paradoks, ironi atau majas lainnya.

    Tokoh kartun adikku meremas roti.
    dengan sekeping uang di saku
    koin pemberian ibu.
     
    Ada banyak pohon cemara
    seperti dalam sajak masa kecilnya
    penuh awan putih, sesekali tercerai
    karena angin dan cahaya matahari
    Tetapi tak ada sarang burung mungil
    yang sendirian menunggu induknya
     
    Sedangkan di jalan kecil
    rumput membimbing seekor ulat yang tersesat.
    Anak itu menatapnya, membayangkan drinya
    seperti daun-daun kecil di jalan yang lengang.
    Masing-masing membayangkan hujan,
    dan tangisan tersembunyi seekor kupu-kupu.
     
    Orang-orang berjalan tergesa
    menepis dingin hujan
    tanpa tangan ibu
    terjatuh di tangga berlumut
    tak ada sedu kanak-kanak yang manja
    atau permen hadiah masa lalu
     
    Begitu juga dirinya.
    Ia menerawangkan koin itu
    mencari-cari senyum ibu
    tetapi selalu hujan menghapusnya
    seperti tangannya
    yang mengibaskan tetes hujan 
     

    Pada bait pembuka, Ni Made menyajikan sesuatu yang berbeda dari puisi-puisi sebelumnya. Dia mulai bermain dengan karikatur. Tokoh kartun adikku bisa saja dimaknai sebagai tokoh kartun yang diciptakan oleh adiknya, atau adiknya yang menjadi kartun. Dengan begitu, pilihan penyair memulai puisinya dengan pewartaan. Kemudian, penyair menggambarkan suasana di dalam diri ‘aku lirik’ maupun di luar diri ‘aku lirik’.

    Pada larik Sedangkan di jalan kecil/ rumput membimbing seekor ulat yang tersesat./ Anak itu menatapnya, membayangkan drinya / seperti daun-daun kecil di jalan yang lengang. Metafora ulat menjadi simbol ‘aku lirik’ oleh penyair untuk menggambarkan keadaan psikologi si Anak. Nuansa kepedihan, kesendirian dan kesepian pada puisi itu hadir lalu menjadi kebebasan bagi pembaca untuk menafsirkan hal lain. Puisi yang ekstrem pada kegelapan menciptakan pembaca untuk masuk ke dalam kemerdekaan berpikir. Tentu saja jika membaca puisi-puisinya dari awal ada kejenuhan karena tema-tema yang dihadirkan oleh penyair nyaris serupa.

    Puisi itu seolah membuka kerinduan Ni Made pada kehidupan harmonis di dalam keluarga. Pada pengembaraannya yang jauh dari rumah, dia mengharapkan pulang ke rumah untuk bercengkrama dengan keluarga, bisa saja ayah, ibu, kakak dan adiknya. Kerinduan itu hidup pada puisi ‘Mawar Ibu’ (hal 57).

    Sekuntum mawar merekah dalam sajakmu
    Sekuntum mawar, yang ingin larut dalam waktu
    Keluhnya menyentuhku
    Dan meruntuhkanku bagai sebuah rumah kartu
     
    Dari sebuah buku
    Ia tumbuh sebagaimana bunga di taman-taman
    Sungguh mewangi, bagai harum embun
                sebelum badai bulan Januari
    Di mana seekor kucing terlelap
    Mengayun mimpi seharian
    Dan tikus-tikus muncul dalam tidurnya
    Membujuknya mencari ibu
    Yang konon menanti pagi di cerah Februari
     
    Bunga itu tumbuh merekah
    Bersama seorang pendeta yang mengulur umur
                dengan mantra lama
    Jadi saksi pemakaman siapa saja
    Diusapnya peti mati orang-orang
    Bagai membelai mautnya sendiri
     
    Sekuntum mawar itu tak mau melayu
    Durinya menyayat tanganku
    Seperti kecupan kekasih
                yang tak pernah mencintaiku
     
    Seketika aku merindukan ibu
    Yang tak jua mau menimangku
     
    Mautlah yang lebih dulu menimangnya
    Membelainya
                Mengecupnya
     

    Diksi yang dihadirkan begitu indah, mengalir dan hidup. Meskipun penyair memilih puisi sebagai mediumnya, tentu saja ia juga mesti mempertimbangkan media ekspresinya dalam ruang estetika untuk meneguhkan efek puitik. Tanpa itu, ia akan terperosok pada apa yang disebut artifisial. Perhatikan citraan penglihatan Dari sebuah buku Ia tumbuh sebagaimana bunga di taman-taman berkelindan dengan citraan penciuman Sungguh mewangi, bagai harum embun lalu diteruskan dengan sebelum badai bulan Januari.

    Citraan yang dibangun menghidupkan daya imajnasi, meliuk-liuk dalam pikiran sehingga rasa batin ikut menyerapnya. Namun, siapa sangka di balik ilustrasi keindahan itu sebenarnya ada sesuatu kenyataan yang pahit di akhir bait puisi, Seketika aku merindukan ibu/ Yang tak jua mau menimangku/ Mautlah yang lebih dulu menimangnya/ Membelainya/ Mengecupnya.

    Simbol Sekuntum Mawar dihadirkan sebagai tokoh yang mempresentasikan semua yang membaca puisi tersebut. Hanya saja, mawar identik dengan perempuan sehingga puisi di atas terkesan sepihak, tidak dapat mewakili perasaan seluruhnya. Meskipun puisi diciptakan sangat pribadi, namun pada akhirnya dapat menjadi perwakilan pengalaman batin semua orang.

    Perjalanan Ni Made, seorang perempuan yang pergi dari rumah ke kota lain, kota yang jauh dari tempat kelahirannya membuat dia semakin merasakan kesepian dan asing. Atau, bisa saja memang ‘ibu’ yang dihadirkan pada puisi-puisnya sudah lebih dulu meninggalkan dunia ini sehingga dia semakin merasa rindu di saat dirinya hidup dalam kedewasaan dan kemandirian.

    Kehadiran puisi bagi Ni Made seperti obat untuk batinnya dari setiap perjalanan yang dilalui. Ni Made seolah sudah memilih jalan penyair, jalan yang beliku. Pada puisi ‘Aku dan Jiwaku’ (hal 67) terbaca makna tersirat antara hubungan dirinya dengan puisi Aku mau pergi ke bulan/ dipuja penyair dan kekasih malam kasmaran/ atau da.tang ke lain dunia/ jadi tukang pos kesepian/ tak jemu mengirim surat untukmu/ Aku dan jiwaku/ berbaring berdampingan/ menanti pagi datang. Begitulah, dengan cara berpuisi, penyair melakukan pencerahan setidaknya bagi dirinya sendiri.

    Ya, kerja menulis puisi adalah upaya menjadikan manusia sempurna. Meskipun upaya itu harus berhadapan dengan realitas yang imajinatif, atau bermain imaji dalam ruang realitas. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, sistem politik dan ekonomi telah dicapai namun hingga sampai saat ini kenyataan dalam kehidupan sehari-hari sedang menggerogoti sifat kemanusiaan dalam setiap individu. Bisa jadi, karena inilah Ni Made memilih  puisi-puisi menggunakan benda-benda alam agar manusia menyadari tentang peran alam untuk kelangsungan peradaban manusia.

    Akan tetapi, Ni Made hanya terjebak pada latar dan peristiwa keindahan alam semata, batinnya hanya diasah untuk peka terhadap kehidupan alam yang tenang. Sesekali dia menyinggung rasionalitas kehidupan individu yang bertanggungjawab atas krisis lingkungan. Eksploitasi alam yang semakin marak demi kemajuan ekonomi. Alam dijadikan bahan barang untuk kebutuhan perdagangan. Isu-isu politik yang mengakibatkan kehancuran alam, limbah-limbah industri dan perburuan liar mencoba dihidupkan dalam puisi-puisinya. Namun dia tidak menghidupkan benda-benda alam sebagai kehidupan tersendiri, terpisah dengan kehidupan manusia.

    Seperti Oka Rusmini, penyair perempuan dari Bali pada puisi berjudul ‘Monolog Pohon’ (hal 49) di buku Warna Kita. Dimana Pohon sebagai benda alam menjadi hidup dan berkomunikasi kepada manusia. Misalnya pada larik Pelukis itu merias wajah pohon/ kau diam, wajahmu dingin/ tanah yang melingkariku/ menjadi batu. Lengkap dengan kegelapan warnanya/ aku kehilangan warna tanahmu/ kata-kata patah, jadi bangkai/ menaungi kemudaan warna daun. Benda-benda alam yang dihadirkan tidak hanya menjadi tempelan atau bingkai dari sebuah peristiwa manusia semata, melainkan benda-benda itu hidup dengan sifat dan karateristiknya. Bahkan di tangan Oka Rusmini, benda-benda alam itu bisa menjadi pemberontak kepada manusia.

    Ni Made Purnamasari

    Meskipun Ni Made sudah berusaha masuk ke wilayah itu pada puisi-puisinya di atas, namun kontruksi puisinya tidak dibangun dengan sikap yang tegas. Ni Made tidak menggali lebih dalam kepada suasana batin dan lingkungan di sekitarnya. Dia hanya melihat sesuatu, membayangkan kemudian dikombinasikan dengan perasaannya lalu dituliskan. Chairil Anwar menegaskan: “Carilah makna kata sampai putih tulang!” Bagi penyair seperti Ni Made yang tergolong muda dan senang mengembara, semestinya dia berjuang untuk memperkaya bahasa melalui perburuan dan sekaligus penciptaan makna baru, setiap kata dalam deretan kalimat, mesti dihadirkan dengan kualitas yang sama pentingnya dengan realitas, perasaan dan perkembangan peradaban.

    Bagaimana pun Ni Made telah hadir dengan karya-karyanya, dia berani berdiri sebagai penyair. Keberaniannya itu mungkin akan membawanya sejajar dengan penyair-penyair perempuan Indonesia seperti Toety H, Dorothea dan Oka Rusmini, jika dia tidak berhenti belajar.

    Bagaimana pun juga kehadiran penyair dibutuhkan dalam peradaban manusia, penyair meneguhkan pesan spiritual, sosial dan lainnya sehingga dalam perkembangan zaman dengan lahirnya berbagai macam teknologi, puisi yang diciptakan oleh penyair menjadi daya dorong, daya hidup jiwa-jiwa yang kering. Seperti yang dikatakan Dick Hartoko, dalam buku Sepilihan Esai dan Kritik Sastra Klasik Indonesia. Penyair Sebagai Bendahara Sabda, kepada penyairlah sabda itu diserahkan untuk dipelihara.[4]

    Juli 2019

    [1] Bachri, Sutardji Calzoum. Siasat, Kumpulan Esai. Jogja: Indonesiatera, 2007, hlm 87.

    [2] Bertens, Hans. Literary Theory the Basic. New York: Taylor & Francis, 2008, hlm 196.

    [3] Mahayana, Maman S. Jalan Puisi dari Nusantara ke Negeri Poci. Jakarta: Penerbit Kompas, 2016, hlm 241.

    [4] Dick Hartoko. Sepilih Esai dan Kritik Sastra Klasik Indonesia. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI, 2017, hlm 153.

    Puisi Ni Made Purnamasari
    Share. Facebook Twitter Telegram WhatsApp
    Previous ArticleDongeng Populer : Menolong si Tuan Pemarah
    Next Article Keledai Badrul

    Postingan Terkait

    Refleksi dalam Cerpen “Requiem Burung Gereja”

    11 November 2025

    Menikmati “Sakit Itu Rumit” Ala Joko Pinurbo

    7 September 2025

    Menikmati Kebisingan Hauptbahnhof dalam Ceracau Puisi Sihar Ramses Sakti Simatupang

    28 Agustus 2025
    Leave A Reply Cancel Reply

    Postingan Terbaru

    Refleksi dalam Cerpen “Requiem Burung Gereja”

    11 November 202530 Views

    Sandal Jepit Pesantren

    9 November 202511 Views

    Mengenal Sistem Administrasi Negara Indonesia

    30 Oktober 20252 Views

    Membaca ‘Rahasia Tanda’ di Universitas Pancasakti Tegal

    29 Oktober 202511 Views
    Kategori
    • Berita Terkini (206)
    • Bisnis (7)
    • Buku (80)
    • Cerbung (19)
    • Cerpen (157)
    • Dongeng (90)
    • Drama (28)
    • Europe (1)
    • film (1)
    • Highlights (2)
    • Kritik Sastra (75)
    • Lingkungan (52)
    • Money (5)
    • Musik (18)
    • News (9)
    • Pendidikan (66)
    • Politics (3)
    • Profil Redaksi (16)
    • Puisi (186)
    • Sains (50)
    • Science (5)
    • Sinematografi (22)
    • Sosial Politik (29)
    • Sosialita (141)
    • Sports (5)
    • Tech (5)
    • Tradisi (98)
    • Travel (4)
    • UK News (4)
    • World (1)
    Advertisement
    Follow Kami
    • Facebook
    • Instagram
    • YouTube

    Bermis Serpong ASRI Blok B7/19 RT/RW 02/04, Cisauk - Tangerang

    Untuk Pengajuan Iklan dan Kerja Sama Hubungi:

    Email : redaksi@mbludus.com / dapoertjisaoek@gmail.com
    Kontak: -

    Facebook Instagram YouTube
    Syarat dan Ketentuan
    Definisi

    Ketentuan Layanan

    Ketentuan Konten

    Penggunaan dan Hak Cipta

    Undang-Undang ITE

    Tim Redaksi

    Penerimaan Naskah
    Flag Counter
    Flag Counter

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.

    Ad Blocker Enabled!
    Ad Blocker Enabled!
    Our website is made possible by displaying online advertisements to our visitors. Please support us by disabling your Ad Blocker.